SUKABUMIUPDATE.com - Mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia menimbulkan pertanyaan serius tentang hak setiap orang untuk berpendidikan tinggi. Meskipun slogan "Education for all" sering digaungkan, realitasnya menunjukkan bahwa banyak orang miskin, rakyat biasa dan orang tidak mampu yang seolah dilarang untuk kuliah.
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ramai dibicarakan terutama terjadi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Benarkah PTN BH ini melahirkan Komersialisasi pendidikan?
Pernyataan tersebut menurut hemat penulis bersifat relatif. Kebijakan PTN BH memberikan perguruan tinggi otonomi lebih dalam mengelola keuangan dan kebijakan akademik. Namun, dampak dari otonomi ini dapat beragam tergantung pada implementasinya di setiap perguruan tinggi.
Beberapa perguruan tinggi mungkin melihat mahasiswa sebagai pelanggan dan lebih fokus pada aspek komersial, seperti meningkatkan pendapatan melalui biaya kuliah yang tinggi atau mengejar sponsor komersial. Disisi lain, ada juga perguruan tinggi yang tetap memprioritaskan misi pendidikan mereka dan menggunakan otonomi tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Faktor-faktor lain seperti pengelolaan keuangan yang transparan, integritas kepemimpinan perguruan tinggi, dan komitmen terhadap misi pendidikan juga memengaruhi apakah kebijakan PTN BH akan berujung pada komersialisasi pendidikan tinggi atau tidak. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap dampak kebijakan PTN BH di berbagai perguruan tinggi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Baca Juga: Uang Kuliah Makin Mahal, Menyimak Argumen Mahasiswa Versus Nadiem Makarim
Mengapa harus dicabut?
Berdasarkan bahan dan catatan yang ada, penulis mengumpulkan paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan para pengamat dan ahli, mengapa kebijakan PTN BH ini harus dicabut.
Pertama, Mengurangi Beban Finansial Mahasiswa. Dengan mencabut Kebijakan PTN BH, otonomi perguruan tinggi dalam menentukan biaya pendidikan dapat dikurangi, yang mungkin berpotensi mengurangi biaya pendidikan tinggi bagi mahasiswa.
Kedua, Memastikan Aksesibilitas Pendidikan Tinggi: Pencabutan Kebijakan PTN BH dapat dianggap sebagai langkah untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi lebih mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa adanya hambatan finansial yang signifikan.
Ketiga, Mengurangi Komersialisasi Pendidikan Tinggi: Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan otonomi yang diberikan oleh PTN BH dapat menyebabkan perguruan tinggi lebih cenderung mengarah pada komersialisasi pendidikan tinggi. Dengan mencabut kebijakan ini, diharapkan pendidikan tinggi lebih berfokus pada misi pendidikan daripada mencari keuntungan finansial.
Status PTN BH memberikan otonomi lebih bagi perguruan tinggi dalam mengelola keuangan dan kebijakan akademik. Namun, sayangnya, otonomi ini sering kali ”dicap” dan ”diasumsikan” berujung pada komersialisasi pendidikan tinggi. Terkesan bahwa Perguruan tinggi cenderung melihat mahasiswa sebagai customer, bukan sebagai aset bangsa yang harus dibina dan dididik. Ini mengkhawatirkan, karena tujuan utama pendidikan seharusnya adalah menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, bukan mencari keuntungan finansial.
Baca Juga: Ibu di Sukabumi Kuliahkan Anak dari Beternak, Dompet Dhuafa Lahirkan Wanita Tangguh
Perlukah dicabut?
Pertanyaannya, perlukah undang-undang yang memayungi PTN BH ini dicabut? Banyak pihak berpendapat bahwa kebijakan ini justru menjauhkan pendidikan tinggi dari rakyat kecil. Kebijakan tersebut harus dievaluasi secara mendalam agar pendidikan tidak hanya bisa diakses oleh kalangan berduit saja.
Pemerintah memiliki kewajiban besar untuk menciptakan SDM unggul. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah moral dan konstitusional. Negara harus hadir secara all-out untuk mendukung pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Kenaikan UKT yang signifikan membuat generasi emas Indonesia merasa cemas. Generasi muda yang seharusnya fokus pada studi mereka, kini harus memikirkan bagaimana cara membayar biaya kuliah yang semakin mahal.
Biaya UKT yang melejit membuat mahasiswa menjerit. Beban finansial yang berat ini bisa membuat banyak mahasiswa terpaksa berhenti kuliah atau memilih perguruan tinggi yang lebih murah namun mungkin tidak sebaik yang mereka impikan.
Tanggung jawab mencerdaskan anak bangsa seharusnya ada di tangan pemerintah. Pemerintah wajib menciptakan formula yang memastikan semua lapisan masyarakat bisa menikmati pendidikan tinggi setinggi-tingginya dan semudah-mudahnya. Jika pemerintah hanya lepas tangan, maka untuk apa ada pemerintah?
Ketidakpedulian terhadap pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan manfaat yang nyata bagi rakyat. Pada akhirnya, rakyat akan selalu susah, siapapun presidennya, kabinetnya, atau pemdanya, jika fokus penguasa hanya pada bagi-bagi kekuasaan.
Dana pendidikan diputuskan oleh kementerian Keuangan dan Bappenas. Jadi kemana 20% APBN untuk pendidikan yang selama ini digunakan? Pertanyaan ini harus dijawab dengan transparansi dan akuntabilitas. Dana sebesar itu seharusnya dapat memberikan subsidi yang signifikan bagi pendidikan tinggi, sehingga beban UKT tidak menjadi terlalu berat bagi mahasiswa.
Pengelolaan dana pendidikan yang dikelola Kemdikbud Ristek selama ini ternyata berada dalam kendali Kementerian Keuangan dan Bappenas. Dana ini harus digunakan secara efektif dan efisien untuk memastikan setiap rupiah yang dianggarkan benar-benar meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah kenaikan UKT. Dengan kerja sama yang baik dan kebijakan yang berpihak pada rakyat, diharapkan biaya pendidikan tinggi dapat ditekan dan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
Masa depan Indonesia yang lebih cerdas dan maju bergantung pada upaya bersama dalam memperjuangkan pendidikan yang merata dan berkualitas, termasuk pendidikan tinggi.
Mungkinkah anak bangsa ini bisa kuliah dengan biaya murah bahkan gratis? Wallahu’alam
Penulis : Mulyawan Safwandy Nugraha / Pengamat dan Praktisi Pendidikan Tinggi