SUKABUMIUPDATE.com - Film Hamka dan Siti Raham Vol. 2 dinantikan oleh masyarakat luas terutama kaum muslim, pemeluk agama Islam. Melalui instagram @buyahamkamovie, diketahui Film Hamka dan Siti Raham Vol. 2 dijadwalkan tayang mulai 21 Desember 2023 mendatang di Bioskop.
Animo masyarakat semakin meningkat, termasuk salah satu wartawan yang juga pengelola Ma'had Tadabbur al-Qur'an, Ahmadie Thaha. Film Hamka dan Siti Raham Vol. 2, kata Ahmadie Thaha dalam catatan pribadinya, Siksaan Penjara tak Sebrutal Aslinya.
Atas undangan Forum Akselerasi Masyarakat Madani (FAMMI) yang dinahkodai Akmal Nasery Basral, Jumat malam (8/12/2023) Ahmadie Thaha bersama sang anak menonton tayangan perdana Film Hamka dan Siti Raham Vol. 2 di bioskop CGV Grand Indonesia. Selain Ahmadie Thaha, ratusan penonton memenuhi keseluruhan ruang layar yang tersedia, yang semuanya disediakan untuk nonton bersama.
Baca Juga: 10 Ciri Laki-laki yang Memiliki Kepribadian Baik, Apa Kamu Termasuk?
Film Buya Hamka secara keseluruhan direkam oleh Falcon Picture dalam durasi tujuh jam, dengan biaya Rp 23 Miliar. Film Buya Hamka kemudian diedit ulang, dipecah menjadi tiga volume dan yang beredar baru volumenya yang ke-1 dan ke-2.
Film Buya Hamka volume pertama berdurasi 1 jam 46 menit, tayang April 2023, molor dari rencana semula akibat pandemi Covid-19. Sementara volume keduanya lebih pendek dari itu, dan tayang pada 21 Desember 2023 di gedung-gedung bioskop di Indonesia.
Kesemua volume Film Hamka ini direkam sekaligus jauh sebelum pandemi Covid-19. Para pemainnya masih sama, yakni Vino G Bastian (Hamka), Laudya Cynthia Bella (Siti Raham), Donny Damara, Anjasmara, Reza Rahadian, Ayu Laksmi, Desy Ratnasari, Rifnu Wikana, Mathias Muchus, Reybong, Marthino Lio, dan Mawar De Jongh.
Bagian paling menyentuh bagi saya dari tontonan volume kedua ini adalah saat film menampilkan anak muda perempuan yang datang menemui Buya Hamka, dan menyatakan keinginannya menjadi pengarang seperti dirinya. Ini persis seperti yang saya alami, meski saya tidak pernah berkesempatan bertemu Hamka.
Saat masih duduk di Sekolah Dasar di kampung saya di Jenggawah, Jember, saya sudah suka membaca buku. Di antara, buku-buku roman karya pujangga baru, termasuk Buya Hamka. Saya beberapa kali menamatkan baca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karyanya, yang beberapa cerita adegannya membuat air mata saya tak terasa mengalir di pipi.
Saat itulah dalam hati saya bertanya-tanya, siapa Buya Hamka, penulis yang telah membuat hati saya begitu tersentuh. Di mana dia berada saat ini, ketika saya membaca bukunya. Bisa-bisanya dia dari tempat entah di mana membuat air mata saya berlinang. Ingin rasanya saya menemuinya, agar saya bisa belajar menulis darinya.
Ternyata, saya hanya bisa dan baru bisa menemui Buya Hamka melalui filmnya volume pertama dan kedua. Saya seolah diwakili si muda perempuan tadi, yang bertemu Hamka dan menanyakan ihwal penulisan. Buya pun menjawab, "Konsep kepengarangan saya adalah cinta. Cinta kepada Sang Pencipta." Baginya, dalam setiap proses penulisan selalu berlangsung komunikasi kita dengan Allah Swt. "Dengan demikian kita berbalas cinta dengan-Nya."
Baca Juga: 14 Ciri Anak Laki-laki Memiliki Kepribadian Baik, Bunda Perhatikan Sikapnya
Dari karya-karya monumentalnya, Hamka tampak piawai bertutur kata dan bercerita. Kata-katanya berbobot, barangkali karena diperkaya oleh khazanah pepatah dan petitih Melayu yang begitu khas dan puitis, di mana alam menjadi tempat belajar tentang kehidupan, sekaligus pijakan untuk mengagungkan ciptaan Tuhan.
Di film, itu ditampilkan dalam bentuk langit dengan fajar nya yang begitu indah. Kepada keluarganya, Buya Hamka berpesan, "Pandanglah, fajar itu tak akan pernah sama dengan yang kemarin. Tidak akan pula ada seorang pelukis pun yang akan mampu menyamai lukisan indah di langit itu. Subhanallah."
Kalimat-kalimat yang dipilihkan Buya Hamka dalam karya-karyanya menjadi pemikat bagi ribuan pembacanya. Termasuk Presiden Soekarno, yang di film volume pertama tampil mengaku menjadi sahabat perjuangan sekaligus temannya, dan Dadang yang di film volume kedua tampil sebagai sipir penjara pengagum Buya sekaligus penyelamatnya.
Di film Buya dan Siti Raham vol 2, tampak Bung Karno sedang membaca satu edisi majalah Panji Masyarakat terbitan tahun 1960, yang memuat artikel berjudul "Demokrasi Kita" karya Bung Hatta. Di dalamnya, Wakil Presiden ini menulis bahwa demokrasi kita waktu itu mulai terancam.
Pemuatan artikel tersebut membuat Bung Karno geram dan marah besar. Dia lantas menerbitkan keputusan membredel majalah Pandji Masjarakat dan koran Abadi. Dia pun mengeluarkan larangan membaca, menyiarkan, bahkan menyimpan artikel panjang "Demokrasi Kita", yang kelak justru diterbitkan menjadi buku.
Adegan kisah pembredelan Panji Masyarakat ditampilkan dalam film. Ketika diberitahu ihwal pemberangusan ini, Hamka yang di film tampak mulai sepuh padahal kala itu masih berusia 58 tahun memerintahkan kepada pengelola majalahnya untuk memastikan karyawan harus tetap mendapatkan gaji mereka hingga dua bulan ke depan.
Bertubi-tubi setelah itu ujian demi ujian hidup datang menimpa Hamka. Pilihan politik otoritarian yang diambil Bung Karno, setelah 15 tahun berkuasa, telah mendorongnya menjadi presiden yang condong bersikap diktator. Dia mulai memanfaatkan secara cara untuk menindas siapa saja yang dianggapnya melawan dirinya, termasuk Hamka.
Dia mengerahkan penciptaan opini, yang menuduh karya Hamka, seperti novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sebagai karya jiplakan. Media massa meributkan kesamaannya dengan novel karya penulis Mesir al-Manfaluti. Silang pendapat terjadi antara pendukung dan penentang Hamka.
Namun, akhirnya sastrawan HB Jassin angkat bicara. Sang maestro menegaskan, meskipun terdapat sedikit kesamaan cerita antara novel karya Hamka dan al-Manfaluti, namun keduanya tetaplah merupakan dua karya yang berbeda. Novel karya Hamka menampilkan pandangan khas yang tak ditemui di novel al-Manfaluti.
Baca Juga: 10 Ciri Perempuan Memiliki Kepribadian Baik, Hatinya Tulus
Di tengah hiruk-pikuk polemik dan wacana politik yang semakin kacau, Siti Raham ditampilkan di film selalu mengingatkan suaminya agar menyelesaikan penulisan tafsir Al Azhar. "Selesaikanlah itu, insya Allah akan jadi ladang dakwah," tuturnya berkali-kali. Namun, selalu saja Hamka mengaku tak punya waktu untuk itu, seraya berjanji: Insya Allah Engku akan selesaikan itu.
Film kemudian mengisahkan skenario Allah. Hamka tiba saatnya dijemput polisi, yang membawa surat penahanan atasnya berdasarkan Undang-Undang Subversif. Disaksikan istri dan anak-anaknya, Hamka ditangkap polisi dari rumahnya, untuk kemudian dipenjara selama dua tahun dengan tuduhan hendak menggulingkan pemerintahan Soekarno.
UU Subversif pada mulanya dikeluarkan Bung Karno menjelang akhir pemerintahannya, melalui Penetapan Presiden RI No. 11 tahun 1963. Dia memberlakukan kebijakan ini setelah menilai kondisi bangsa Indonesia berada dalam darurat politik.
Peraturan subversif dalam perkembangannya diadopsi Soeharto dengan menetapkannya menjadi sebuah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Hingga pada tahun 1999, setelah reformasi, UU tersebut kemudian dicabut karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip bernegara.
Dalam film dipertontonkan brutalnya penahanan dan pemeriksaan terhadap Hamka. "Anda berkomplot menggulingkan presiden. Mengakulah!" Demikian kata-kata yang entah berapa kali diteriakkan polisi di hadapan Hamka dalam pemeriksaannya, sebelum sidang pengadilan berlangsung.
Namun, meski sudah diupayakan sutradara, kebrutalan pemeriksaan bertubi-tubi terhadap Hamka di film ini tak separah aslinya. Kisah pemenjaraan sadis terhadap Hamka dapat kita baca selengkapnya di situs SukabumiUpdate:
Dalam pemeriksaannya, polisi suatu kali berteriak: "Saudara berkali-kali mengadakan rapat di Tangerang. Saudara adalah antek-antek Malaysia, yang hendak menggulingkan presiden." Melihat Hamka tak memberi jawaban puas, mereka memintanya menuliskan saja apa yg terjadi, dengan memberinya lembaran kertas.
Di atas kertas, Hamka menuliskan ihwal penangkapan dan pemeriksaan yang dialaminya. Kertas-kertas kemudian diselundupkan keluar penjara, dengan cara dilipat, dimasukkan ke jepitan ikat pinggang di punggungnya, untuk kemudian diserahkan ke putranya, Rusydi, yang sedang berkunjung ke penjara bersama seluruh keluarga.
Hamka memanfaatkan kertas-kertas yang disediakan Dadang, sipir baru yang sudah lama membaca buku-buku karyanya, untuk menulis segala pikirannya. "Tulislah apa harus Buya tulis," katanya.
Sementara sipir-sipir lain tetap melaksanakan tugas penyiksaan terhadap Hamka secara brutal. Hingga akhirnya Buya hampir saja bunuh diri, sebagaimana ditulisnya di buku Tasawuf Modern. Suatu hari dia menemukan silet di lantai. Untunglah dia masih mengingat pesan istri agar menjadi teladan, sehingga tak jadi bunuh diri.
Dia pun rajin melaksanakan shalat, membaca istighfar dan doa Nabi Yunus as "la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzalimin" agar terbebas dari semua kezaliman, penyakit dan penyiksaan. "Ya Allah, ampunan-Mu lebih luas dari dosaku. Maghfiratuka awsa'u min dzunubi."
Dengan kertas-kertas yang disediakan Dadang, sipir yang setia datang menghibur, Hamka teringat pesan istri agar dia menyelesaikan penulisan tafsir al-Azhar. Dia pun meminta Dadang untuk diberi kertas lebih banyak, serta berpesan agar keluarga membawakan buku-buku yang pernah ditulisnya.
Dadang bertanya, "Untuk apa?" Jawabnya, "Untuk saya baca kembali." Hamka mengaku selama ini telah banyak menasehati orang melalui karya-karya tulis dan ceramahnya. "Tapi saya lupa menasehati diri sendiri," tuturnya. Dia ingin membaca buku-buku itu untuk menasehati diri.
Hamka terus menulis di atas meja yang tersedia di "Penjara Tjimatjan", Sukabumi. Lembar-lembat catatan berisi tafsir al-Azhar itu diselundupkannya keluar penjara dengan diberikan ke Rusydi, putra yang paling dipercayainya untuk menangani urusan tulis-menulis.
Baca Juga: 11 Cara Mendidik Anak Laki-laki Agar Memiliki Kepribadian Baik
Pada 1966, setelah dua tahun Hamka dipenjara, Dadang memberikan surat pembebasan atasnya. Untuk momentum ini, Rusydi telah menyiapkan hadiah khusus dengan mencetakkan dua jilid tafsir Al Azhar yang sudah lengkap naskahnya. Inilah hadiah hari pembebasan, sekaligus syukur atas selesainya penulisan tafsir al-Azhar berkat pemenjaraan.
Film selanjutnya menampilkan kembali suasana kebahagiaan keluarga Hamka. Sang istri, yang dijuluki Ummi, kali ini berpidato di depan publik dengan tanpa teks. Dia memuji-muji Buya sebagai sosok teladan dan gurunya, seraya menegaskan bahwa tugasnya sebagai istri, "Menjaga kesehatan ayah, dan menjaga kehormatannya."
"Ambo mencuri ilmu pidato dari Buya," tuturnya, mengenai cara ceramahnya yang seolah bercerita tentang kehidupan nyatanya sehari-hari. Sebaliknya, Buya memberikan penghargaan terhadap sang istri, serta memujinya telah "Berpidato apa yg sebenarnya, bukan khayalan."
Film seolah berakhir dengan wafatnya Siti Raham akibat sakit, pada 1972. Di kala sakitnya ini, sang istri tak lupa memberi pesan kepadanya untuk selalu menjaga tauhid. "Dan pandai-pandailah bercermin. Kalau pandai bercermin, pasti selamat," sarannya pula.
Namun, sebelum itu, film menampilkan adegan Buya Hamka menjadi imam jamaah yang menyalatkan jenazah Bung Karno yang wafat pada 21 Juni 1970. Pada kesempatan ini, Buya ingat kembali ucapan Bung Karno yang tampil di film volume pertama, "Mulai hari ini, tuan bukan hanya sahabat seperjuangan. Tapi teman bagi saya."
Sebelum ditutup, film vol 2 masih menampilkan dua adegan, yaitu pidato Hamka di Musyawarah Nasional ke-1 Majelis Ulama Indonesia, yang berlangsung pada 21-27 Juli 1975 di Jakarta. Dalam kesempatan ini, Hamka antara lain menjelaskan tentang peran ulama sebagai pewaris nabi. "Tugas kita memberikan bimbingan rohani, memecahkan persoalan umat, dan memberi ketenangan hati, bagi siapa yg membutuhkan."
Hamka mengkritik para ulama yang sudah sedari dulu terjual harga dirinya. "Kita harus menjadi ulama murni, yang bayarannya adalah surga," tegas Buya, yang kala itu terpilih menjadi Ketua MUI pertama, namun kemudian mengundurkan diri pada 7 Maret 1981, setelah pihaknya dikecam pemerintah akibat mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan Natal bagi umat Islam.
Adegan satu lagi saat Astuti, putri keempat sastrawan Pramoedya Ananta Toer, datang bersama Daniel, calon suaminya. Dia meminta Buya membimbingnya masuk Islam sebagai mualaf. Pada kesempatan ini, Hamka memuji Pram sebagai "penulis yg sangat luar biasa." Islam disebutnya sebagai rahmatan lil alamin. Allah mengutus Nabi Muhammad karena rahmat dan kasih sayang-Nya kepada umat manusia.
Film pada akhirnya ditutup dengan lantunan lagu "Cintaku Untukmu" karya Dewa Budjana ft Fadly dan Putri Ariani:
Aku bersimpuh berserah pada-Mu
Di atas segala derita yang kurasa
Aku mengadu berserah pada-Mu
Kuatkanlah aku hadapi dunia
Reff:
Air mata yang terjatuh
Akhiri setiap doaku
Menjadi tanda sebuah rasa
Cintaku untuk-Mu
Hela nafasku beradu
Menyebut nama Indah-Mu
Menjadi tanda sebuah rasa
Cintaku Untuk-Mu
Selamanya….
Baca Juga: 12 Ciri-ciri Anak yang Sopan, Memiliki Kepribadian Baik
*Tulisan ini merupakan catatan Ahmadie Thaha, seorang wartawan yang juga pengelola Ma'had Tadabbur al-Qur'an.
Penulis : Ahmadie Thaha