Kewenangan TNI Pasca UU TNI Baru, Antara Peran TNI dan Polri dalam Tatanan Keamanan Negara

Sukabumiupdate.com
Rabu 09 Apr 2025, 19:32 WIB
(Foto Ilustrasi) Pemerhati Hukum Konstitusi Negara soroti kewenangan TNI pasca UU TNI baru.| Foto: Freepik

(Foto Ilustrasi) Pemerhati Hukum Konstitusi Negara soroti kewenangan TNI pasca UU TNI baru.| Foto: Freepik

Oleh: Raden Mas Abi Satria Bhaskara

Pemerhati Hukum Konstitusi Negara

Indonesia pernah mengalami masa di mana Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memainkan peran ganda di bidang pertahanan dan politik. Peran ganda angkatan bersenjata (Dwifungsi) di Indonesia mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, namun setelah Soeharto lengser, situasi politik Indonesia mulai berubah. TNI yang sebelumnya terlibat dalam politik kini mulai dipertanyakan.

Pada masa reformasi 1998, tuntutan untuk mencabut Dwifungsi ABRI semakin kuat, dan setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai presiden, pelan-pelan tuntutan ini dikabulkan. Pada masa kepemimpinan Gus Dur (1999-2001), sejumlah reformasi besar dilakukan, salah satunya dengan meniadakan Fraksi ABRI di MPR.

Era pemerintahan Megawati kemudian memisahkan Polri dari TNI dengan disahkannya Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002, dan mencabut doktrin Dwifungsi ABRI. TNI yang sebelumnya terlibat dalam politik dan menduduki jabatan sipil pun, kini tidak lagi terlibat dalam politik partisan.

Namun, setelah lebih dari 25 tahun reformasi TNI, keterlibatan kekuatan militer dalam kehidupan sosial-politik Indonesia masih terlihat. Misalnya, di masa pemerintahan Jokowi, sejumlah pensiunan jenderal TNI duduk di kabinet.

Periode kepemimpinan Jokowi juga mencatatkan diperbolehkannya penempatan tentara aktif di beberapa kementerian, Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan TNI dalam kehidupan sosial-politik tetap mengakar. Pada Maret 2025, UU TNI kembali mengalami perubahan, dengan disahkannya RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

UU TNI yang baru ini perlu kita cermati dan pahami isinya bersama supaya kita bisa memahami dinamika keamanan dan pertanahan di Indonesia, terutama memahami perkembangan TNI lebih mendalam.

Salah satu poin penting dalam UU baru ini mengatur penambahan ruang lingkup operasi militer selain perang (OMSP) pada Pasal 7 ayat 2 serta perubahan mekanisme operasi yang kini berada di bawah keputusan Presiden, bukan lagi keputusan politik negara, jika sebelumnya keputusan operasi diajukan oleh presiden dan disepakati bersama dengan DPR, maka UU baru ini hanya memerlukan keputusan presiden saja tanpa perlu keterlibatan DPR.

Sebelumnya, UU TNI 2004 mengatur pelibatan TNI dalam 14 jenis OMSP, termasuk membantu Polri dan pemerintah dalam tugas-tugas non-kekerasan seperti menjaga stabilitas keamanan dalam keadaan darurat atau bencana. Namun, perubahan yang terjadi melalui UU TNI yang baru menunjukkan adanya pergeseran kewenangan yang signifikan. Dalam UU TNI yang lama, pelibatan militer dalam OMSP harus berdasarkan keputusan politik negara yang sah, yang dirumuskan oleh pemerintah dan DPR.

Pengambilan keputusan ini dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Dalam UU TNI yang baru, pelibatan TNI dalam OMSP tidak lagi harus berdasarkan keputusan politik negara, melainkan pada keputusan Presiden.
Keputusan ini yang walaupun bisa dimengerti menambah kewenangan Presiden didalam UUD yang pada dasarnya bersistem presidensil.

Kita sebagai masyarakat umum perlu mendorong Presiden dalam membuat peraturan presiden dan keputusan presiden mengenai OMSP didesain sistem check and balances yang baru dalam rangka transparasi ke publik mengenai Operasi Militer yang dilakukan TNI.

Dengan keluarnya Undang- Undang TNI yang baru, terdapat potensi pelucutan kewenangan POLRI yang cukup signifikan, terutama terkait dengan penanganan terorisme.

Berdasarkan asas “lex posterior derogat legi priori”, undang-undang yang lebih baru akan mengesampingkan atau bahkan mencabut kewenangan yang diatur dalam peraturan yang lebih lama. Dalam konteks ini, fokus utama masyarakat umum seharusnya tidak pada isu dwifungsi TNI, tetapi lebih kepada dampak yang mungkin timbul terhadap pelucutan kewenangan Polri yang sangat vital, terutama dalam menjaga keamanan domestik.

Terorisme dan Paradigma Negara

Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang digolongkan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against humanity), serta merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan masyarakat.

Terorisme sebagai extra ordinary crime tentu membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara cara luar biasa. Menurut Muladi, terorisme sebagai kejahatan luar biasa membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra ordinary measure). Sehubungan dengan itu, setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung “Etno socio or Religious Identity” dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar yang luar biasa mengingat majunya teknologi komunikasi , informatika, dan transportasi modern.

Indonesia telah memiliki sejumlah payung hukum dalam mengenai terorisme. Undang-undang no 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi peraturan hukum nasional anti terorisme di Indonesia. Selanjutnya, dalam Undang-undang nomor 5 tahun 2018 sebagai UU anti teror terbaru memberikan penguatan kewenangan terhadap POLRI dalam pemberantasan terorisme.

Penguatan kewenangan POLRI dalam menjalankan peran dan fungsi pemberantasan terorisme tidak lagi sebatas pada penegakan hukum tetapi juga menguat pada Deradikalisasi, juga upaya pencegahan yang meliputi kontra radikal dan pelepasan pengaruh paham radikal. Kemudian UU tersebut menegaskan fungsi koordinasi dan kerjasama efektif antara Polri sebagai institusi Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) sehingga Polri dapat melakukan langkah-langkah koordinasi dan penguatan kewenangan yang menempatkan Polri sebagai institusi yang secara aktif dan bertanggung jawab pada kamdagri.

Undang-undang 5 tahun 2018 menegaskan Peran Polri dan TNI dalam perencanaan strategis terkait pencegahan dan pemberantasan terorisme dalam kedua institusi tersebut, tetapi tidak mengatur penegasan kewenangan dalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

TNI dan Polri sama sama memiliki kewenangan dimana dibagi menjadi Polri sebagai penjaga ancaman terorisme dalam negri dan juga TNI yang mengurusi ancaman terorisme yang berhimpitan dengan kedaulatan negara, dalam fungsi tugasnya sebagai militer. BNPT yang berada di depan lingkungan Polri menjadi komponen utama atau leading role dalam menangani Terorisme.

Undang-undang TNI terbaru memiliki beberapa poin perkembangan penting terkait kewenangan dalam pemberantasan terorisme. Selain dalam poin OMSP yang menggunakan keputusan presiden bukannya keputusan politik negara. Salah satu poin lain OMSP yaitu mengenai pemberian kewenangan TNI dalam mengatasi terorisme. Pasal 7 ayat 2 poin 3 Undang-undang TNI secara spesifik menyebutkan mengatasi aksi terorisme masuk dalam tugas pokok TNI.
Pemberian kewenangan ini memberikan paradigma baru dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme.

Sejauh ini ada tiga paradigma dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme yang berbasis pada perspektif negara dalam melihat ancaman terorisme. Pertama, terorisme dilihat sebagai ancaman kedaulatan negara. Negara dihadapkan pada kemungkinan hilangnya kontrol negara atas wilayah dan atau kehilangan legitimasi publik. Kedua, perspektif negara melihat terorisme sebagai ancaman kejahatan luar biasa. karena penekanan pada criminal luar biasa maka pola penanganannya yakni dengan penegakan hukum dengan basis pijakan penanganan yang khas.

Maka, dalam perspektif ini negara menjadi penegak hukumnya (kepolisian) agar terorisme tidak mengancam sendi kehidupan berbangsa. Ketiga, perspekif negara melihat ancaman terorisme sebagai ancaman kedaulatan dan kejahatan luar biasa. Perspektif ini menekankan pentingnya keterlibatan militer dan kepolisian secara bersamaan.

Negara butuh membagi secara jelas batasan institusi keamanannya dalam menangangi terorisme. Dibutuhkan kejelian negara supaya tidak overlap antar kewenangan lembaga supaya tidak menimbulkan masalah baru dari pembagian kewenangan antar institusi keamanan.

Mengacu pada perspektif diatas dan dinamika dengan adanya UU TNI yang baru, maka negara melalui Undang-undang TNI memperkuat kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. penulis berkesimpulan akan menguatnya perspektif negara dalam melihat ancaman terorisme sebagai ancaman kedaulatan negara yang memerlukan sarana militer dalam penanganannya.

Selanjutnya Negara membutuhkan pembatasan kewenangan yang jelas antara TNI dan Polri dalam penanganan terorisme. Penulis berpendapat, dengan adanya undang-undang TNI secara kewenangan masih adanya tumpang tindih (overlap) yang nantinya akan menimbulkan permasalahan baru dilapangan dan perebutan kewenangan antar institusi keamanan.

Mekanisme Pembagian kewenangan bisa dilakukan dengan menerbitkan keputusan presiden dalam hal ini menjadi ranah Presiden Prabowo untuk mengatu OMSP yang berkaitan dengan mengatasi aksi terorisme ataupun melalui jalur politik hukum merubah perundang-undangan dan mensikronkan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme.

Menilik Kembali Peran TNI dalam Negara Modern

Dalam sistem demokrasi, peran militer seharusnya terbatas pada pertahanan negara dan perlindungan integritas wilayah. Militer harus profesional dan fokus pada tugas utama mereka dalam menjaga keamanan nasional. Keterlibatan militer dalam urusan politik atau pengambilan keputusan pemerintahan dapat merusak prinsip dasar demokrasi, yaitu pembagian kekuasaan dan otonomi institusi negara. Oleh karena itu, penting bagi militer untuk tetap tunduk pada otoritas sipil yang terpilih melalui proses demokratis, agar kebijakan publik tetap ditetapkan oleh pemerintah sipil yang bertanggung jawab.

Berdasarkan prinsip civil military relations, dalam sistem demokrasi, militer harus tunduk pada kontrol sipil yang sah. PASAL 6A UUD 1945, menyatakan bahwa "Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang diangkat melalui proses demokratis”. Selain itu, dalam Pasal 10 UUD 1945, disebutkan bahwa, “Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Ini menekankan pentingnya kontrol politik atas militer oleh lembaga sipil terpilih, yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan pemerintahan.

Tujuan utama pembentukan institusi militer dalam negara demokratis adalah untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang efektif, profesional, dan tidak terlibat dalam politik praktis. Hal ini akan memungkinkan negara menjaga stabilitas dan keamanan tanpa mengancam keberlangsungan prinsip-prinsip demokrasi, dimana kekuasaan politik berada di tangan rakyat.

Meskipun perubahan UU TNI bertujuan untuk menyesuaikan peran TNI dengan ancaman yang semakin kompleks, ada beberapa kekhawatiran terkait perubahan ini yang dapat mengubah esensi tugas utama TNI, serta mempersulit pembagian tugas antara lembaga negara yang seharusnya saling melengkapi.

Salah satu kritik utama terhadap perubahan UU TNI adalah pengambilalihan kewenangan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Polri, khususnya dalam penanggulangan terorisme dan narkotika. Pengalihan kewenangan ini berpotensi menimbulkan kebingungan dalam koordinasi antar lembaga dan memperburuk hubungan antara TNI dan Polri.

Pasal 30 UUD 1945 mengatur bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas untuk mempertahankan negara, sementara Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri. Jika perubahan UU TNI mengaburkan batas antara tugas militer dan sipil, hal ini bisa bertentangan dengan pembagian kewenangan yang diatur oleh konstitusi.

Kritik lain berkaitan dengan hilangnya fokus TNI dalam menjaga pertahanan negara jika mereka terlibat dalam urusan domestik. Jika TNI terlalu banyak terlibat dalam masalah dalam negeri seperti terorisme atau narkotika, kesiapan tempur TNI untuk menghadapi ancaman eksternal dapat terganggu, mengurangi efektivitas latihan militer.

Menurut UUD 1945, TNI berfokus pada pertahanan negara dan menjaga kedaulatan dari ancaman eksternal. Keterlibatan TNI dalam urusan domestik yang berkaitan dengan penegakan hukum atau ketertiban dalam negeri bisa bertentangan dengan prinsip dasar UUD 1945, yang menempatkan TNI sebagai alat negara untuk pertahanan negara, bukan untuk urusan dalam negeri.

Menurut Salim Said dengan diskusinya dengan Prabowo Subianto, Salim Said menekankan akan pentingnya deterence effect yang dimiliki oleh TNI dalam pertahanan negara. Deterence diperlukan sebagai efek gentar supaya musuh berpikir berkali-kali sebelum menyerang Indonesia. Maka, penulis menyimpulkan perlunya TNI berfokus pada deterence effect alih alih mengurusi narkotika dan terorisme.

Berita Terkait
Berita Terkini