BALEWARGA - Pada sebuah literatur yang saya baca di internet ada sebuah riwayat yang mengisahkan bahwa KH Ahmad Sanusi pernah berguru ke Ajengan Sulaeman di Pesantren Sukaraja, Onderdistrik Sukaraja, Distrik Sukabumi, mungkinkah tempatnya ialah yang sekarang dikenal dengan nama kampung Pasantren atau kampung Inggris dekat Masjid Kaum Sukaraja Kabupaten Sukabumi?
Selanjutnya diceritakan pula bahwa beliau pun menuntut ilmu di Pesantren Kebon Pedes, tidak jauh dari Halte Kereta Api Ranji di Onderdistrik Sukaraja, Distrik Sukabumi, Karesidenan Bogor. Hingga menemukan jodohnya yaitu Siti Djuwariyah di Pesantren Kebon Pedes tersebut.
Dalam tulisan yang saya tulis ini akan mengulas tentang Pesantren Sukaraja yang dipimpin oleh Ajengan Sulaeman yang diduga tempat bergurunya KH Ahmad Sanusi, hal itu berdasarkan penelusuran ke lokasi dan melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh agama, keluarga keturunan Ajengan Sulaeman yang memperlihatkan foto serta dokumen keluarganya.
Adapun maksud dan tujuan dibuatnya tulisan ini bukan untuk mengagungkan nama dan jasa seseorang, tetapi untuk menggali sejarah, kehidupan serta perjuangan para tokoh sejarah yang mudah-mudahan dapat dijadikan suri tauladan oleh kita semua.
Masa pergerakan nasional di jaman penjajahan Belanda yang melibatkan tokoh-tokoh pergerakan dari golongan nasionalis dan bangsawan serta tidak sedikit pula melibatkan tokoh-tokoh agamawan, diantaranya: KH Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan KH Ahmad Sanusi (PUI) yang merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai/Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang keseluruhannya berjumlah 60 orang, BPUPKI dibentuk oleh Jenderal Kumakichi Harada yaitu Panglima Tentara Jepang ke-16 yang berkuasa di pulau Jawa.
Selanjutnya diantara ketiga tokoh pergerakan dari kaum agamawan diatas yang tidak banyak diketahui kiprahnya oleh masyarakat adalah: KH Ahmad Sanusi dari Sukabumi.
Sebagaimana diketahui bahwa KH Ahmad Sanusi lahir di Sukabumi pada tanggal 18 September 1888. Beliau adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittihadul Islamiyah (AII) sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi.
Sebelumnya KH Ahmad Sanusi banyak mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren wilayah Sukabumi diantaranya di Pesantren Sukaraja pimpinan Ajengan Sulaeman yang terletak di Onderdistrik Sukaraja, Distrik Sukabumi (pesantrennya diduga ada dijalan ke arah SMAN 1 Sukaraja).
Dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis ke lokasi, Pesantren Sukaraja tersebut kini telah berganti nama menjadi Pesantren Al-Kurdi yang dahulu dipimpin oleh almarhum Ajengan Dadam dan di pesantren ini sejak dulu mengajarkan ilmu beladiri Silat jurus 5 kepada santri-santrinya.
Dahulu pada masa Revolusi Kemerdekaan, perguruan silat tersebut bernama Banteng Wulung akan tetapi sekarang telah dirubah nama menjadi Cinde Wulung. Perihal penggantian nama Pesantren tersebut setelah ditelusuri ternyata diambil dari nama almarhum Haji Kurdi yang merupakan perintis berdirinya Pesantren Sukaraja yang juga kakek dari Ajengan Sulaeman yaitu salah satu guru KH Ahmad Sanusi.
Ajengan Sulaeman (lahir +- tahun 1872) yang memiliki nama asli Raden Sulaeman Sukantabrata adalah anak pertama Raden Adibrata (lahir +- tahun 1851) seorang Mantri Gudang Kopi di Bojonglopang Sukabumi yang masih keturunan Bupati Sukapura ke-3 yaitu Raden Wiradadaha-III alias Dalem Sawidak alias Raden Anggadipa dari anaknya yang bernama Raden Somanagara.
Dari ketujuh putra Raden Adibrata, ada salah satu anak bungsunya yaitu adik bungsu dari Ajengan Sulaeman Sukantabrata yang bernama Raden Mukti Sumartabrata (lahir tahun 1896) lebih memilih profesi sebagai pegawai Post, Telegraaf en Telefoondienst Bandung dan tinggal di gang Ijan Kota Bandung tidak jauh dari rumah Letkol Eddi Soekardi pimpinan TKR Resimen III Sukabumi dan rumah Abung Kabir yang merupakan bapak dari Kapten Harun Kabir Komandan Brigade II Suryakancana/Siliwangi.
Selanjutnya sekitar tahun 1927 Raden Mukti Sumartabrata dipromosikan menjadi Adjunct Commiesaris Post, Telegraaf en Telefoondienst Baturaja Sumatra. Setelah beberapa tahun bertugas di Sumatera Barat, kemudian pada tahun 1932 dimutasi ke Bandung dan menduduki jabatan sebagai Adjunct Commiesaris Post, Telegraaf en Telefoondienst Bandung.
Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Raden Mukti Sumartabrata tergabung dalam Pemuda Telepon dan Telegraf dan turut mempertahankan Gedung PTT/Gedung Sate dari serbuan Tentara Gurkha pada tanggal 29 November 1945 yang mengakibatkan gugurnya 7 Orang pemuda PTT akibat ditembaki Tentara Gurkha dalam upaya mempertahankan Gedung Sate sampai titik darah penghabisan dan jenazahnya dikuburkan di halaman Gedung Sate Bandung. Hal itu dikisahkan dalam buku 'Siliwangi Dari Masa Ke Masa' di halaman 45 sampai 46 sebagai berikut:
“Sementara itu beberapa pemuda datang menghadap atasannya dan melaporkan bahwa Gedung Sate/Gedung PTT telah dikepung oleh Tentara Inggris. Oleh karena itu para pemuda atas nama kawan-kawannya bertekad untuk mempertahankan Gedung Sate dan mengharap diberikan bantuan senjata. Sekalipun fihak atasan mereka berusaha untuk mencegah niat mereka itu, namun hasrat mereka tidak dapat ditahan lagi. Mereka yang bertekad untuk mempertahankan Gedung Sate itu antara lain: Samsu, D.Kosasih, Pemuda P.T.T, satu Kompi Hizbullah, Batalyon II Resimen 8 Poniman, Paryadi, Ali Hanafiah, dengan satu peleton, Pasukan Batalyon II Resimen 9 kompi Sujana dan kompi Tatang Basyah.
Akan tetapi karena kekuatan tidak seimbang, maka akhirnya Gedung Sate/Gedung PTT berhasil dikuasai oleh Tentara Inggris setelah mereka harus melangkahi mayat-mayat para syuhada dengan penuh keikhlasan dan secara sukarela, tanpa sesuatu pamrih, menyerahkan hak milik mereka yang paling berharga bagi nusa dan bangsa. Ketujuh pemuda itu ialah: Didi Kamarga, Suhodo, Mokhtarudin, Rana, Subengat, Susilo dan Suryono”.
Setelah Indonesia merdeka, Raden Mukti Sumartabrata terakhir menjabat sebagai Kepala Pengawas Pos di Kantor Pos, Telepon dan Telegraf Besar Bandung di Gedung Sate Kota Bandung. Setelah pensiun dari pekerjaannya pada tahun 1952, R.Mukti Sumartabrata pulang ke kampung halamannya di kampung Pasir Toge, Desa Sukaraja Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi dan hidup rukun bersama saudara-saudaranya yang salah satunya ialah Ajengan Sulaeman Sukantabrata sampai akhir hayatnya dan Raden Mukti Sumartabrata dikebumikan disamping makam ayahnya yaitu Raden Adibrata di pemakaman keluarga di kampung Pasir Toge Desa Sukaraja.
Sedangkan Ajengan Sulaeman yang telah wafat sebelum Raden Mukti Sumartabrata menurut seorang narasumber dikebumikan di kampung Pasantren/kampung Inggris dekat makam Ibu Ratu tak jauh dari SMAN 1 Sukaraja Sukabumi, sedangkan menurut narasumber lainnya Ajengan Sulaeman dimakamkan di TPU Ciandam Kota Sukabumi.
Berikut ini silsilah Ajengan Sulaeman Soekantabrata dan Raden Mukti Soemartabrata:
Bupati Sukapura ke-3 yaitu Raden Aria Wiradadaha-III alias Raden Anggadipa mempunyai anak yang salah satunya bernama Raden Somanagara, lalu menikah dan mempunyai anak yang salah satunya bernama Raden Natadimanggala, lalu menikah dan mempunyai anak yang salah satunya bernama Raden Raksawidjaja, lalu menikah dan mempunyai anak yang bernama Raden Ahmad, lalu menikah dan mempunyai anak yang bernama Raden Ilham, lalu menikah dan mempunyai anak yang bernama Raden Moedram, Raden Mudram menikah dengan Nyai Raden Siti Kabumen lalu mempunyai anak Raden Adibrata, Raden Adibrata menikah dengan Nyai Raden Ratna Komala lalu memiliki anak 7 (tujuh) orang, salah satunya bernama Raden Sulaeman Sukantabrata dan Raden Mukti Sumartabrata.
Diketahui sebagian Kitab suci Al-Quran tulisan tangan dan kitab-kitab tulisan tangan Raden Adibrata, Ajengan Sulaeman Sukantabrata serta silsilah asal-usul keturunannya juga foto-fotonya masih ada dan tersimpan rapi di keturunan-keturunannya, meskipun sebagian ada yang hilang. Kitab-kitab yang ditulis tangan tersebut ialah tahun 1800 sampai 1889 ditulis dikertas yang memiliki tanda air/watermark lambang Kerajaan Belanda berbentuk bulat, watermark bergambar Singa dan Ksatria Pro Patria, Pedati dan lain-lain. Meskipun ada juga yang ditulis di kertas biasa tanpa menggunakan watermark.
Kitab-kitab Mukhtasor (Ringkasan) tersebut berisikan ilmu Tauhid, Fiqih, Tasawuf, Ilmu bercocok tanam dengan bacaan doa-doa ketika menebar benih, membajak sawah, tandur, hingga memanen padi.
Ada pula kisah Raden Kian Santang dengan Prabu Siliwangi yang keseluruhannya berbahasa sunda dengan huruf arab pegon dan cacarakan Sunda. Hanya ada satu Kitab yang berbahasa Jawa halus yang mengisahkan 25 Nabi dan Rasul ditulis dengan huruf arab pegon. Mungkin kitab-kitab inilah yang dipelajari oleh KH Ahmad Sanusi ketika menuntut ilmu di pesantren Ajengan Sulaeman di Sukaraja Sukabumi.
Pada akhir tulisan ini penulis menduga bahwa hubungan antara Ajengan Sulaeman dan KH Ahmad Sanusi bukan hanya sebatas hubungan kyai dengan santrinya saja, tetapi memiliki kaitan kekerabatan yaitu sama-sama keturunan Bupati Sukapura Tasikmalaya, namun hal itu memerlukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan semua pihak yang terkait. Tetapi bila diteliti dari biografinya, KH Ahmad Sanusi merupakan keturunan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang merupakan guru dari Bupati Sukapura Dalem Wiradadaha.
Adapun asal mula leluhur Ajengan Sulaeman Sumartabrata adalah Raden Ahmad yang pada tahun 1623 diperintahkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo melalui Raden Wirawangsa yang masih kerabat Sultan Agung (kelak Raden Wirawangsa ini menjadi Bupati Sukapura pertama yang bergelar Wiradadaha-1 ditahun 1632 yang kekuasaannya meliputi wilayah Priyangan sampai Sukabumi).
Raden Ahmad diperintah untuk membuka perkampungan baru (Ngababakan) disekitar daerah yang terdapat Batu Nangtung atau Menhir di pinggir sungai Cimuncang yang sekarang ini dikenal dengan nama Kampung Tugu Desa Pasirhalang, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi, dalam rangka menggalang pasukan dan mengumpulkan bahan makanan untuk persiapan menyerang VOC di Batavia pada tahun 1627 dan tahun 1629 melalui jalur selatan Jawa Barat. Selanjutnya wilayah Sukaraja dijadikan sebagai pusat penyebaran agama islam hingga ke pesisir pantai selatan bekas wilayah Kerajaan Pajajaran tersebut.
Referensi:
1. Artefak dan dokumen Keluarga besar Raden Adibrata.
2. Wawancara dengan keluarga besar R.Adibrata, R.Sulaeman Sukantabrata dan R.Mukti Sumartabrata.
3. Sumber-sumber lainnya.
PENULIS: TEDI "REWARD" GINANJAR, PENGAMAT DAN PENELUSUR SEJARAH/KETUA PEMBINA YAYASAN CAGAR BUDAYA NASIONAL POJOK GUNUNG KEKENCENG.