Bila Produk Hukum Mengamputasi Demokrasi
Penulis : Ahmad Bahyj Gunawan / Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya
Sistem pemerintahan modern yang dianggap paling baik adalah demokrasi. Kenapa? Karena dalam sistem demokrasi -- di mana kekuasaan ada di tangan rakyat -- warga negara bisa menentukan arah kepada negara untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyat (mayoritas).
Dalam sistem demokrasi, perbaikan-perbaikan dalam hukum, kebebasan, pendidikan, kesejahteraan, dan hal-hal lain untuk kemaslahatan hidup rakyat dimungkinkan dan terbuka lebar. Rakyat yang terwakili di pemerintahan melalui parlemen bisa menyuarakan kehendaknya sesuai kondisi dan situasi yang ada saat itu.
Tapi bagaimana fakta di lapangan? Ternyata, jika melihat Indonesia saat ini, demokrasi telah keluar dari jalur yang sebenarnya. Lembaga-lembaga tinggi yang memproduksi hukum, dengan mengatasnamakan demokrasi, justru telah "menjegal aspirasi rakyat" untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang adil sesuai rule of law.
Di tahun 2023-2024, misalnya, rakyat Indonesia dikejutkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial tentang batasan usia capres dan cawapres; lalu muncul kontroversi putusan Mahkamah Agung (MA) No 24 P/HUM/2024 tentang Usia Calon Kepala Daerah. Kemudian muncul kontroversi tentang Revisi UU TNI dan Polri yang dikhawatirkan akan menghidupkan kembali "Dwi Fungsi" tentara dan polisi yang sudah dihapus di era reformasi.
Yang mencemaskan, semua keputusan dan revisi hukum tersebut di atas, kalau kita lihat dengan kacamata yang jernih, ternyata substansinya mengamputasi demokrasi. Pada putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Keputusan MA No 24 P/HUM/2024, misalnya, para pakar hukum menduga, dua keputusan tersebut mempunyai vested interest terkait pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres dan Kaesang Pangarep sebagai kepala daerah.
Baca Juga: Oposisi: Pengertian dan Fungsi Dalam Kehidupan Demokrasi
Berdasarkan UU lama, kedua putra presiden tersebut belum cukup umur untuk ditetapkan sebagai cawapres dan kepala daerah. Untuk itulah revisi UU di MK dan MA dilakukan.
Sementara kontroversi tentang UU TNI dan Polri, dalam rancangannya di parlemen, jelas-jelas akan menghidupkan kembali Dwi fungsi TNI dan Polri. Artinya, anggota TNI dan Polri diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil di pemerintahan tanpa harus keluar dari keanggotaan di institusi sebelumnya. Rancangan UU tersebut, jelas, jika disahkan DPR, akan mengamputasi demokrasi. Sekaligus menghapus hasil perjuangan reformasi yang berdarah-darah di era orde baru.
Salahkan revisi UU tersebut di atas? No, selama tidak melanggar aturan hukum dan konstitusi yang berlaku. Artinya secara prosedural revisi tersebut sah-sah saja. Yang jadi permasalahan, apakah revisi itu kompatibel dengan prinsip-prinsip demokrasi modern yang diinginkan rakyat?
Itulah masalahnya. Kita tahu, proses pembuatan hukum di negeri demokrasi harus menekankan pada asas manfaat, prioritas, utilitas, dan at all cost, perbaikan sistem kenegaraan. Dan revisi hukum tersebut jelas-jelas merusak sistem kenegaraan yang ada sebelumnya.
Meski demokrasi dipercaya sebagai sistem pemerintahan terbaik di zaman modern, tapi tetap saja bisa dimanipulasi oleh aktor-aktor "penguasa" yang ada di dalamnya. Sejarah mencatat, demokrasi telah melahirkan tiran seperti Adolf Hitler (Jerman), Mussolini (Itali), dan Ferdinand Marcos (Filipina). Ketiganya pemimpin yang sangat dibenci rakyatnya. Tapi demokrasi juga melahirkan pemimpin hebat seperti Angela Merkel (Jerman), Barack Obama (Amerika Serikat), dan Mark Rutte (Belanda). Ketiganya dikenal pemimpin yang dicintai rakyatnya.
Dengan demikian, demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan, tetap bermata ganda. Ia bisa menjadi berkah. Tapi juga bisa menjadi petaka.
Lalu, bagaimana demokrasi di Indonesia? Tampaknya, masih jauh dari berkah. Deretan revisi undang-undang tersebut di atas menunjukkan demokrasi di Indonesia tengah menuju kehancuran. Alih-alih demokrasi memberikan peluang kepada rakyat untuk mendapat kehidupan yang lebih baik secara sosial, ekonomi, dan hukum -- yang terjadi malah sebaliknya. Demokrasi di Indonesia justru telah direkayasa untuk membangun politik dinasti, oligarki, dan tirani. Demokrasi telah diamputasi oleh sistem politik yang "mengatasnamakan demokrasi" itu sendiri.
Di Indonesia -- pinjam istilah Eep Saefulloh Fatah, CEO PolMark -- demokrasi secara ironis menjadi sebuah kata oksimoron. Yaitu kata yang dalam dirinya mempunyai makna bertentangan. Contohnya, demokrasi yang memanipulasi hukum. Demokrasi yang membelenggu kebebasan berbicara. Demokrasi yang membangun dinasti.
Ketika demokrasi menjadi kata oksimoron, itu artinya, demokrasi tidak hanya diamputasi, tapi juga dimutilasi. Sungguh menyedihkan demokrasi yang berkembang di Indonesia. Kita sebagai rakyat yang taat hukum, harus berjuang untuk menghidupkan kembali demokrasi yang sedang sekarat ini.