Penulis: Wahyu Ginanjar / Founder Teras Literasi
Durasi waktu dua bulan pasca pelantikan kepala daerah seharusnya cukup untuk menunjukkan tanda-tanda awal gebrakan nyata di tengah masyarakat. Gebrakan itu bisa saja berupa kebijakan yang melanjutkan program pemerintahan sebelumnya, namun tak jarang publik juga menanti kebijakan yang benar-benar baru dan progresif.
Keberhasilan pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih periode 2025-2030 yaitu Asep Japar dan Andreas dalam memenangkan Pilkada Kabupaten Sukabumi 2024 pun bukan kemenangan yang berdiri sendiri. Ada banyak pihak yang berkontribusi dalam pemenangan Asep, salah satunya adalah mantan Bupati Marwan Hamami. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Marwan Hamami memiliki andil besar dalam kemenangan Asep Japar.
Secara kalkulasi politik, tampaknya sikap Marwan Hamami dimotivasi oleh dua hal: keyakinannya bahwa Asep Japar adalah figur yang mampu melanjutkan estafet kepemimpinan, serta posisi strategis yang memungkinkan jejaring politik dan loyalisnya tetap memiliki pengaruh. Oleh karena itu, Asep Japar tampaknya sangat menyadari bahwa dukungan Marwan Hamami dalam pilkada adalah utang budi politik yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab dalam politik, tidak ada makan siang gratis.
Hal yang harus disadari bahwa Kabupaten Sukabumi kini memasuki babak baru kepemimpinan setelah pelantikan Asep Japar dan Andreas sebagai Bupati dan Wakil Bupati untuk periode 2025–2030 pada akhir Februari lalu. Namun, alih-alih menghadirkan harapan baru, publik justru menyaksikan kekosongan arah dan lemahnya gebrakan kebijakan yang menunjukkan adanya visi kuat dari pucuk pimpinan daerah. Terkesan Bupati dan Wakil Bupati terpilih bukan sosok figur yang terlahir dari gerakan gagasan atau prestasi kerja birokrasi, tetapi terlahir dari keinginan bupati sebelumnya.
Hingga dua bulan pasca-pelantikan, tak tampak tanda-tanda bahwa pasangan Asep Japar-Andreas tengah menyiapkan langkah besar. Arah pembangunan terkesan menggantung, bahkan dikaburkan oleh kuatnya pengaruh tokoh-tokoh lama dalam lingkar kekuasaan. Sejumlah pejabat dan figur dari rezim sebelumnya masih bercokol, bukan sebagai pembawa perubahan, tetapi menjadi bayang-bayang yang akan menghambat keberanian mengambil keputusan strategis.
Asep Japar, yang menduduki kursi Bupati tampak belum sepenuhnya melepaskan diri dari jejaring politik dan struktural masa lalu. Sementara Andreas, wakilnya, datang tanpa rekam jejak di pemerintahan, membuat tantangan dalam mengelola 47 kecamatan dengan segala problematikanya menjadi semakin berat.
Kabupaten Sukabumi bukan wilayah yang sederhana. Ketimpangan antarwilayah, terutama antara utara dan selatan, terus menjadi persoalan laten. Wilayah selatan Sukabumi yang terus dihantui bencana, ditambah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih tertinggal dari daerah tetangga, dengan disparitas akses pendidikan dan layanan kesehatan yang kian lebar. Masalah kemiskinan struktural, pengangguran, dan keterbatasan infrastruktur dasar di sektor pertanian dan pariwisata menuntut keberanian pemimpin untuk keluar dari pola birokrasi lama.
Namun yang terjadi, pasangan Asep Japar-Andreas justru terjebak dalam dinamika internal pemerintahan. Alih-alih membangun tim solid berbasis kapabilitas, kursi-kursi strategis justru menjadi ajang kompromi politik. Barisan relawan, tim sukses, dan orang terdekat yang semula menjadi mesin pemenangan kini menagih “jatah kekuasaan” yang tidak selaras dengan kebutuhan profesional birokrasi malah menjadi pembisik agar menguatkan keinginan nafsu pribadinya. Politik balas budi kembali menjadi momok.
Fenomena ini menunjukkan krisis kepemimpinan yang bukan hanya administratif, tetapi juga moral. Pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi momentum untuk melahirkan pemimpin visioner, bukan sekadar pelanjut kekuasaan lama dengan kemasan baru. Namun Asep Japar tampaknya masih dibayangi oleh pengaruh politik sebelumnya, terjebak dalam slogan "lanjutkan kebaikan" yang kini kehilangan arah dan substansi.
Program unggulan yang dijanjikan dalam kampanye belum terlihat wujudnya. Tagline "MUBARAKAH" tidak menjelma dalam bentuk kebijakan yang terstruktur dan berbasis data. Pemerintahan daerah berjalan dalam orbit rutinitas, tanpa inisiatif transformatif yang menyentuh akar persoalan masyarakat. Dari alih fungsi lahan pertanian yang masif, stagnasi sektor pariwisata, hingga ancaman bencana di wilayah selatan, semuanya seperti tak mendapat perhatian serius.
Jika stagnasi ini berlanjut, maka lima tahun ke depan bukanlah masa percepatan pembangunan, melainkan pengulangan pola birokrasi yang lamban dan penuh basa-basi. Masyarakat butuh aksi nyata, bukan retorika. Bupati Asep Japar harus berani mengambil kendali penuh, melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan masa lalu, dan memimpin secara independen.
Waktu terus berjalan, dan masyarakat tak bisa terus menunggu. Kepemimpinan sejati bukan dibentuk oleh popularitas atau slogan, melainkan oleh keberanian dalam mengambil keputusan yang tidak populer namun dibutuhkan. Kabupaten Sukabumi membutuhkan pemimpin yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan sekadar pelengkap lembar sejarah kekuasaan.