SUKABUMIUPDATE.com - Seorang istri di Lampung dimintakan sejumlah uang kalau ingin sang suami dihukum ringan dalam sidang pidana. Uang raib tapi vonis tak memuaskan. Sempat tawar-menawar harga beristilah ‘belah semangka’.
DESI DAN ANAKNYA tengah menyantap mi saat mobil berwarna putih memasuki area parkir, suatu malam, pertengahan Agustus 2020.
Dari dalam mobil, turun lelaki berperawakan sedang, yang lantas berjalan menuju arah masuk ke dalam kedai Mi Aceh di daerah Kemiling, Bandar Lampung itu.
Desi yang datang lebih dulu sengaja memilih tempat duduk di bagian depan kedai, agar bisa melihat ke halaman parkir.
Sebab, dia mengingat, lelaki yang belum pernah ia jumpai itu sempat mengatakan akan datang memakai mobil berkelir putih. Jadi, ketika lelaki dari oto berwarna safa itu turun, Desi langsung mendekatinya.
“Pak Anton ya?” tanya Desi.
“Ya.”
Desi segera mengajak Anton untuk duduk di set meja, bersama dia dan anaknya. Lelaki yang memakai kaus berkerah putih dan celana panjang bahan itu memesan kopi dan telur setengah matang.
“Gimana, gimana?” kata Anton, memulai pembicaraan.
“Tolong pak dibantu supaya vonis suami saya ringan. Kasihan pak, anak saya masih kecil-kecil. Masih sekolah semua.”
Desi memohon sembari menyatakan ada uang yang disiapkan bila lelaki itu membantu.
“Gak bisa bu. Uang suami itu itu gak laku buat saya,” Anton menyanggah.
“Lebih baik ibu berdoa saja supaya suami ibu divonis ringan dan segera bertemu keluarga.”
Desi menangis mendengar jawaban Anton. “Ya pak, tolong banget lah pak. Tolong bantu. Sebisa mungkin diringanin.”
Anton berkukuh tidak mau membantu. Desi dan anaknya akhirnya memilih pulang duluan. Sementara Anton masih menikmati kopi dan telur setengah matangnya.
Pikiran Desi Sefrilla buncah dalam perjalanan pulang. Jauh-jauh dia menempuh perjalanan 40 kilometer dari rumahnya di Kabupaten Pringsewu ke Bandar Lampung, tapi orang yang ditemuinya enggan menolong.
Semua berawal dari lima bulan sebelumnya. Cecep Fatoni—suami Desi—menerima tawaran penebangan kayu sonokeling di Dusun Umbul Solo, Kecamatan Way Lima, Pesawaran.
Cecep memiliki usaha serkel atau gesek kayu. Selain itu, dia juga membuka usaha penyewaan alat berat.
Suatu waktu, Cecep menerima tawaran penebangan kayu sonokeling di Dusun Umbul Solo, Kecamatan Way Lima, Pesawaran.
Setelah ditebang, kayu-kayu itu diangkut memakai dua truk milik Cecep untuk dibawa ke rumahnya. Tapi dalam perjalanan, truk-truk tersebut dicegat polisi kehutanan.
Karena tidak ada dokumen sah, pembawanya ditangkap serta barang muatannya disita. Pembawa kayu itu mengakui aktivitas mereka adalah perintah dari Cecep.
4 Maret 2020, Cecep ditangkap aparat Polda Lampung di sebuah penginapan daerah Bandar Lampung.
Belakangan, dikutip dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, penebangan kayu sonokeling itu erat terkait kasus pembalakan liar.
Kasus ini meluncur ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Kejaksaan menunjuk Jaksa Anton Nur Ali sebagai penuntut umum.
Sedangkan PN Tanjungkarang menetapkan, perkara ini akan diadili oleh Surono sebagai hakim ketua bersama dua anggotanya: Zuhairi dan Siti Insirah.
Desi tak ingin suaminya dihukum berat, maka ia berinisiatif mencari bantuan. Muncullah ide ibu lima anak ini untuk menghubungi Jaksa Anton Nur Ali.
Setelah mengontak sejumlah orang, dapatlah ia nomor telepon jaksa Anton 0822xxxxxxxx dari seseorang yang Desi lupa siapa. Nomor ini sama dengan yang Suara.com hubungi saat meminta konfirmasi, Jumat 22 Oktober 2021.
Desi mengirimkan pesan singkat via WhatsApp ke nomor tersebut pada 24 Agustus 2020.
“Assalamualaikum pak, ini saya istri Cecep, bisa ketemu gak pak?”
Namun, pesan singkat itu tidak berbalas. Dia lantas memutuskan mencoba menelepon.
“Saya coba telepon, diangkat. Terus dia minta ketemu di Mi Aceh Kemiling. Sekitar dua hari kemudian, saya dan anak pergi menemuinya, selepas isya,” cerita Desi kepada Suara.com, Sabtu, 23 Oktober 2021.
‘Belah semangka’
BERSAMA tigak anak dan satu keponakannya, Desi duduk di ruang tunggu kantor Kejaksaan Tinggi Lampung, Jalan Jaksa Agung R Soeprapto No 226, Talang, Kecamatan Telukbetung Selatan, Kota Bandar Lampung, beberapa hari setelah persamuhan di kedai.
Desi ditanya perihal keperluannya oleh staf kejati. Dia menjawab hendak bertemu Jaksa Anton.
Staf itu meminta kartu identitas, lalu menyuruh Desi meletakkan barang bawaan di loker. Tak lama sesudahnya, Desi diminta naik ke lantai dua menemui Anton.
Mengajak satu anaknya, Desi bergegas masuk ke ruangan kerja Anton. Kala berjumpa, kembali Desi memohon bantuan.
“Suami ibu ini ancamannya 15 tahun. Kayaknya berat. Kalau mau ngeringanin, bukan saya wewenangnya,” kata Anton. Pertemuan itu tidak membuahkan hasil.
Beberapa hari kemudian, Desi kembali menemui Anton di ruang kerjanya. Lagi-lagi, Desi memohon bantuan.
“Saya sudah menyiapkan Rp 60 juta pak.”
Anton bergeming. Kepada Desi, dia mengatakan uang sebesar itu masih belum mencukupi untuk mengurus keringanan vonis Cecep.
Sebab, Anton mengakui kepada Desi dirinya harus memberikan uang ke sejumlah pihak seperti atasannya dan hakim.
“Harus ‘belah semangka’, begitu dia mengistilahkan,” kata Desi.
Desi lantas bertanya, berapa uang yang harus disiapkan agar hukuman suaminya bisa ringan. “Dia bilang seratus (Rp 100 juta).”
Desi tidak langsung menyanggupi, tapi meminta waktu untuk mencarikan uang sesuai permintaan. Ketika itu, sidang kasus suami Desi masih tahap pemeriksaan saksi-saksi.
Butuh waktu 10 hari bagi Desi untuk mengumpulkan Rp 100 juta, mulai dari menguras isi tabungan hingga menggadaikan sawah.
Begitu uang terkumpul, Desi kembali menemui Anton. Dia sengaja tak membawa masuk Rp 100 juta tunai ketika menemui Anton di ruang kerja. Uang itu ia letakkan di dalam mobil.
Namun, ketika menemui Anton di ruang kerja, sang jaksa marah. Dia tak mau menerima uang itu, karena dirinya lama menunggu tapi Desi tak memberi kabar.
“Gak bisa, gak bisa, udah telat. Apa adanya aja,” kata Anton. Pulanglah Desi dengan tangan hampa.
Transfer Rp 30 juta
PONSEL Desi berdering, Jumat pagi, 4 September 2020. Pada layar utama, tertera nomor ponsel si penelepon yang belum tersimpan di phonebook. Desi tak sempat menerima panggilan tersebut.
Barulah ketika Desi memeriksa ponsel, dia mengetahui ada pesan singkat via layanan SMS yang dikirim dari nomor 0878919xxxxx. Nomor itu pula yang sebelumnya menelepon.
“Ass bisa saya hubungin ibu” isi pesan singkat dari nomor tak dikenal itu.
“Waalaikum salam maaf ini siapa ya?” balas Desi.
“Saya anton saya WA kok tidak dibales.”
Desi mengakui kuotanya habis sehingga tidak bisa membuka aplikasi WhatsApp. Nomor tak dikenal yang mengaku Anton itu lalu meminta Desi membuka WA yang ia kirim.
Setelah mengisi kuota internet, Desi membuka aplikasi WA. Masuk pesan dari nomor yang sama dengan si penelepon maupun pengirim SMS, isinya juga sama.
Desi lalu mengecek foto profil WA nomor tersebut, yakni potret seorang lelaki berdiri di depan mobil berwarna putih. Dia betul-betul mengenali sosok itu: Jaksa Anton.
“Maaf pak, WA saya baru aktif,” tulis Desi via WA.
“Gimana sudah ada belum biar tuntutan minggu depan,” balas orang itu.
Desi membalas bahwa ia sudah menyiapkan uang sejak bertemu Anton kemarin lalu.
“Tolong bilang suaminya kalo mau dibantu jangan teriak-teriak,” balas orang mengaku Anton ini.
Menurut Desi, maksud jangan ‘teriak-teriak’ yaitu tidak boleh meminta bantuan ke orang lain mengenai masalah ini.
Orang itu lalu meminta Desi menemuinya di parkiran Kejati Lampung, sambil membawa sebagian uang tunai keesokan hari. Uang itu diminta diletakkan di jok depan mobil miliknya.
Sementara untuk sisa uangnya, Desi diminta mentransfer hari itu juga sebelum waktu salat Jumat. Sebab, dia mengklaim mau berkoordinasi dengan hakim.
Untuk memastikan orang itu adalah Anton, Desi meminta izin menelepon. Namun teleponnya tidak diangkat. Orang itu beralasan dirinya yang akan menghubungi Desi nanti.
Desi lalu meminta orang tersebut mengirim nomor rekening sebagai tujuan transfer uang. Dikirimkanlah nomor rekening BCA atas nama Abdul Rohman.
“Ibu tf 30 sisanya besok 70 bawa ke kntr taro di mbl.”
Orang itu juga mengatakan akan memberikan hukuman maksimal bagi Cecep, jika Desi tidak yakin terhadap dirinya.
Setelah percakapan via WA, Desi mentransfer Rp 30 juta ke rekening Abdul Rohman. Dia lantas kembali mengirimkan pesan singkat, memberitahukan sudah mengirimkan uang.
Kembali orang itu meminta Desi menemuinya di parkiran Kejati Lampung keesokan hari. Tapi, setelah itu, ia mengirimkan pesan singkat berupa ralat, yakni agar sisa uang dari Desi diantarkan pekan depan, sebelum sidang.
Minta video call tak senonoh
TAK hanya permintaan uang, dalam percakapan WA dengan Desi, orang itu juga sempat mengajukan pengiriman foto serta panggilan video alias video call yang mengarah pada hal tidak senonoh.
Dia meminta Desi tidak bercerita ke siapa pun, termasuk sang suami perihal permintaan itu. Bahkan, dia menawarkan Desi mendapat setengah uang yang ia minta, agar tutup mulut.
Desi membalas pesan itu, dengan mengatakan tidak mengerti maksud permintaan panggilan video. Orang tersebut balik menjawab, sepemahaman Desi saja mengenai permintaan video call dan foto tersebut.
“Yang saya minta tidak sampai tinggal bareng seperti yang suami ibu lakukan.”
Melalui pesan WA, orang mengaku Anton itu kembali mengancam, apabila permintaannya tersebar, maka akan mengambil langkah banding terhadap perkara suami Desi.
Desi sendiri tidak memenuhi permintaan mengirim foto dan video call itu.
Keesokan harinya, orang mengaku Anton ini tiba-tiba minta ditransfer uang Rp 10 juta ke rekening atas nama Abdul Rohman.
Karena hari Sabtu dan tidak memegang kartu ATM, Desi meminta waktu. Namun orang itu langsung marah-marah.
Ia mengancam menelepon hakim dan meminta hukuman suami Desi disesuaikan dengan pasal yang dikenakan.
Lalu, orang mengaku Anton ini meminta nomor rekening Desi, untuk mengembalikan uang Rp 30 juta yang sudah ditransfer.
“Kirim rekening bu Cecep sekarang. Pasal apa adanya saja saya kasih buat Cecep.”
Awalnya, Desi menolak karena masih berharap dibantu. Namun, karena orang itu terus mendesak, Desi mengirimkan nomor rekeningnya.
“Tapi ya sampai sekarang tidak ada (pengembalian uang),” kata Desi.
Lapor polisi
SELAMA menjalin percakapan via WhatsApp dengan orang mengaku Anton, timbul keraguan di hati Desi, apakah orang itu benar jaksa Anton atau bukan?
Kecurigaan Desi ini muncul ketika orang tersebut mulai berbicara di luar topik permintaan uang, misalnya seperti istri kedua Cecep serta meminta foto maupun video call.
“Jaksa kok kayak begini. Sampai dia ngajak VC (video call) jangan ada siapa-siapa. Ngajak uang dibagi dua,” kata Desi.
Takut menjadi korban penipuan, Desi memutuskan melapor ke Polres Pringsewu, 10 September 2020. Dia melaporkan pasal dugaan penipuan.
“Saya tidak menuduh Pak Anton. Justru saya melapor ini karena merasa menjadi korban penipuan. Nanti biar hukum yang membuktikan,” kata Desi.
Setahun lebih sejak laporannya diterima di Polres Pringsewu, barulah Desi mendapatkan informasi tindak lanjutnya.
Dia mengakui mendapat surat panggilan klarifikasi atas laporannya dari Polres Pringsewu pada 19 Oktober 2021.
Bersamaan dengan surat pemanggilan itu, penyidik juga mengirimkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan.
Dalam surat yang ditandatangani Kasat Reskrim Polres Pringsewu Iptu Feabo Adigo Mayora, dijelaskan langkah yang sudah dilakukan polisi.
Penyidik sudah mengecek TKP di BRI Link di Ambarawa, Pringsewu. Penyidik juga telah memeriksa karyawan dan pemilik BRI Link itu.
Sementara yang akan dilakukan penyidik sebagai langkah lanjutan, yakni berkoordinasi dengan BCA untuk mengetahui alamat dan pemilik nomor rekening atas nama Abdul Rohman.
Selain itu, polisi juga akan meminta rekening koran pemilik BRI Link. Langkah terakhir yang akan dilakukan polisi adalah mengundang saksi Anton Nur Ali.
Sabtu, 23 Oktober 2021 pekan lalu, Desi diperiksa penyidik. Kurang lebih lima jam ia dimintakan keterangan oleh polisi.
“Cuma menanyakan kronologis laporan penipuan itu,” kata Desi.
Kasat Reskrim Polres Pringsewu Iptu Feabo Adigo Mayora enggan berbicara saat dimintakan konfirmasi mengenai laporan Desi.
“Hubungi humas saja,” kata Feabo.
Namun, sampai Senin, 25 Oktober 2021, humas Polres Pringsewu tidak merespons permintaan konfirmasi.
Keributan di polsek
AIR MUKA Cecep Fatoni tampak tenang saat mengikuti sidang vonis, yang diikutinya secara daring dari Mapolsek Kemiling, Rabu 23 September 2020.
Selain Cecep, Jaksa Anton juga mengikuti sidang daring tersebut dari tempat yang sama. Tak hanya mereka, ada Desi yang ikut serta menonton di sana.
Jaksa Anton sendiri mendakwa Cecep dengan dakwaan alternatif kesatu dan kedua. Pada dakwaan alternatif pertama, Jaksa Anton menjerat Cecep memakai Pasal 94 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 19 huruf a jo Pasal 83 Ayat (1) huruf a jo Pasal 12 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Memakai rentetan pasal itu, ancaman hukumannya paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.
Dakwaan alternatif kedua, Jaksa Anton menjerat Cecep memakai Pasal 83 Ayat (1) huruf a jo Pasal 12 huruf d UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kalau hakim menyetujui penggunaan pasal-pasal ini, ancaman hukumannya lebih ringan yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Untuk diketahui, dalam surat dakwaan alternatif, terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis. Lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya.
Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapatkan kepastian tentang tindak pidana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya. Sebaliknya, jika salah satu telah terbukti, maka dakwaan pada lapisan lain tidak perlu lagi dibuktikan.
Dalam bentuk surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung “atau”. Artinya, dalam persidangan, jaksa dan hakim dapat memilih dakwaan pertama atau kedua yang akan dikenakan ke terdakwa dalam proses penuntutan maupun vonis.
Menariknya, Jaksa Anton memilih dakwaan alternatif kedua dalam surat tuntutannya, yang mana hukumannya lebih ringan dari dakwaan alternatif pertama. Cecep dituntut pidana penjara dua tahun dan enam bulan.
Sementara majelis hakim dalam pertimbangannya memutuskan memilih dakwaan alternatif kedua, sebagai pembuktian unsur-unsur pidana yang dilakukan Cecep.
Pada putusannya, majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun enam bulan bagi Cecep.
Majelis hakim menyatakan Cecep melanggar Pasal 83 Ayat (1) huruf a jo Pasal 12 huruf d UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Setelah mendengar putusan majelis hakim, Cecep dan Desi tidak terima. Mereka marah kepada Anton yang ada di dalam ruangan.
“Gimana sih pak. Bapak minta uang segini, kami siapin. Memangnya cari uang gampang? Cari uang itu susah pak,” cecar Desi menuding Anton.
Anton bergeming. Dua orang polisi yang ada di ruangan melerai kegaduhan. Cecep terbawa suasana hingga ikut marah ke Anton.
“Saya tunggu kamu di luar,” balas Anton.
Terjadi intimidasi
AHMAD Amri, jurnalis Suara.com, mendapat intimidasi dari Jaksa Anton Nur Ali saat berupaya mengonfirmasi kasus dugaan adanya penerimaan uang dari Desi Sefrilla.
Jumat 22 Oktober 2021, Ahmad Amri mengirimkan pesan ke Kasi Penkum Kejati Lampung, I Made Agus Putra Adyana, untuk mengonfirmasi masalah dugaan penerimaan uang. Agus membalas dengan minta waktu bertemu siang hari itu juga.
Siang pada hari yang sama, Ahmad Amri berada di ruangan wartawan Kejati Lampung untuk menunggu Agus. Ketika itulah ia melihat Anton melintas hendak keluar kantor.
Amri berlari menuju Anton untuk mengonfirmasi informasi. Namun, Anton mengajak Amri berbicara di ruangannya.
"Iya ke ruangan saja, simpan dulu HP dan barang-barang kamu, karena aturannya tidak boleh bawa HP ke dalam ruangan,” kata Anton ke Amri.
Amri awalnya sempat menolak, karena ponsel adalah alat kerjanya sebagai jurnalis.
Kemudian, ada seorang berpakaian preman mempertegas agar Amri meletakkan barang bawaan ke dalam almari, termasuk ponsel serta tas.
"Sini bapak, handphone dan tas disimpan di loker ini. Bapak bawa kuncinya, baru bapak ke atas, aturannya begitu, " kata lelaki itu.
Setelah menuruti perintah itu, Amri bersama Anton naik ke lantai dua, ke ruangan yang disebut belakangan.
"Silahkan duduk di situ. Sebenarnya dari kemarin, waktu kamu WA sebelumnya, saya sudah bawa dua orang cari kamu, tetapi enggak ketemu," kata Anton ke Amri.
Lalu, Anton mengatakan dirinya banyak berteman dengan wartawan senior. Amri tidak diberi sela untuk mengonfirmasi benar tidaknya dugaan penerimaan uang dari keluarga terdakwa.
"WA kamu ke saya sudah saya screenshot, dan sudah saya kirim ke petugas Polda Lampung. Kamu memojokkan saya, kena UU ITE kalau saya laporkan ke Polda. Sebab dalam WA, kamu bilang saya menyuruh keluarga terdakwa mengirim uang ke saya. Ini tahun 2021, enggak mungkinlah saya berani begitu. Coba kamu tes ke jaksa lain terkait perkara, kamu mau kirim uang ke Jaksa itu, karena berkaitan dengan perkara pasti enggak berani. Kalau Jaksanya berani terima uang, saya kasih kamu dua mobil," tantangnya.
Anton menjelaskan, semestinya Amri lebih dulu menelepon dirinya dan meminta waktu bertemu, “Jangan main WA atau SMS.”
“Kan enak bertemu, kalau WA atau SMS ada bukti, bisa di-screenshot dan dilaporkan kamu, kena UU ITE,” kata Anton lagi.
"Nanti kalau ada orang yang menelepon kamu, itu orangnya saya. Maaf ini saya mau ke polda ngurus kasus UU ITE juga. Terserah kamu, saya enggak pandang siapa orangnya. Kalau saya sudah terusik, saya laporkan. Saya bukan jaksa baru, kemarin sore, saya juga pernah di LSM. Maaf saya buru-buru ke polda, " kata Anton, lantas meninggalkan ruangan.
Bantah terima uang
SETELAH awak media ramai-ramai memberitakan adanya intimidasi tersebut, Kejati Lampung menggelar konferensi pers, pada hari yang sama pula.
Dalam konferensi pers itu, Jaksa Anton membantah menerima uang dari keluarga terdakwa.
“Terus masalah terima uang transfer itu, saya jawab bahwa saya tidak terima, kalau memang ada bukti, laporkan dan saya siap diborgol," kata Anton.
Kasi Penkum Kejati Lampung I Made Agus Putra Adyana mempertegas pernyataan rekan sekerjanya itu. Agus membantah dugaan Jaksa Anton menerima uang.
"Terkait, informasi yang dikonfirmasi rekan kita, dari jurnalis Suara.com, Jaksa Anton membantah dan tidak pernah menerima uang sebesar Rp 30 juta itu.”
DPR minta jaksa Agung turun tangan
ANGGOTA Komisi III DPR RI Santoso menegaskan, Jaksa Agung ST Burhanuddin harus turun tangan dengan membentuk tim khusus untuk mengusut tuntas dugaan ‘tawar-menawar harga’ perkara di Lampung tersebut.
“Jaksa Agung harus bertindak atas adanya dugaan jual-beli perkara itu. Jika terbukti, maka jaksa tersebut harus diberi sanksi keras, karena menciderai integritasi institusi Kejaksaan RI,” kata Santoso, Senin, 25 Oktober 2021.
Menurut Santoso, Kejaksaan Agung harus segera membentuk tim khusus dan bergerak tanpa menunggu klarifikasi dari Kejati Lampung.
“Biar tidak ada konflik kepentingan, maka cukup tim bentukan Jaksa Agung itu saja yang menangani,” kata dia.
Selain itu, Santoso juga mengapresiasi jurnalis yang berani menyajikan skandal ini kepada publik. Karenanya, ia mengecam intimidasi yang menimpa jurnalis Suara.com.
“Jurnalis bekerja berdasarkan undang-undang. Kebebasan pers adalah produk reformasi, bagian dari syarat negara demokrasi. Jika ada kode etik yang dilanggar jurnalis, pihak yang dirugikan bisa meminta klarifikasi, bukan intimidasi,” tegas Santoso.
Santoso melanjutkan, “UU ITE jangan dijadikan alat pukul untuk membungkam dan mengebiri kebebasan pers.”
Perintah Komisi Kejaksaan
KETUA Komisi Kejaksaan RI Barita Simanjuntak menegaskan, sudah berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejagung perihal dugaan jual-beli pasal di Lampung.
“Mengenai soal ini, kami sudah berkoordinasi dengan Jamwas Kejagung, untuk segera melakukan pemeriksaan dan klarifikasi terhadap yang bersangkutan,” kata Barita kepada Suara.com, Senin malam.
Ia mengungkapkan, proses pemeriksaannya kekinian masih berlangsung. Barita memastikan, tim pengawasan Kejagung bekerja secara profesional mengusut tuntas dugaan tersebut.
“Kami terus memantau, mengawasi penanganan kasus ini agar berjalan baik dan benar. Apabila pemeriksaan selesai, hasilnya akan disampaikan kepada kami, sesuai mekanisme kerja,” kata Barita.
Kejagung bergerak
KEJAKSAAN Agung RI telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan Asisten untuk mengusut dugaan permintaan uang terkait orang yang tengah berperkara di Lampung.
"Jaksa Agung Muda Pengawasan telah memerintahkan langsung Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung untuk segera mengklarifikasi dugaan permintaan ataupun penerimaan uang," kata Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Sabtu, 23 Oktober 2021 akhir pekan lalu.
Jamwas Kejagung RI Amir Yanto, yang dikonfirmasi Suara.com Senin, 25 Oktober 2021 malam, mengakui sudah bergerak menangani perkara ini.
“Terakhir, saya sudah meminta Kajati Lampung untuk menindaklanjuti dugaan ini,” kata Amir Yanto.
Banyak modus
YURIS Rezha Kurniawan, peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, menegaskan bila terdapat bukti permulaan, dugaan penerimaan uang terkait perkara ini bisa dilaporkan ke polisi.
Dia mengakui, kasus penerimaan uang yang melibatkan jaksa masih cukup sering terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
"Kalau dilakukan pemetaan, ada lima modusnya,” kata Yuris.
Modus pertama, memuluskan proyek dengan dalih pengawalan. Modus ini marak terjadi saat masih ada Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah atau TP4D. Contoh kasusnya, seorang jaksa di Yogyakarta terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Modus kedua, memeras yang sedang berperkara. Misalnya, kata Yuris, pemerasan terhadap kepala sekolah dengan dalih akan dijerat perihal dana BOS, seperti yang terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Modus ketiga, menghentikan atau tidak menindaklanjuti dugaan perkara korupsi. Temuan atau indikasi adanya praktik korupsi dibarter dengan pihak tertentu, agar perkaranya tidak dinaikkan ke pengadilan.
“Selanjutnya, modus keempat adalah mengatur tuntutan. Saat persidangan, jaksa bersepakat dengan pihak tertentu, semisal untuk menggunakan pasal yang lebih ringan, mengatur tuntutan, dan lain-lain. Itu pernah terjadi di kejati DKI, menjerat aspidsus DKI.”
Kemudian modus kelima, berkomplot dengan terpidana untuk memperingan eksekusi. Kasus Jaksa Pinangki, yang seharusnya jadi eksekutor putusan pengadilan, justru membantu terpidana menghindar dari eksekusi.
Artikel ini hasil reportase Ahmad Amri (Lampung), Muhamad Yasir dan Novian Ardiansyah (Jakarta). Penyunting awal: Wakos Reza Gautama. Penyunting akhir: Reza Gunadha.
SUMBER: SUARA.COM