Germo Politik

Sukabumiupdate.com
Jumat 28 Mar 2025, 14:30 WIB
Ilustrasi seorang budayawan Sunda sedang ceramah | Foto : Meta AI

Ilustrasi seorang budayawan Sunda sedang ceramah | Foto : Meta AI

SUKABUMIUPDATE.com - Kang Dedy Mulyadi, sang gubernur Jawa Barat yang lebih sering tampil bak budayawan dengan semangatnya kembali ke alam, kembali membuat gaduh dengan ceramahnya. Kali ini, bukan soal mitologi Sunda atau filsafat jalanan, melainkan sebuah tema yang lebih panas dari minyak goreng langka: politik prostitutif.

Jangan salah paham, meskipun ini ceramah Ramadan, KDM—begitu sebutannya—bukan sekadar membahas soal industri malam, melainkan sebuah analogi tajam tentang transaksi kekuasaan yang lebih mesum dari sekadar jual beli tubuh. Namun, dengan logika tajam, dia lantas memberi solusi: anggaran berbasis syariah.

Dalam ceramahnya, sebelum sampai ke solusi itu, KDM menguliti realitas politik dengan gaya khasnya: santai, sarkastik, tapi menusuk tajam seperti sembilu. Politik, katanya, sudah mirip bisnis esek-esek. Ada germo, ada pelanggan, ada tarif, dan ada yang menikmati keuntungan dari sistem ini.

Bedanya, jika di dunia prostitusi konvensional transaksi hanya melibatkan dua atau tiga pihak, di politik prostitutif, yang membayar justru rakyat—entah sadar atau tidak. Para germo politik ini adalah mereka yang punya kuasa atas anggaran, yang menentukan siapa mendapatkan apa, berapa banyak, dan dengan syarat apa.

Para germo politik tersebut menjajakan proyek, kursi jabatan, hingga kebijakan, bukan demi kepentingan rakyat, tetapi demi memperkaya "pemain" yang terlibat. Akibatnya, APBD dan APBN yang seharusnya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat justru berubah menjadi pundi-pundi yang mengalir ke kantong kelompok tertentu.

Lalu tiba giliran KDM menawarkan konsep anggaran yang lebih syar’i. Katanya, seharusnya pengelolaan anggaran negara mengacu pada prinsip zakat dalam Islam. Zakat, sebagaimana diketahui, memiliki delapan kelompok penerima yang jelas: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak yang hendak merdeka, mereka yang terjerat utang, pejuang di jalan Allah, dan ibnu sabil.

Ini, menurut KDM, bukan sekadar konsep teologis, tetapi sebuah model distribusi keuangan yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan sosial. Coba bandingkan dengan anggaran negara kita selama ini. Apakah betul fakir dan miskin yang menjadi prioritas utama? Di mana posisi negara ketika melihat warganya terjerat rentenir?

Ataukah justru dana anggaran lebih gendut mengalir ke proyek-proyek mercusuar yang lebih banyak menguntungkan kontraktor dan germo politik? Apakah anggaran pendidikan dan kesehatan benar-benar diperuntukkan bagi mereka yang paling membutuhkan, atau hanya sekadar angka di atas kertas yang dimainkan untuk kepentingan elektoral?

KDM, dalam gaya khasnya, menyentil betapa kita sering kali terjebak dalam ilusi kesejahteraan yang diciptakan oleh para germo politik. Mereka menjual mimpi, menawarkan program-program yang terlihat manis di awal, tetapi pada akhirnya hanya memperkaya segelintir orang dan memuluskan jalan menduduki kursi kekuasaan.

Jika anggaran negara benar-benar dikelola dengan konsep yang lebih syar’i, dengan mengacu pada konsep zakat, maka seharusnya tidak ada lagi cerita rakyat yang kelaparan, anak putus sekolah, atau jembatan ambruk yang baru diresmikan seminggu lalu. Di sinilah KDM tampil seolah penceramah yang lebih HMI dari tokoh HMI.

Namun, tuturnya, realitas berkata lain. Para germo anggaran masih berjaya, politik prostitutif masih berjalan, dan rakyat—seperti pelanggan setia—terus saja tertipu oleh janji-janji manis. Mungkin sudah waktunya kita berhenti menjadi pelanggan yang selalu dikecewakan dan mulai bertanya: siapa yang sebenarnya menikmati transaksi ini?

Jika KDM menyampaikan semua ini dengan senyum khasnya, mungkin karena ia tahu bahwa tragedi terbesar di negeri ini adalah ketika sesuatu yang seharusnya menyedihkan justru menjadi lelucon yang terus berulang. Sampai di sini, orang jadi penasaran, KDM itu penganut ajaran Sunda Wiwitan ataukah ustadz bunglon berbaju budaya?

Penulis : Cak AT - Ahmadie Thaha, Sesepuh Ma'had Tadabbur al-Qur'an, Cireunghas, Kabupaten Sukabumi

Berita Terkait
Berita Terkini