Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014, sehingga kini liku dinamika perjalanannya telah genap satu dasa warsa. Desa dalam kontek perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga dengan undang-undang itu desa diharapkan menjadi lebih kuat, maju, mandiri dan demokratis.
Ujungnya adalah agar desa dan masyarakatnya dapat melaksanakan pemerintahan dan lebih mampu berinovasi dalam pembangunan desa untuk menuju masyarakat desa yang adil, makmur dan sejahtera.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintah Desa (Pemdes) pasca Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah direvisi sebagaimana perubahan ke-2 UU Nomor 3 Tahun 2024, maka desa mempunyai kedudukan, susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan kemandirian dalam pengembangan dan pembangunan yang lebih kuat.
Modelnya mirip atau menyerupai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah (Pemkab), pemerintah kota (Pemkot), pemerintah provinsi (Pemrov) maupun pemerintah pusat, tidak terkecuali untuk Desa Adat yang dalam skala nasional ada yang disebut Daerah Khusus dan Daerah Istimewa.
Entitas Desa berbeda dengan entitas Kelurahan. Desa adalah satuan pemerintahan tersendiri di bawah kecamatan, sedangkan Kelurahan adalah satuan kerja vertikal instansi pemerintah daerah/kota setempat yang juga di bawah kecamatan. Istilah desa dan kelurahan di tengah-tengah masyarakat awam sudah terbiasa salah kaprah dianggap sama.
Lazim kita ketahui dari penyebutan pimpinan desa dan kelurahan, dalam keseharian kebanyakan menyebut Pak Kades dan Pak Lurah dianggap sama. Sesungguhnya berbeda status kepegawaiannya maupun proses pemilihannya. Juga sudah lazim kita ketahui, eksistensi Kepala Desa dipilih langsung oleh masyarakat desa, sementara Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota setempat.
Kelurahan merupakan satuan kerja vertikal instansi pemerintah daerah/kota sehingga Lurah dan semua jajarannya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam menjalankan tugas, fungsi dan operasionalnya serta pelayanan publik telah disediakan anggarannya pada APBD pemerintahan daerah/kota setempat yang tata kelola, tugas pokok dan fungsinya telah diatur dengan jelas. Tidak ada dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Kelurahan, namun Kelurahan hanya mengusulkan Rencana Kerja dan Anggaran secara berjenjang.
Konsekuensi dari perbedaan kedua entitas tersebut namun faktanya selevel, aparat Desa akan bertambah tugas dan tanggung jawabnya yaitu merencanakan, melaksanakan dan membuat pertanggungjawabkan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang saat ini sumber pendapatan utamanya berupa Dana Desa yang dialokasikan dari APBN. Satu hal yang menjadi pertanyaan, apakah mereka telah siap dan mendapatkan bekal yang cukup dalam mengelola anggaran desa tersebut?
Juga mejadi isu sensitif adalah cara menentukan standar atau formula gaji atau penghasilan para pengelola/aparat desa. Namun dengan telah diundangkan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang kini sesuai perubahan ke-2 yaitu UU Nomor 3 Tahun 2024, maka rekening pos tersebut telah jelas dengan mengalokasikannya ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Selain aparat desa, yang tidak kalah penting fungsinya dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan desa adalah posisi dari Ketua Rukun Warga (RW) dan ujung ombak terdepan di tengah-tengah masyarakat, yaitu Ketua Rukun Tetangga (RT) beserta jajaran pengurus RT juga harus dipikirkan insentifnya. Hal yang sama adalah insentif bagi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang fungsi dan posisinya tidak jauh berbeda dengan anggota DPRD.
Para aparat desa sangat memerlukan pembinaan dalam rangka merencanakan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang sumber utama pendapatannya dari Dana Desa.
Satu fakta di lapangan, aplikasi pengelolaan keuangan pemdes yaitu Aplikasi Siskeudes belum optimal digunakan, diungkap oleh Hendrawan Aditya Kusuma (Auditor Penyelia pada Deputi Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah), detail uraian dapat disimak pada link: https://www.youtube.com/live/-iDEdX2V3ko .
Pemerintah Daerah setempat yang membawahi Pemdes dan di bawah supervisi pemerintah provinsi, serta dalam supervisi Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi harus proaktif membina para aparat desa, juga mengawasi tata kelola Pemerintahan Desa.
Untuk mewujudkan good government, Dana Desa (DD) yang dikucurkan dalam jumlah besar perlu dipantau dan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan dalam pengelolaannya yaitu terkait Penyaluran DD, Laporan Realisasi Penyerapan dan Capaian Keluaran DD, Sisa DD di Rekening Kas Daerah (RKD) dan Laporan Perpajakan Pemerintah Desa (Pemdes) sehingga para Kepala Desa dan jajarannya harus cermat soal dokumen-dokumen terkait dan pendukungnya dan dibuat secara akurat dan valid.
Penyaluran Dana Desa yang disalurkan langsung dari Rekening Kas Negara ke Rekening Kas Desa adalah satu penyempurnaan proses bisnis di bidang pengelolaan keuangan negara. Tujuan dari penyempurnaan tersebut agar Dana Desa cepat sampai ke lini terdepan yakni Pemdes sehingga diharapkan Dana Desa dapat menjadi stimulan pertumbuhan dan penggerak ekonomi ending-nya kesejahteraan masyarakat desa meningkat secara gradual, syukur-syukur progresif.
Belajar dari kasus Nurhayati
Nurhayati hanya sekian kasus yang menimpa para aparat desa, khususnya sejak program Dana Desa digulirkan. Setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan akhirnya Nurhayati (mantan Kaur Keuangan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon) dihentikan penuntutannya setelah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polres Cirebon pada akhir November 2021 atas petunjuk Kejari Cirebon. Bahkan LPSK sampai memberikan perlindungan kepadanya karena dianggap wishtleblower sampai dengan keseluruhan proses sidang selesai pada kasus tersebut.
Merujuk keterangan Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution, apa yang dilakukan Nurhayati adalah atas dasar rekomendasi -baca: perintah- dan yang paling substansial dalam kasus ini yang bersangkutan punya itikad baik yang dibuktikan dengan berinisiatif melaporkan perbuatan yang telah berulang kali dilakukan oleh Kepala Desa Supriyadi kepada Badan Permusyawaran Desa (BPD) Citemu. Sehingga menurut Maneger sesuai pasal 51 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.
Dasar penetapan Nurhayati menjadi tersangka adalah diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Nurhayati disangka memperkaya Kepala Desa Citemu karena memberikan uang Dana Desa dari APBDes Tahun Anggaran 2018 – 2020 langsung ke Kepala Desa Supriyadi, bukan ke kaur dan kepala seksi pelaksana kegiatan, sehingga atas perbuatannya tersebut timbul kerugian negara.
Ada 7 (tujuh) ayat di pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Dari ketujuh ayat tersebut, ayat ke-2 yang terindikasi kuat menjadi latar belakang penetapan tersangka kepada Nurhayati karena dianggap melakukan tindakan memperkaya Supriyadi (mantan Kepala Desa Citemu).
Ayat ke-2 pasal 66 tersebut berbunyi: “Pengeluaran atas beban APB Desa untuk kegiatan yang dilakukan secara swakelola dikeluarkan oleh Kaur Keuangan kepada Kaur dan Kasi pelaksana kegiatan anggaran atas dasar DPA dan SPP yang diajukan serta telah disetujui oleh Kepala Desa”.
Penulis: Antok Widiyatno (ASN pada KPPN Sukabumi)