Kasus tewasnya Vina & Eki yang terjadi 8 tahun lalu di Cirebon kini makin heboh. Apalagi setelah Pengadilan Negeri (PN) Bandung membebaskan Pegi Setiawan, salah seorang tersangka pembunuhan itu (8/7/2024) dari tahanan Mapolda Jabar.
Setelah Pegi bebas, menyusul Dede Riswanto, salah seorang saksi kunci kasus "pembunuhan" Vina dan Eki, mencabut kesaksiannya (22/7/2024). Dede mengaku, kesaksian yang diucapkannya di depan penyidik, adalah rekayasa Iptu Rudiana, ayah Eki.
Iptu Rudiana, kini Kapolsek Kecamatan Kapetakan, Cirebon, saat itu ikut cawe-cawe dalam penyelidikan dan penyidikan kasus kematian Vina & Eki, meski bukan tupoksinya. Pada tahun 2016, saat kasus Vina & Eki terjadi, Rudiana adalah Kanit Narkoba di Polres Cirebon. Tapi ia ikut cawe-cawe dalam kasus tersebut. Mungkin hal itu dianggap wajar, karena korban tewas, Eki, adalah putranya.
Sedangkan saksi kunci Aep yang "menjebloskan" 8 orang ke penjara (7 di antaranya dihukum seumur hidup karena tuduhan terlibat perencanaan pembunuhan Vina dan Eki ), menghilang entah ke mana. Sampai sekarang, Aep -- saksi kunci itu -- lenyap bagai ditelan angin.
Kenapa kasus pembunuhan Vina & Eki yang ditangani polisi Cirebon demikian absurd? Jawabnya: karena polisi dalam proses pemeriksaan saksi mati -- seperti ditulis Yani Nur Syamsu dalam bukunya "Forensik, Ilmu dan Praktik Scientific Crime Investigation di Indonesia dan Dunia Internasional -- tidak menerapkan scientific crime investigation secara cermat.
Menurut Yani Nur Syamsu, dalam setiap tindak kejahatan selalu akan terbentuk segitiga tindak pidana yang saling terkait. Tiga titik sudut segitiga itu, pertama korban; kedua pelaku; dan ketiga tempat kejadian perkara (TKP), barang bukti (BB), dan saksi.
Poin ketiga ini, tulis Yani Nur Syamsu, punya posisi sangat penting karena mencakup dua saksi. Yaitu saksi mata (manusia yang hidup) dan saksi mati (TKP dan BB). Disebut saksi mati karena TKP dan BB sesungguhnya "turut menyaksikan" terjadinya tindak pidana.
Baca Juga: Pegi Setiawan Dibebaskan, Pengakuan Aep Saksi Kasus Vina Cirebon Sampah Belaka
Tugas polisi adalah menemukan dan membuktikan keterkaitan antara tiga titik sudut segitiga itu secara sah dan meyakinkan. Dalam proses penyidikan, polisi penyidik memeriksa saksi mata. Sementara yang memeriksa saksi mati adalah petugas atau polisi di Laboratorium Forensik.
Dalam proses penegakan hukum, pemeriksaan terhadap saksi mata dan saksi mati sama pentingnya. Keduanya harus dilakukan secara sinergis. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Fakta di lapangan memperlihatkan semangat untuk melaksanakan proses pemeriksaan saksi mati yang berbasis scientific crime investigation kurang mendapat perhatian.
Dalam kasus Vina, misalnya, ada saksi mati yang dilihat polisi. Yaitu sperma di tubuh Vina. Sebagai saksi mati, sperma tersebut seharusnya diperiksa di laboratorium forensik. Sehingga sperma itu bisa "berbicara" siapa pelaku yang memperkosa Vina. Tapi anehnya, dalam kasus Vina, saksi mati sperma itu tidak "diinterogasi" sedikit pun oleh polisi di laboratorium forensik. Saksi mati tersebut lenyap, entah kemana.
Selain sperma di tubuh Vina, banyak saksi mati lain yang absurd. Di antaranya batu untuk melempar Eki dan Vina yang amat besar (yang secara logika terlalu berat untuk dilemparkan ke seseorang dengan tangan kosong), kayu untuk menggebuk korban yang tidak ada dalam TKP, dan ceceran darah -- yang ternyata tidak "diajak bicara" di laboratorium forensik. Polisi hanya menyimpulkan sendiri tanpa "sepengetahuan" saksi mati.
Akibatnya, ketika kasus Vina & Eki dibongkar kembali setelah ramai film "Vina: Sebelum 7 Hari" 8 tahun sesudah peristiwa maut terjadi -- di sana terlihat carut marut proses penyidikan oleh polisi. Dampaknya, PN Cirebon pun menghukum 8 terdakwa, di antaranya 7 orang dipenjara seumur hidup, karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan yang direncanakan.
Tapi celakanya, setelah kasus itu dibongkar kembali, ternyata, diduga banyak bukti absurd yang direkayasa polisi untuk "menjerat 8 terdakwa" yang nota bene belum terbukti bersalah, baik berdasarkan saksi hidup maupun saksi mati. Bahkan beberapa saksi mati oleh penyidik polri dihilangkan begitu saja. Pemenjaraan 8 terdakwa tersebut tidak sinkron dengan pengakuan saksi hidup (Dede) dan saksi mati (sperma dan batu). Kedua saksi terakhir ini, tak pernah diperiksa di laboratorium forensik.
Dari gambaran kasus Vina & Eki, dapat disimpulkan polisi dalam menyelidiki peristiwa tersebut, tidak menggunakan scientific crime investigation. Padahal, dalam tagline transformasi POLRI PRESISI (Prediktif, responSIbilitas, dan TransparanSI berkeadilan) pendekatan scientific crime investigation adalah suatu keniscayaan. Karena hanya dengan pendekatan scientific itulah, kebenaran tidak bisa diragukan lagi. Kebenaran faktual adalah dasar penegakan hukum yang paling kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Penulis : Dr. Abdul Aziz, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta