Penulis: Siti Amalia, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; Fakultas Sosial dan Ekonomi; Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi
Pendahuluan: Antara kewajiban dan Ketimpangan
Pajak adalah fondasi dari keuangan negara. Dari sanalah roda pemerintahan digerakkan baik dari pembangunan infrastruktur hingga subsidi untuk masyarakat tidak mampu. Namun,
meskipun pajak adalah kewajiban seluruh warga negara, dalam praktiknya hukum perpajakan di Indonesia sering kali tidak dijalankan dengan adil dan merata.
Istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas” menjadi cerminan ironi dalam sistem perpajakan kita. Warga kecil yang telat lapor pajak bisa langsung denda, sementara perusahaan besar dengan utang pajak miliaran rupiah seringkali “diamankan” lewat kompromi administratif.
Ketimpangan dalam Penegakan Hukum Pajak
Kasus perpajakan di Indonesia banyak yang menunjukkan bahwa penegakan hukum pajak belum menyentuh kalangan atas secara tegas. Data dari Kementerian Keuangan tahun 2022 menunjukkan sekitar 60% potensi pajak hilang akibat penghindaran dan penggelapan pajak yang umumnya dilakukan oleh korporasi besar dan individu superkaya (Direktorat Jenderal Pajak, 2022). Di sisi lain, pelaku UMKM yang tidak melakukan pelaporan secara tertib justru lebih sering mendapat surat teguran dan sanksi administratif.
Fenomena ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kesenjangan perlakuan hukum antara kelas ekonomi atas dan bawah. Padahal, menurut prinsip hukum ideal, semua warga negara seharusnya diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun, dalam praktik perpajakan, prinsip ini tampak lebih sebagai slogan ketimbang kenyataan.
Mengapa Tajam ke Bawah?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum pajak cenderung “tajam ke bawah.” Pertama, akses informasi dan kapasitas administrasi. Wajib pajak kecil sering kali tidak memahami regulasi yang kompleks dan tidak memiliki kuasa untuk melakukan negosiasi atau menyewa konsultan pajak. Sementara itu, wajib pajak besar memiliki sumber daya untuk mengakses celah hukum atau bahkan melakukan lobi.
Kedua, struktur pengawasan dan audit yang belum merata. Berdasarkan laporan Laporan Tahunan DJP (2023), rasio audit terhadap perusahaan besar masih rendah. Banyak audit yang dilakukan justru menyasar pelaku usaha skala kecil hingga menengah. Ini justru menimbulkan kesan bahwa hukum pajak hanya tegas pada mereka yang lemah.
Ketiga, aspek politis dan ekonomi. Dalam banyak kasus, negara cenderung berhati-hati ketika berhadapan dengan wajib pajak besar yang memiliki pengaruh ekonomi besar. Pemerintah khawatir bahwa penegakan hukum secara tegas dapat mempengaruhi iklim investasi atau menyebabkan capital flight.
Paradoks Kepatuhan Pajak
Ironisnya, kelompok ekonomi bawah justru memiliki tingkat kepatuhan pajak yang relative lebih tinggi. Hal ini bisa jadi karena mereka merasa tidak punya pilihan lain, atau karena mereka lebih mudah diawasi. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), tingkat kepatuhan UMKM di beberapa kota besar mencapai 70%, jauh di atas kepatuhan beberapa wajib pajak besar yang terdeteksi menyimpan aset di luar
negeri.
Ketimpangan ini menciptakan paradoks: mereka yang paling mampu membayar justru paling banyak melakukan penghindaran, sementara yang paling rendah justru paling patuh.
Urgensi Reformasi Perpajakan
Untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan, pemerintah harus melakukan reformasi serius di berbagai aspek. Pertama, memperkuat regulasi dan penegakan hukum terhadap praktik penghindaran pajak. UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah tidak cukup untuk mengatasi praktik penghindaran pajak di era digital dan global.
Kedua, meningkatkan transparansi dalam penanganan kasus perpajakan. Publik berhak mengetahui proses dan hasil dari penanganan kasus pajak, terutama yang melibatkan perusahaan besar atau tokoh publik. Transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Ketiga, membangun sistem perpajakan berbasis teknologi informasi yang adil dan menyeluruh. Sistem pelaporan dan audit berbasis digital yang otomatis dan terintegrasi bisa mengurangi diskriminasi dan intervensi subjektif aparat pajak.
Keadilan Pajak dan Kepercayaan Publik
Pajak bukan hanya soal angka dan kewajiban, tetapi juga soal hubungan antara negara dan warganya. Jika hukum pajak terus berpihak pada mereka yang kuat secara ekonomi, maka
kepercayaan publik terhadap sistem akan runtuh. Warga akan mulai bertanya: “Mengapa saya harus taat, jika yang besar saja bisa lolos?”
Krisis kepercayaan ini berbahaya karena dapat memicu pembangkangan pajak secara masif, dan pada akhirnya merugikan negara sendiri. Oleh karena itu, keadilan dalam penegakan hukum pajak bukan hanya soal etika, tetapi juga soal menjaga keberlanjutan sistem fiska negara.
Kesimpulan
Hukum pajak yang adil adalah fondasi negara yang kuat. Jika kita ingin membangun bangsa yang berdaulat dan sejahtera, maka keadilan dalam perpajakan harus menjadi prioritas. Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku untuk semua bukan hanya untuk yang lemah. Saat hukum pajak benar-benar setara dan tegas pada semua lapisan, maka pajak tak akan lagi dipandang sebagai bebas, tetapi sebagai kontribusi bersama untuk masa depan.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Pajak. (2022). Laporan Kinerja DJP 2022. Jakarta: Kemenkeu RI.
2. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). (2023). Tingkat Kepatuhan Pajak
UMKM di Indonesia.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
4. Kemenkeu RI. (2023). Statistik Pajak 2023. Jakarta.
5. Prakasa, Yustinus. (2021). Perpajakan dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.