SUKABUMIUPDATE.com - Tiga organisasi pers Indonesia yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), melalui kuasa hukumnya yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, membacakan Permohonan sebagai Pihak Terkait kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pengujian Undang-undang Pers Perkara Nomor: 38/PUU-XIX/2021 yang diajukan Heintje Grontson Mandagie dkk, Selasa, 11 Januari 2022.
Kuasa Hukum AMSI, AJI, dan IJTI, Hendrayana mengatakan pengujian UU Pers tersebut mempermasalahkan dua Pasal yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f terkait kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membentuk peraturan di bidang pers dan Pasal 15 ayat (5) terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketiga organisasi pers itu pun menyampaikan sejumlah hal.
Pertama, kata Hendrayana, jika dibaca baik-baik terkait kewenangan Dewan Pers pada salah satu pasal yang diuji, Pasal 15 ayat (2) huruf f, sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers. Sehingga tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli. Sebagai fasilitator, Dewan Pers diwajibkan memastikan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers.
Kedua, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian memfasilitasi adalah: "memberikan fasilitas". Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinya: "sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan". Artinya pada konteks fungsi Dewan Pers dalam membentuk peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f, adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers untuk berkontribusi dan ambil bagian dalam membentuk peraturan di bidang pers.
Ketiga, sebagai fasilitator, jika terdapat pembentukan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers maka barulah bisa dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers sendiri. Seandainyapun terjadi, Hendrayana menyebut permalasahan berada di tataran implementasi bukan pada tataran normatif dengan memintakan Dewan Pers kehilangan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers membentuk peraturan di bidang pers.
Keempat, mencermati posita para Pemohon mengenai memfasilitasi adalah menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers. Hendrayana mengatakan, ini dikhawatirkan justru membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, dan bahkan berpotensi bertentangan satu dengan yang lain.
"Ini berpotensi membuat munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers. Dikhawatirkan justru memunculkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers," kata dia.
SUMBER: SIARAN PERS