Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Tepat tanggal 21 Mei 1998 merupakan batu penjuru dan tonggak yang dipancangkan untuk memisahkan rezim Orde Baru dengan Orde Reformasi, yang dimaknai sebagai langkah untuk memulai suatu kehidupan bernegara yang baru, yakni: demokratis, terbuka, menghormati hak asasi manusia, kesetaraan gender dan keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut diperjuangkan selama berkuasanya Orde Baru yang mengabaikan nilai-nilai tersebut. Reformasi dimaknai sebagai “jembatan emas†menuju Indonesia yang lebih baik, dengan harapan-harapan baru yang juga lebih baik.
Pemancangan tonggak reformasi bukan tanpa pengorbanan. Tidak sedikit korban jiwa yang jatuh. Mahasiswa yang gugur ditembak aparat keamanan, serta ratusan warga masyarakat yang meninggal di dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Harga yang sangat mahal bagi sebuah perubahan, yang harus terus kita ingat sebagai hutang sejarah yang tak akan terbayar. Namun, pengorbanan untuk membentangkan jalan menuju perubahan bagi Indonesia yang lebih baik tidak boleh kita sia-siakan. Reformasi memberikan kita, para generasi sesudah reformasi, untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita perjuangan reformasi. Di era reformasi, pemerintahan terbentuk silih-berganti untuk berupaya memenuhi amanat reformasi. Ada yang sudah dilaksanakan, sedang dilaksanakan dan ada juga yang belum terlaksana.
Hasil perjuangan reformasi, Indonesia memiliki demokrasi dan institusi-institusi politik demokratis. Kebebasan muncul, politik multi-partai tumbuh dan hak-hak sipil meluas. Amandemen UUD 1945, dan sejumlah Undang-undang dihasilkan untuk memenuhi amanat reformasi.
Meski demikian, belum semua amanat reformasi tercapai dan terpenuhi. Distribusi keadilan masih menjadi persoalan utama. Kesenjangan kekayaan masih terbentang luas. Pemerataan pembangunan masih belum berjalan sesuai rencana. Pertumbuhan ekonomi masih pasang-surut. Bahkan persoalan baru muncul, yakni menguatnya terorisme sebagai ancaman bagi keutuhan sosial dan kesatuan kebangsaan. Banyak yang sudah berubah, banyak yang positif, tapi banyak pekerjaan rumah yang masih tertinggal. Beberapa agenda reformasi tidak berjalan seperti apa yang dibayangkan di tahun 1998. Sejarah memang tidak selalu berjalan seperti film yang terpaku pada naskah. Tapi gerakan 1998 juga menunjukkan bahwa sejarah ada di tangan kita yang ingin berubah.
|[email protected]|Rizki Rabiul Ts.