Oleh : Muda Mahendrawan
Gebrakan kebijakan efisiensi anggaran saat memasuki 100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo-Gibran melalui inpres nomor 1 tahun 2025 dengan penghematan belanja di sejumlah kementrian/lembaga dan Dana Transfer Daerah di APBN 2025 sebesar 306 T, direspon beragam reaksi dan persepsi baik di jagad maya maupun jadi perbincangan di ruang-ruang publik. wajar, sebab langkah efisiensi ini me-revisi dan me-refocusing anggaran cukup besar.
Target efisiensi hingga 306 T itu di alih kan ke program prioritas sesuai visi misi astacita Presiden Prabowo & Wapres Gibran, Program Makan Bergizi Gratis (selanjutnya disebut MBG), Program Swasembada Pangan dan Energi, Program 3 Juta Rumah Rakyat, Pemeriksaan Kesehatan Gratis, dan perkembangan terakhir rencana Presiden Prabowo akan ada kebijakan efisiensi belanja tahap kedua untuk suntikan permodalan BPI Danantara yang baru saja resmi berdiri.
Secara prinsip langkah kebijakan presiden prabowo meng-efisien-kan belanja ini justru sebuah momentum tepat untuk melindungi kepentingan rakyat dengan mencegah pemborosan, mubazir dan celah kebocoran. Saat ini semua kementrian melakukan proses penyisiran pos-pos belanja menyesuaikan pagu anggaran dalam Surat Edaran Menkeu nomor S-37/MK.02/2025 melalui pembahasan bersama DPR-RI sejak 12-13 Februari lalu.
Tekad dan keteguhan Presiden Prabowo ingin mewujudkan pemerintahan yang bersih, profesional dan benar-benar melayani hak dasar rakyat dengan meramu ulang kebijakan efisiensi anggaran di tahun pertama kepemimpinannya ini juga sejalan dengan jajak pendapat Litbang Kompas pada 3-6 februari menunjukkan sebagian besar responden publik 73,3 persen menilai pengeluaran/belanja pemerintah selama ini belum efisien dan publik memahami perlunya langkah efisiensi, alasan responden menilai perlu dilakukan penghematan anggaran sebanyak 24,4 persen menjawab untuk mengurangi kebocoran uang rakyat, 22,5 persen menjawab untuk mengurangi belanja tidak produktif, 27,1 persen beralasan anggaran perlu fokus pada program prioritas dan 27,1 persen menyoroti beban hutang APBN.
Perkuat Efektifitas & Dampak (outcome)
Dinamika respon publik terkait efisiensi anggaran terlihat lebih banyak sorotan reaksi atas ‘pengalihan’ anggaran untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah di uji coba januari lalu di 26 provinsi, program ini dipercayakan ke Lembaga Badan Gizi Nasional (selanjutnya disebut BGN) yang baru dibentuk 2024 lalu, dan diberikan kewenangan perencanaan sampai eksekusi teknis mengelola program MBG.
Anggaran BGN dialokasikan sebesar 71 T di APBN 2025 dan melalui efisiensi ini akan ditambahkan sebesar 100 T sehingga total anggaran sebesar 171 T untuk MBG hingga akhir tahun 2025 karena Presiden Prabowo ingin mempercepat perluasan jumlah sasaran anak-anak siswa penerima di seluruh indonesia, meski program MBG punya tantangan dalam tata kelola implementasinya mulai dari sebaran sasaran, skema, persyaratan dan sistem prosedur teknis , standar, dan kesiapannya lainnya, Bermunculan respon yang menyangsikan implementasi MBG akan optimal, karena tak sedikit pula yang berpandangan program ini seolah disamakan seperti bansos sembako dan bansos uang yang kurang berdampak mendasar dan signifikan berkontribusi terhadap upaya pengurangan pengangguran, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Program MBG lebih banyak munculkan respon pro dan kontra, selain karena MBG bersifat massif, populis juga cukup sensitif karena menyangkut soal makan, jadi lebih menarik dibicarakan, di jagad maya (medsos) tak sedikit pula netizen menyangsikan program MBG ini terutama sejauh mana dampak implementasi program ini.
Disinilah krusialnya sebab program MBG ini ibaratkan jadi sebuah ‘pertaruhan’ kepercayaan publik terhadap program prioritas pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, oleh karenanya MBG ini tak hanya sekadar bisa tereksekusi secara teknis hingga tersalurkan ke seluruh sasaran sesuai target jumlah dan sebaran yang telah direncanakan (output) namun mesti dibuktikan bisa terukur dampak nilai tambahnya (outcome) dimana dalam satu program MBG punya multi efek mencakup 3 outcome sekaligus yang bisa dicapai, ibarat pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui,
Pertama, berdampak untuk capaian penurunan stunting dan penguatan gizi generasi, Kedua, berdampak mengungkit tingkat swasembada pangan karena terjamin nya serapan (pasar) hasil produksi pangan (padi,jagung, sayur mayur, peternakan, telur,budidaya ikan) sehingga turut berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Ketiga, berdampak bagi pengurangan pengangguran dan kemiskinan. semakin terbuka peluang munculnya pelaku UMKM sektor pangan terutama generasi muda dan berdampak bagi pengurangan kemiskinan karena bisa mengurangi beban belanja orang tua terhadap kebutuhan konsumsi makan anak-anaknya.
Ketiga Outcome ini mesti dapat berjalan sekaligus dan serentak. Konsekuensinya pihak BGN mesti benar-benar berhasil mengeksekusi program ini dengan langkah yang terukur. Disini pilihan skema, sistem, mekanisme, model atau pola tatanan kerja nya mesti lebih dipikirkan secara seksama, cermat dan kreatif untuk menjamin multi dampak (3 outcome) bisa tercapai secara terukur dan nyata. Disinilah tantangan besar bagi BGN.
Keberpihakan Kepada Pelaku Usaha Mikro
BGN perlu memperhatikan berbagai aspek secara holistik terutama aspek tantangan geografis, aspek sosial budaya dan kearifan lokal. Faktor paling utama bagaimana tingkat perlibatan atau partisipasi dari berbagai elemen lapisan masyarakat karena akan menjadi kunci keberhasilan program ini, sebab tak sedikit respon yang meragukan dan mengkhawatirkan program MBG yang lebih bernafaskan orientasi sosial kemanusiaan dan keadilan jangan sampai bergeser menjadi terkesan bernafaskan orientasi proyek, mengingat anggaran yang cukup besar dipegang lembaga BGN dengan strategi skema, prosedur sistem tata kelola yang membutuhkan komitmen transparan dan akuntabel.
Pertama, apakah mitra-mitra penyedia (catering) benar-benar akan terdistribusi melibatkan pelaku usaha mikro-kecil secara luas dan berkeadilan, banyak yang mewanti-wanti jangan sampai para pelaku mikro-kecil itu hanya digunakan sebagai formalitas atas nama perusahaannya saja namun dibalik itu ternyata ada kepentingan pemodal besar yang menjadi penyedia di balik layar, mengingat kemampuan pelaku umkm baik permodalan dan fasilitas yang terbatas, apalagi semuanya dengan sistem lelang penawaran (tender).
Sistem lelang tender ini sebetulnya baik karena ada proses kompetisi untuk mengukur kualitas dan kemampuan kerja calon penyedia mitra penyedia, namun disisi lain ada juga celah kelemahannya dimana penyedia bisa saja hanya digunakan atas nama perusahaan nya namun dibalik layar digarap oleh pihak lain yang lebih punya kemampuan sumber daya peralatan dan modal keuangan, apalagi skema persyaratan untuk menjadi mitra tentu patut dipertimbangkan apakah bisa semuanya dipenuhi oleh pelaku usaha mikro, misalnya terkait jumlah uang deposit tentu tak mudah bagi pelaku usaha kelas mikro kecil.
Kedua, skema prosedur proses pencairan uang yang mana tanpa uang muka ke pihak mitra ini juga tentu akan memberatkan bagi pelaku usaha mikro menalangi dulu kebutuhan menyediakan MBG, apalagi semua memahami bahwa proses pencairan uang pembayaran untuk mitra berdasarkan kontrak tentu tak bisa segera karena persyaratan administrasi yang membutuhkan proses, sementara pihak pelaku usaha mikro kecil mesti membiayai kebutuhan belanja dan membayar bahan baku makanan ke pihak pemasok, upah tenaga kerja dan biaya operasional, apalagi umumnya pihak pengumpul atau pemasok pangan juga tak bersedia jika dengan pembayaran tunda melebihi 1 atau 2 bulan, ini akan berpengaruh pada pelaku mitra yang mesti melaksanakan penyediaan MBG sesuai kontrak.
Ketiga, skema persyaratan standar tiap dapur melayani untuk 3000 porsi MBG juga banyak mengundang kekhawatiran akan ketidakmampuan pelaku usaha mikro yang menjadi mitra bisa memenuhi karena alasan permodalan. Ketiga faktor tersebut menjadi kendala untuk menjamin dan meyakinkan publik bahwa program MBG ini akan punya komitmen keberpihakan dengan para pelaku usaha mikro calon mitra penyedia (cattering) agar berdampak luas dan berkeadilan.
Prioritas Sasaran Pedesaan & Skema Tata Kelola
Menurut pandangan penulis, masih perlu pembahasan mendalam untuk sekaligus meng evaluasi strategi terkait regulasi tata kelola yang mendasari skema dan prosedur teknis program MBG oleh pihak BGN selaku pengelola untuk eksekusi program ini sebelum terlanjur terlalu jauh berpotensi merumitkan pelaksanaannya kelak, jangan sampai berpotensi membuat tujuan, dampak, dan target capaian (output dan outcome) program MBG ini sulit dicapai secara terukur, bahkan jangan sampai membuka celah penyalahgunaan karena semakin men-justifikasi argumen berbagai kalangan yang sejak awal dan saat ini menolak dan tak sependapat dengan program MBG ini, dengan kata lain, segala ikhtiar, tekad, niat baik dan mulia Presiden Prabowo memperjuangkan hadirnya program MBG ini jangan sampai dipandang dan dinilai kurang berdampak signifikan karena rendahnya tingkat perlibatan atau partisipasi dari berbagai elemen rakyat terutama di level terbawah yang menyebar di desa-desa seluruh penjuru negeri, karena tingkat perlibatan dan partisipasi secara langsung menguatkan legitimasi kebijakan prioritas dan strategis yang menggunakan sumber keuangan negara (uang rakyat).
BGN tentu menyadari sepenuhnya berhasil atau tidaknya Program MBG mencapai dampak (outcome) optimal yang ditargetkan akan menguatkan legitimasi kebijakan program MBG dari publik luas, sebaliknya implementasi program MBG cukup rentan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepuasan dan kepercayaan publik luas terhadap program prioritas pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo.
Penulis menyarankan BGN perlu melakukan evaluasi perencanaan lebih komprehensif, holistik dan inklusif program MBG terutama terkait sistem prosedur tata kelola, persyaratan teknis, skema atau model pengadaan barang dan jasa untuk penyedia jasa MBG dari pelaku mikro kecil, skema pengadaan ini akan langsung terkait dengan titik sebaran sasaran siswa sekolah penerima MBG, termasuk perlibatan dan partisipasi elemen masyarakat terhadap implementasi program mbg untuk menguatkan legitimasi kebijakan program mbg di seluruh indonesia.
Saat uji coba program MBG digulirkan di 26 provinsi ternyata sebagian besar sasaran titik sekolah-sekolah terletak di area perkotaan (kota-kota) sehingga memunculkan persepsi rasa kurang berkeadilan, mengapa ? karena tentu saja anak-anak siswa di pedesaan (kabupaten) apalagi yang berada di desa-desa sangat jauh dan terpelosok baik pesisir dan pedalaman jauh lebih membutuhkan hadirnya program MBG, lebih tepat implementasi MBG ini justru dimulai dari desa-desa di kabupaten-kabupaten (di jawa dan luar jawa) seluruh Indonesia, tinggal direncanakan kuota per kabupaten ada berapa jumlah sasaran lalu disesuaikan dengan sekolah-sekolah (paud-tk-sd-smp-sma) dan di desa mana saja, ini bisa direncanakan dengan data dapodik nasional di kementrian pendidikan karena disitu tentu sudah lengkap detail sebaran sekolah dari paud-tk-sd-smp-sma, jumlah siswa, lokasi sekolah, juga sudah ada titik koordinatnya, sehingga bisa dirancang melalui pendekatan geospasial, misalnya dari 75 ribu desa se-indonesia dengan anggaran yang ada saat ini bisa untuk berapa jumlah siswa penerima termasuk balita dan ibu hamil, jadi dikalkulasi berapa desa untuk tahap pertama, bisa dilaksanakan di berapa desa untuk tiap provinsi, tentu bisa koordinasikan dengan Kementrian Desa dan Kemendagri karena langsung berkaitan dengan para gubernur, bupati, walikota dan kepala desa. Jadi dapur MBG lebih tepat diimplementasikan untuk tiap desa, agar lebih bisa terkendali dan fokus dalam mengelola MBG, kalau di desa itu ada 2 atau 3 sekolah baik tk-sd-smp misalnya maka MBG lebih terjamin dikelola dengan aman dan distribusi MBG ke sekolah-sekolah pun tak khawatir kesulitan karena jarak antar sekolah dan dapur MBG di desa itu.
Lalu siapa pihak yang lebih tepat menjadi mitra penyedia jasa MBG secara swakelola di desa-desa, penulis menyarankan lembaga PKK desa dan Bumdes lebih tepat karena selain organisasinya sudah lebih siap, apalagi di dalam PKK desa pengurus dan anggotanya di dalamnya sudah terkolaborasi selain istri kades, perangkat desa, guru, bidan, perawat, kader-kader posyandu, kader lansia, tokoh penggerak perempuan di desa, karang taruna nya atau pemuda di desa.
Bumdes bersama Koperasi Desa Merah Putih yang sekarang sedang gencar dilakukan proses pembentukan nya direncanakan menyebar hingga 70 an ribu desa di seluruh Indonesia tentu bisa diperankan untuk menyerap sumber bahan baku seperti beras, sayuran, telur, ayam, daging, ikan dan komoditi pangan lainnya untuk dikelola di Dapur PKK desa distribusi pada tiap jadwal pelaksanaan MBG. maka skema persyaratan dan sistem mekanisme teknis nya tidak perlu sistem penawaran tender tapi cukup dengan skema swakelola dengan penunjukan langsung agar lebih efektif dan sederhana secara administratif, proses pencairan keuangannya ke rekening PKK Desa lebih cepat, pelaporan dan pengawasan juga efektif.
Perlibatan & Partisipasi Elemen Rakyat
Di Wilayah pedesaan sudah jadi kebiasaan tradisi dapur bersama kalau ada hajatan dan acara, jadi sekaligus menghidupkan tradisi budaya gotong royong dan suasana guyub dalam mengelola MBG dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan akan jauh lebih bermakna dan menimbulkan suasana batin kebahagiaan bagi semua warga.
Selain itu dengan model sebaran pada tiap desa dan skema swakelola sekaligus menunjukkan bahwa program ini tidak melulu terkesan terlalu sentralistik namun sebaliknya bernafaskan desentralisasi karena membuka ruang dan kepercayaan kepada desa-desa dan para kepala daerah untuk bisa melibatkan secara aktif mengawal implementasi program MBG di lapangan sehingga jauh akan lebih ternavigasi dan terkendali, apalagi para kepala daerah dan kades-kades tentu akan berupaya agar program MBG ini berjalan dengan baik dan sesuai rencana karena selain mensukseskan program unggulan presiden, juga dibutuhkan karena akan mendongkrak pergerakan ekonomi terutama pelaku usaha mikro sektor pangan di desa-desa dan agregatnya akan berdampak ke pengurangan pengangguran dan kemiskinan di kabupaten,kota dan provinsi.
Semakin banyak dan luas perlibatan dan partisipasi semua elemen di desa menjadi faktor penting dan kunci keberhasilan agar proses pelaksanaan program MBG bisa berjalan baik, tertib, transparan, akuntabel, berkeadilan dan membangun suasana batin yang membahagiakan semua rumah tangga.
Kades dan perangkat desa juga bisa mengawal adminsitrasinya apalagi sekarang hampir semua desa sudah ada jaringan internet dan sudah berbasis digital dalam tata kelola pemerintahan desa. Dampak membuka peluang usaha baru bagi anak-anak muda dan ibu-ibu di desa-desa juga akan terbuka dari pemenuhan bahan baku yang dibutuhkan sehingga kelak bisa jadi peluang anak-anak muda atau ibu-ibu buka ayam petelur, ayam pedaging, budidaya ikan tawar, nanam sayur mayur.
Kalau PKK desa sebagai pelaksana penyedia maka kepala desa bisa gunakan anggaran ketahanan pangan yang 20 persen dari dana desa itu untuk mendukung inisiatif usaha mikro kecil sektor pangan. Pemerintah Daerah kabupaten dan pemprov juga akan lebih berupaya mengawal agar program ini terlaksana. Sistem kendali pengawasan pun bisa dijalankan oleh aparat TNI/Polri melalui peran babinsa dan babinkamtibmas di tiap desa untuk melaporkan foto dan informasi pada tiap kegiatan distribusi MBG ke sekolah dan memastikan berjalan lancar di lapangan.
Beberapa insiden di lapangan seperti keterlambatan distribusi hingga keracunan karena basi dan berbau termasuk mundurnya mitra-mitra penyedia MBG yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini perlu menjadi perhatian seksama BGN untuk mulai mengevaluasi secara cermat. Bagaimana dengan standar gizi yang mesti terjamin ? sebenarnya di tiap kabupaten sudah ada tenaga-tenaga lulusan sekolah ahli gizi dan ada organisasinya yaitu Persagi (persatuan ahli gizi indonesia), selain penempatan di dinas kesehatan provinsi dan kabupaten kota, ada juga yang ditempatkan di puskesmas-puskesmas, selain itu PKK desa, kader-kader kesehatan desa dan kader pemberdayaan desa seperti kader posyandu, kader lansia, kader KB, kader pendamping lokal desa, kader PKH, termasuk guru-guru paud-tk-sd-smp-sma, hampir tiap tahun sudah sering mendapatkan pengetahuan melalui penguatan dan pelatihan terkait makanan bergizi, meskipun bukan ahli profesional namun setidaknya standar makanan sehat bergizi, baik kebersihan dan keamanan makanan sudah paham dan punya pengalaman selama ini. jikapun perlu diperkuat lagi tinggal menjadi bagian dari agenda BGN untuk sekaligus saat jalankan proses persiapan dan monitoring. jadi sebenarnya tenaga gizi dan kader kesehatan yang juga menjadi instrumen pemerintah dan negara mesti dimanfaatkan dan diberikan peran bisa terlibat aktif.
Secara geografis, jangankan di luar pulau jawa, di jawa saja pun masih banyak desa-desa yang sulit akses dan terpelosok lokasinya di tiap kabupaten apalagi di semua provinsi luar jawa yang luas dan kondisi infrastruktur masih terbatas. kalaupun informasinya pihak BGN saat ini telah terlanjur mengeksekusi anggaran untuk pembelian peralatan dapur, tentu tidak jadi masalah untuk bisa didistribusikan peralatan tersebut ke desa-desa sasaran sesuai rancangan pemetaan sasaran hasil evaluasi secara komprehensif. Namun ada catatan khusus untuk di provinsi papua perlu perhatian untuk dikecualikan dengan skema di atas, karena kita pahami masih terjadi potensi ketidakstabilan situasi dan kondisi kamtibmas sehingga penulis menyarankan khusus di papua lebih terjamin dikelola langsung melalui TNI/Polri.
Khusus untuk program MBG bagi sasaran di Pondok Pesantren untuk para santri dan sekolah swasta berasrama bisa dibuat skema yang efektif dengan langsung dijalankan secara swakelola oleh pengurus Pondok Pesantren dan Sekolah-sekolah swasta dengan Asrama, karena selama ini juga telah memiliki dapur-dapur untuk memasak bagi makan para santri yang mondok begitu pula di asrama sekolah swasta, jadi tinggal diberdayakan yang sudah berjalan tentu dengan skema peningkatan kualitas sarana prasarana dapur dan standar gizi yang lebih baik, mengingat jumlah nya juga cukup besar menyebar baik di pulau jawa maupun luar jawa. Kemandirian pengelolaan dapur di pontren-pontren dan asrama siswa selama ini justru memperkuat program MBG dapat terjamin untuk terimplementasikan dengan optimal.
Sasaran & Skema MBG di Perkotaan
Bilamana tahun depan jumlah sasaran penerima untuk keseluruhan siswa, balita, ibu hamil dan ibu menyusui di seluruh indonesia bisa dijalankan karena anggaran mencukupi , maka sebaran desa-desa dari yang paling terjauh lebih dulu lalu seterusnya akan sampai lebih dekat ke desa tiap ibu kota kecamatan di semua kabupaten, selanjutnya titik sasaran sebaran diimplementasikan untuk sekolah-sekolah di daerah perkotaan (kota-kota), kalau titik sebaran di perkotaan barulah memungkinkan dilakukan dengan skema prosedur pengadaan melalui sistem penawaran tender dalam penunjukkan mitra-mitra penyedia MBG, karena secara geografis tak terlalu mengkhawatirkan untuk distribusi nya dari resiko keterlambatan waktu berakibat makanan jadi basi yang membahayakan anak-anak siswa penerima MBG.
Selain itu kalau di kota-kota umumnya sudah banyak pelaku-pelaku usaha cattering makanan minuman yang telah berpengalaman selama ini dan sudah punya legalitas perijinan lengkap, namun skema persyaratan standar jumlah porsi untuk tiap Dapur MBG perlu ditinjau ulang untuk direvisi agar tak jadi kendala, mungkin cukup 1000 – 1500 porsi tiap dapur MBG agar pelaku usaha mikro sebagai mitra mampu untuk melayani, apalagi jumlah murid bisa saja bertambah di pertengahan semester (karena kepindahan atau alasan lain) juga jumlah ibu hamil dan anak balita bisa bertambah sehingga akan merumitkan karena konsekuensinya dibutuhkan lagi proses addendum dari kontrak pengadaan dengan mitra penyedia MBG.
Gagasan pemikiran untuk memulai implementasi MBG diprioritaskan sasaran lebih dulu ke wilayah pedesaan (kabupaten-kabupaten) sesuai jumlah penerima manfaat tahun ini dengan skema swakelola yang dipercayakan pengelolaannya ke lembaga PKK desa bersama Bumdesa dan tahun depan baru diperluas sasaran untuk di wilayah perkotaan (kota-kota) dengan skema penawaran tender untuk mitra penyedia akan menjadi langkah solusi bijak, seimbang, memenuhi rasa keadilan dan mampu menavigasi keberhasilan dampak dan target pencapaian implementasi BGM.
Sistem Informasi Data Berbasis GeoSpasial (GeoPortal MBG)
Penulis menyarankan gagasan Sistem Informasi Data untuk pelaporan, monitoring, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan akan lebih cepat, efektif dan efisien dengan sistem informasi data berbasis peta geospasial (by name, by addres,by coordinate, by picture-foto, dan informasinya) baik sebaran sasaran di seluruh wilayah pedesaan dan perkotaan untuk sekolah-sekolah (paud-tk-sd-smp-sma), posyandu (balita,ibuhamil dan menyusui), poslansia, dapur MBG di pkk desa dan di dapur mitra pelaku usaha mikro, kepala sekolah/guru, aparat desa, babinsa, babinkamtibmas dan semua pihak yang diberikan tanggung jawab untuk melaporkan kegiatan di seluruh penjuru Nusantara.
Presiden, Wapres, Para Menko dan Menteri dan Lembaga terkait dengan program MBG, termasuk para kepala daerah (gubernur,bupati,walikota) bisa lebih efektif secara bersama-sama setiap waktu memantau perkembangan semua informasi dan data (melalui tv monitor peta sebaran geospasial) dari kegiatan BGM yang akan di-up date setiap hari pelaksanaan MBG di seluruh penjuru tanah air (75 ribu desa, 416 Kabupaten, 98 Kota dan 38 Provinsi) dengan hadirkan GeoPortal MBG yang efektif untuk pengiriman dan penerimaan laporan dan informasinya melalui foto dan informasi kegiatan dari sumber semua subyek dan obyek di lapangan dalam kegiatan MBG di seluruh indonesia.
Dapat diilustrasikan semua informasi dan data akan lebih efektif terkonfirmasi, jadi laporan langsung nyata dari sumbernya di lapangan, dengan GeoPortal MBG seluruh informasi dan data terkait subyek dan obyek program MBG dapat ditemusatupadukan, sekaligus lebih menunjukkan itikad baik dan komitmen untuk mengelola program MBG dengan transparan dan akuntabel, tingkat perlibatan partisipasi akan terlihat jelas dan lebih efektif mengukur dampak signifikan program MBG. Singkatnya, dengan sistem informasi data berbasis GeoSpasial (GeoPortal MBG) lebih menavigasi semua pihak agar adaptif dan fleksibel dan cepat dalam pengambilan keputusan strategis untuk mengantisipasi berbagai problem kendala di lapangan sehingga meminimalisir kesulitan dan memperkuat tingkat keberhasilan program MBG.
Momentum Solidaritas & Empati Publik
Penulis memahami apa yang menjadi tekad, ikhtiar dan pikiran terdalam Presiden Prabowo menghadirkan program Makan Bergizi Gratis ini karena rasa tanggung jawab besar untuk memperkuat SDM anak-anak generasi masa depan indonesia, dan itu justru lebih tertuju memprioritaskan untuk anak-anak yang kondisi akses nya sulit dan berada jauh di pelosok-pelosok kampung, dengan kondisi yang serba terbatas dan memprihatinkan baik infrastruktur jalan dan jarak cukup jauh pergi ke sekolah bahkan ada yang harus naik sepeda atau sampan motor air sehingga cukup menguras tenaga dan waktu untuk bisa pergi sekolah, belum lagi kenyataan angka prevalensi stunting dan kondisi kemiskinan sebagian besar ada di pedesaan, tentu lebih membutuhkan dan lebih mendesak jadi prioritas implementasi MBG.
Bila dimulai dari wilayah desa-desa optimis akan terbangun persepsi posistif dari publik luas karena terpanggil rasa keadilan semua elemen bangsa sehingga akan perkuat dukungan legitimasi kebijakan yang kokoh terhadap Program MBG, karena terbangun rasa empati, solidaritas dan rasa tanggung jawab yang memanggil nurani kita semua untuk melayani kebutuhan generasi anak-anak kita di seluruh penjuru negri, sehingga pemahaman persepsi publik bukan seperti yang dikesankan (di framming) seolah program ini hadir semata karena ‘keinginan’ Presiden Prabowo namun jauh lebih substantis dan bermakna bahwa program MBG dihadirkan karena ‘kebutuhan’ rakyat banyak bagi peningkatan kualitas hidup tiap rumah tangga dan generasi anak-anak indonesia.
Menurut hemat penulis lembaga BGN yang diberikan kepercayaan sebagai pengelola masih cukup berpeluang waktu mengambil langkah cepat untuk meramu kembali (merevisi) rancangan prioritas sebaran sasaran , skema dan persyaratan teknis tata kelola MBG sebelum dieksekusi lebih meluas jumlah sasaran penerima, sembari berjalan proses penyisiran efisiensi belanja dan penambahan alokasi anggaran MBG, bukankah lebih bijak untuk memitigasi berbagai resiko kendala teknis dan tak membiarkan implementasi MBG memunculkan persepsi dan rasa ketidakadilan serta membuka peluang partisipasi lebih luas dari berbagai elemen rakyat demi tercapainya tujuan dan dampak signifikan ketika MBG diimplementasikan di seluruh penjuru tanah air.
Gagasan pemikiran sederhana ini semata sebagai bentuk partisipasi dan berkontribusi memberikan alternatif sebagai solusi bijak (win-win solution) untuk memperkuat efektifitas dan legitimasi kebijakan program prioritas pemerintah demi peningkatan kualitas hidup generasi masa depan di republik tercinta ini. semoga bermanfaat.
Penulis adalah Pendiri Instim Kalbar (kajian kewilayahan & pemberdayaan desa) dan Penasehat Senior JARI Boneo Barat, tinggal di Pontianak.