Penulis: Wahyu Ginanjar, Founder Teras Literasi
Ada sebuah harapan atau mimpi besar yang tengah berhembus di Kota Sukabumi untuk menjadi Kota Wakaf. Sebuah kota yang tidak hanya bertumpu pada APBD, tapi juga pada semangat gotong royong umat melalui skema dana abadi berbasis wakaf. Gagasan ini diinisiasi langsung oleh Wali Kota Sukabumi terpilih, Ayep Zaki, yang belum lama ini meresmikan program Wakaf Dana Abadi Kota Sukabumi karena merupakan bagian dari janji politik pada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).
Namun, mimpi ini menyisakan keresahan. Pasalnya, pengelolaan wakaf tersebut dijalankan melalui kerja sama dengan Yayasan Pembinaan Pendidikan Doa Bangsa (YPPDB) yang merupakan lembaga yang didirikan langsung oleh Wali Kota sendiri. Meski beliau telah menyatakan mundur dari kepengurusan, namanya masih tercatat sebagai pendiri, sebuah posisi yang secara hukum tidak aktif, tetapi secara etis menyimpan potensi konflik kepentingan, terlebih bila lembaga tersebut mendapat manfaat dari pengelolaan wakaf.
Secara regulasi tentu tidak menafikan bahwa YPPDB telah memiliki sertifikasi sebagai nazhir wakaf dari Badan Wakaf Indonesia (BWI), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Namun, persoalan yang muncul bukan hanya soal legalitas, melainkan soal legitimasi moral dan publik. Masyarakat berhak mempertanyakan: apakah ini bentuk pemberdayaan wakaf, atau justru pemanfaatan kekuasaan melalui wakaf?
Pasal 11 UU Nomor 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya. Maka dari itu, pengelolaan dana abadi wakaf oleh lembaga yang memiliki keterkaitan historis dengan kepala daerah perlu diawasi secara ketat untuk memastikan tidak adanya penyimpangan dari prinsip-prinsip amanah wakaf.
Alih-alih mengarahkan potensi wakaf pada satu lembaga yang beririsan langsung dengan jejak pendirinya, alangkah lebih bijak jika Wali Kota menggunakan otoritasnya untuk memperkuat ekosistem wakaf di Sukabumi secara inklusif dan kolaboratif.
Pemerintah Kota Sukabumi seharusnya membentuk Forum Wakaf Kota yang melibatkan berbagai elemen: BWI, Kementerian Agama, MUI, Baznas, perbankan syariah, lembaga zakat, organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, PUI, dan lain-lain . Upaya ini sejalan dengan Pasal 22 PP Nomor 42 Tahun 2006 yang mendorong sinergi antar-lembaga dalam pengembangan harta benda wakaf secara produktif.
Jika orientasi pada pemberdayaan, maka seharusnya sikap walikota sukabumi mengambil langkah-langkah untuk menjembatani dan mendorong kolaborasi berbagai pihak sehingga mengendukasi dan serta memberdayakan nadzir melalui lembaga-lembaga yang ada bukan mengarahkan pada lembaga yang beririsan dengan priibadi beliau.
Walikota Sukabumi dengan kebijakannya dapat memfasilitasi sertifikasi dan pendampingan bagi lembaga wakaf lain yang belum berkembang, membuka akses pelatihan, bantuan teknologi/sistem, mendorong terbentuknya perda wakaf, dan bahkan insentif fiskal lokal. Ini akan menciptakan iklim kompetisi sehat, partisipasi masyarakat yang luas, dan transparansi yang tinggi.
Dengan mengambil sikap atau langkah seperti ini, Wali Kota Sukabumi dapat menjalankan amanat Pasal 22 tersebut dan menjadikan wakaf sebagai instrumen penting dalam pembangunan kota yang berkeadilan dan berkelanjutan, lembaga-lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan umat merasa mendapatkan edukasi terkait wakaf, adapun masyarakat bebas untuk memilih wakaf dilembaga yang mereka percaya.
Sehingga dengan langkah tersebut kepala daerah terhindar dari perspektif negatif di mata masyarakat dan tidak menghilangkan wibawa dirinya secara pribadi sebagai Walikota malah menjadi inisiator dan inspirasi wakaf di Kota Sukabumi.
Wakaf sejatinya adalah instrumen yang penuh potensi. Laporan BWI tahun 2023 mencatat potensi wakaf nasional mencapai Rp180 triliun per tahun, namun realisasinya masih di bawah 1%. Artinya, dibutuhkan inovasi sekaligus integritas dalam mengelola wakaf agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas.
6 daerah ditetapkan jadi kota wakaf
Ditahun 2024 Kemenag RI memberikan atribut kota wakaf kepada enam daerah Enam kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Siak, Kota Padang, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Wajo, dan Kota Tasikmalaya. Hal yang penting dicatat, pemberian atribut kota wakaf kepada enam daerah tersebut karena kepala daerah memberikan dukungan dan pemberdayaan pada program wakaf.
Mimpi menjadikan Sukabumi sebagai Kota Wakaf adalah mimpi besar yang patut kita apresiasi. Namun, mimpi ini harus tumbuh dari akar pemberdayaan, bukan dari bayang-bayang pemanfaatan. Kepala daerah memiliki peran strategis sebagai arsitek kolaborasi, bukan sebagai poros sentral kekuasaan. Enam daerah yang telah dianugerahi atribut sebagai Kota Wakaf oleh Kemenag RI menjadi bukti nyata bahwa keberhasilan program wakaf sangat ditentukan oleh komitmen kepala daerah dalam mendukung penguatan ekosistem secara terbuka dan inklusif.
Maka dari itu, Wali Kota Sukabumi semestinya mengambil pelajaran dari praktik-praktik baik tersebut dengan memfasilitasi sertifikasi dan pendampingan bagi nazhir baru, membuka akses pelatihan, bantuan teknologi/sistem yang terintegrasi, hingga mendorong lahirnya perda wakaf dan insentif fiskal daerah.
Langkah ini bukan hanya akan menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan partisipasi publik yang luas, tetapi juga akan menghindarkan kepala daerah dari tuduhan konflik kepentingan serta menjaga wibawanya sebagai pemimpin. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat: apakah Wali Kota Sukabumi sedang membangun peradaban wakaf yang berkeadilan, atau sekadar membungkus ambisi pribadi dalam balutan narasi menata kebaikan.