SUKABUMIUPDATE.com - Dua tahun sudah pemerintahan Joko Widodo - Ma'ruf Amin berjalan. Berbagai pihak mencatat sejumlah paradoks antara janji politik dan kenyataan pada pemerintahan Jokowi - Ma'ruf.
Pada Pilpres 2019, Jokowi - Ma'ruf di antaranya mengumbar janji soal penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga; dan pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya.
Berikut catatan-catatan paradoks terkait janji-janji tersebut;
1. Soal Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi
Indonesia Corruption Watch atau ICW menyebut rezim Jokowi - Ma'ruf terus melanjutkan pemburukan pemberantasan korupsi. Setelah menyetujui revisi UU KPK dan memilih pimpinan KPK kontroversial, ICW menyebut babak akhir pelemahan KPK adalah TWK KPK. Diamnya Jokowi dalam kasus ini dinilai memberikan sinyal bahwa Presiden setuju dengan TWK KPK.
"Padahal konsekuensi TWK KPK jelas, berbagai kasus korupsi besar yang sedang ditangani oleh sebagian dari 58 pegawai KPK yang dipecat mandeg, berhenti di aktor lapangan yang telah tertangkap," ujar Peneliti ICW Lalola Easter dalam konferensi pers, Selasa, 19 Oktober 2021.
ICW menilai sejumlah kasus korupsi kakap juga tidak ditindaklanjuti secara serius. Dalam kasus korupsi bantuan sosial yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara misalnya, KPK tidak mengusut dugaan keterkaitan individu-individu lainnya. "Padahal dua politisi PDIP, yaitu Ihsan Yunus dan Herman Hery disebut-sebut dalam kasus tersebut. Hingga hari ini, Harun Masiku yang menyuap anggota KPU RI pun tidak pernah bisa ditemukan," ujar Lalola.
Tata kelola penegakan hukum juga dinilai memburuk. Pada pertengahan Juni tahun 2020 yang lalu, publik dikejutkan dengan kehadiran buronan korupsi, Djoko Tjandra. Kala itu, Joko diketahui masuk ke yurisdiksi Indonesia untuk mengurus permohonan peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tak lama berselang, Djoko ternyata diketahui bekerja sama dengan sejumlah pihak, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pegawai administratif di Jakarta agar kedatangannya tidak terdeteksi penegak hukum.
Joker, sebutan untuk Djoko Tjandra, dibantu oleh pejabat penting Kepolisian, yakni Kepala Biro Pengawasan PPNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo dan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dengan menghapus data red notice DJoko.
"Di sini, tampak bahwa integritas anggota Polri masih perlu dibenahi lebih lanjut. Kejaksaan Agung juga menjadi pusat skandal Joker. Jaksa Pinangki Sirna Malasari membantu Joko dengan menawarkan action plan permohonan fatwa dari Kejaksaan Agung ke Mahkamah Agung agar buronan itu tidak bisa dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan," ujar Lalola.
Ironinya, lanjut dia, pemerintah hanya punya satu kebijakan khusus pemberantasan korupsi, yakni Strategi Nasional Pencegahan Korupsi yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Perpres 54/ 2018).
Ada tiga sektor yang menjadi fokus kerja dalam Stranas PK yaitu perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Berdasarkan catatan pada website resmi Stranas PK di stranaspk.kpk.go.id, dapat dilihat capaian pada masing-masing fokus masih belum optimal dengan capaian di bawah 50 persen. "Capaian di atas semakin diperburuk dengan ketiadaan mekanisme evaluasi capaian dan kinerja, serta konsekuensi dari tidak tercapainya sejumlah agenda aksi pencegahan korupsi dalam Stranas PK," ujar Lola.
2. Perlindungan dan Memberikan Rasa Aman Bagi Segenap Bangsa
Alih-alih memberikan perlindungan dan rasa aman, pemerintah justru dinilai malah menakuti masyarakat. Kelompok masyarakat menilai pemerintah tak memiliki komitmen dalam menjaga kebebasan sipil.
"Demokrasi hanya menjadi simbol semata tapi tidak dijamin pelaksanaan kebebasannya," kata Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, Rivanlee Anandar pada Senin malam, 18 Oktober 2021.
Rivanlee mengatakan, kemunduran demokrasi bisa dilihat dari masifnya penanganan aksi massa dan reaktifnya aparat keamanan dalam merespons kritik, baik secara tindakan maupun lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penegakan hukum pun dinilai cenderung tebang pilih dan mengabaikan prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Contoh kekerasan aparat keamanan merespons kritik ini dapat terlihat dari penanganan aksi massa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020, hingga kekerasan polisi membanting mahasiswa yang berdemonstrasi di Tangerang baru-baru ini.
Dalam aksi massa menolak UU Cipta Kerja, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 43 insiden kekerasan oleh polisi yang terjadi dalam aksi antara 6 Oktober hingga 10 November 2020.
Amnesty juga mendokumentasikan setidaknya ada 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi tersebut. Ada 6.658 orang yang ditangkap di 12 provinsi, dan sebanyak 301 dari mereka sempat ditahan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, termasuk 18 jurnalis. Kemudian dalam protes secara daring, 18 orang di tujuh provinsi menjadi tersangka atas tuduhan melanggar UU ITE.
3. Pengelolaan Pemerintahan yang Bersih, Efektif, dan Terpercaya
ICW menilai kurang lebih dua tahun ini pemerintah gagal menjamin akuntabilitas dan transparansi, terutama dalam penanganan pandemi. Misalnya, ICW menyorot Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Pasal 27 ayat (1) menegaskan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pejabat dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN dan menimbulkan adanya biaya yang dikeluarkan tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara.
"Pasal 27 ayat (2) menyatakan pemberian hak impunitas kepada pejabat sehingga tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana karena pelaksanaan tugasnya didasarkan itikad baik. Kekebalan atau impunitas karena merasa bebas dari tuduhan kerugian negara melahirkan celah penyimpangan anggaran penanganan Covid-19," demikian catatan ICW.
Selain itu, ICW juga mencatat buruknya transparansi pemerintah, terutama soal belanja penanganan kesehatan selama pandemi Covid-19.
"Mata dan tangan masyarakat diikat, karena tiada akses yang memadai atas informasi anggaran, baik untuk pengadaan sektor kesehatan, penanggulangan dampak sosial dalam bentuk bansos Covid-19 maupun sektor penegakan hukum atas penyimpangan anggaran Covid-19," tulis ICW.
SUMBER: TEMPO/DEWI NURITA | BUDIARTI UTAMI PUTRI