Program Wakaf Dana Abadi Kota Sukabumi: Masalah Etik dan Potensi Konflik Kepentingan

Sukabumiupdate.com
Selasa 15 Apr 2025, 20:21 WIB
Wahyu Ginanjar, Founder Teras Literasi (Sumber : Istimewa)

Wahyu Ginanjar, Founder Teras Literasi (Sumber : Istimewa)

Penulis : Wahyu Ginanjar, Founder Teras Literasi/Mantan Ketum HMI Cabang Sukabumi


Kebijakan Wali Kota Sukabumi terkait program Wakaf Dana Abadi Kota Sukabumi yang dikerjasamakan dengan Yayasan Pembina Pendidikan Doa Bangsa (YPPDB), dengan Nomor : PU.01.03/05/1/8/PEM/TKKSD/200/25 dan Nomor : 055/PKS/YPPDB/III/2025 memicu polemik di tengah masyarakat.

Sebagai warga yang peduli terhadap pembangunan daerah dan tata kelola pemerintahan yang bersih serta berintegritas, saya menyambut baik inisiatif kebijakan Wali Kota dalam menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam wakaf dana abadi Kota Sukabumi.

Gerakan ini, jika dijalankan dengan tata kelola yang transparan dan sesuai regulasi, tentu sangat potensial menjadi motor penggerak kemaslahatan umat dan pembangunan sosial di Kota Sukabumi.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan dan diperbincangkan bukan terkait program wakaf dana abadi, terlepas dari status yurisprudensi Islam yang masih menjadi ikhtilaf (perbedaan) pandangan para ulama.

Permasalahan yang diperbincangkan adalah status kerjasama antara Pemerintah Daerah Kota Sukabumi dengan Yayasan Pembina Pendidikan Doa Bangsa (YPPDB) yang merupakan mitra utama sosialisasi gerakan wakaf dana abdi, dan ini harus dikritisi dengan serius. Karena dalam pasal 2 terkait objek dan pasal 3 terkait ruang lingkup pihak pertama dalam hal ini Pemda Kota Sukabumi menunjuk pihak kedua YPPDB sebagai nazhir wakaf.

Ada beberapa catatan yang dianggap bermasalah; Pertama, Walikota Sukabumi terlalu grasa grusu dalam mengambil kebijakan program wakaf tersebut, seharusnya ada sosialisasi atau tahapan yang harus ditempuh agar masyarakat memahami terkait program wakaf tersebut. Kedua, publik mengetahui bahwa Wali Kota merupakan salah satu pendiri yayasan tersebut sehingga timbul potensi konflik kepentingan (conflict of interest) yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Perlu diingat bersama bahwa wakaf uang secara nasional telah diatur melalui regulasi resmi, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, dengan otoritas resmi yang diemban oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sehingga secara regulatif apabila pemerintah daerah bekerjasama secara langsung dengan BWI dan mitra-mitra nazhir resmi yang telah ditunjuk dan diawasi oleh BWI maka sah. Akan tetapi jika penunjukkan langsung seperti kepada Yayasan Pembina Pendidikan Doa Bangsa (YPPDB), tentu menjadi hal yang berbeda.

Keterlibatan lembaga yang memiliki kedekatan personal dengan kepala daerah dalam program penghimpunan dana publik, apalagi dana wakaf yang menyangkut kepercayaan umat, sangat rentan menimbulkan prasangka publik. Bahkan jika dikelola secara profesional sekalipun, kemitraan semacam ini akan tetap menyisakan pertanyaan etik dan akuntabilitas.

Oleh karena itu, dalam konteks pemerintahan dan kebijakan publik, integritas bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal persepsi publik dan etika jabatan. Dalam konteks ini, keterlibatan Yayasan Forum Komunikasi Doa Bangsa (YFKDB) yang telah memperoleh legalitas resmi sebagai nadzir dari BWI tentu secara hukum formal telah memenuhi ketentuan perundang-undangan.

Namun demikian, aspek etika pemerintahan dan integritas publik tetap harus menjadi pertimbangan utama. Asumsi masyarakat terkait Walikota Sukabumi memiliki hubungan personal dengan yayasan tersebut dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hal yang harus dipahami oleh pejabat publik bahwa etika tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pejabat publik dituntut untuk menghindari situasi di mana keputusan kebijakan berpotensi memberikan keuntungan kepada pihak yang memiliki kedekatan pribadi atau afiliasi organisasi.

Meski YPPDB sah sebagai nazhir, pengaruh simbolik dan otoritas kepala daerah dalam mengarahkan masyarakat untuk berwakaf kepada lembaga yang ia kerjasamakan bisa menciptakan kecenderungan eksklusivitas.

Untuk itu, izinkan saya memberikan beberapa masukan:

  1. Berikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi secara bertahap kepada masyarakat agar memahami secara betul bagaimana program wakaf ini berjalan dan apa manfaatnya buat masyarakat Kota Sukabumi.
  2. Transparansi keterlibatan YPPDB perlu dijelaskan secara terbuka kepada publik, termasuk struktur pengelola, laporan keuangan, serta pengawasan eksternal.
  3. Pemda sebaiknya bersikap netral secara kelembagaan, dan memberikan ruang partisipasi luas kepada masyarakat untuk memilih sendiri nazhir yang mereka percayai.


Dengan langkah-langkah tersebut, gerakan wakaf dana abadi Kota Sukabumi akan tumbuh tidak hanya sebagai program yang sah secara hukum, tetapi juga legitim secara sosial dan moral, serta terbebas dari prasangka keberpihakan pribadi.

Editor :
Berita Terkait
Berita Terkini