SUKABUMIUPDATE.com - Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia atau PPNSI menggelar pelantikan pengurus dan Rakernas ke-V di salah satu hotel yang ada di Salabintana, Kabupaten Sukabumi, Ahad, 19 September 2021. Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet selaku Ketua Umum PPNSI periode 2021-2026 pun mengkritisi sejumlah capaian pemerintah dalam bidang pertanian dan perikanan, terutama impor.
"Masih banyak hal yang harus dibenahi agar sektor pertanian dan perikanan dapat memberikan nilai postif terhadap kemakmuran petani dan nelayan di Indonesia. Bukan tanpa alasan, kebijakan impor gila-gilaan yang dikeluarkan pemerintah seperti impor beras, hortikultura, gula, dan garam, sangat tidak berpihak pada petani dan nelayan," kata dia.
Kebutuhan pokok seperti beras dalam data BPS tahun 2021 menunjukkan tahun 2018 Indonesia mengimpor 2,2 juta ton (1 miliar US$), tahun 2019 impor 444 ribu ton (184 juta US$), tahun 2020 impor 356 ribu ton (195 juta US$), tahun 2021 impor 242 ribu ton (110 juta US$). Padahal, Badan Urusan Logistik atau Bulog menyatakan stok beras di gudangnya cukup.
"Sangat menyayangkan komentar Presiden Jokowi yang dianggap melakukan sebuah kebohongan publik karena mengatakan sudah 2 tahun terakhir Indonesia tidak pernah mengimpor beras. Padahal faktanya, impor beras hampir setiap tahun terjadi, bahkan saat presiden menyatakan demikian, impor beras tahun 2021 sudah mencapai 242 ribu ton dengan nilai 110 juta USD," ucap Slamet.
Legislator asal Sukabumi itu mengatakan pihaknya tidak ingin presiden melakukan sebuah kebohongan publik karena impor saat stok beras cukup sama saja melakukan pengkhianatan kepada petani lokal. Slamet juga mengkritisi belum maksimalnya pemerintah dalam menjaga Nilai Tukar Petani atau NTP yang selama Presiden Jokowi berkuasa belum pernah melebihi NTP 104 atau hanya rata-rata 101,89 selama 7 tahun terakhir.
"Artinya kesejahteraan petani selama 7 tahun terakhir masih berada pada titik yang sama. Data NTP terbaru pada pada Juli 2021 turun 0,11 persen dari NTP Juni 2021 menjadi 103,48. Sementara inflasi Juli 2021 mengalami kenaikan 0,08 persen, yang artinya petani mendapatkan dua pukulan secara bersamaan, di mana saat kesejahteraannya menurun, daya belinya pun mengalami penurunan," tegas dia.
Slamet mencatat, pada akhir 2020 data BPS menunjukkan terjadi peningkatan signifikan impor kopi, teh, dan rempah-rempah sebesar 55 persen, dibanding bulan sebelumnya. Ia pun mempertanyakan hal tersebut. Padahal, dahulu Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun karena kekayaan kopi, teh, dan rempah-rempahnya.
"Kami dari PPNSI ingin hadir bersama pekebun untuk berjuang menjayakan kembali kopi, teh, dan rempah-rempah Indonesia. Nasib komoditas perikananan dan pergaraman pun tidak jauh berbeda."
Menurutnya, berbagai kendala masih banyak ditemukan seperti konektivitas infrastruktur yang belum terpadu sehingga menyebabkan supply barang antar daerah masih sangat terbatas. Alhasil, masih banyak, komoditas-komoditas yang bisa dihasilkan secara mandiri namun untuk penyediaan bagi bahan baku industrI lebih banyak dipenuhi komoditas impor.
Pada kuartal I tahun 2021, impor produk perikanan mencapai 42.079 ton dengan nilai US$ 65,34 juta atau sekitar Rp 942,2 miliar (kurs Rp 14.420 per dolar AS) pada periode Januari-Februari 2021. Impor didominasi komoditas tepung ikan dengan volume sebesar 24.465 ton atau setara 58,1 persen dari total ekspor. Nilainya sebesar US$ 16,94 juta. Untuk makarel, selama dua bulan terakhir sebanyak 5.844 ton diimpor dengan nilai transaksi sebesar US$ 8,07 juta. Lalu, 2.300 ton tuna-cakalang diimpor dengan nilai sebesar US$ 3,65 juta.
Secara sederhana, sambung Slamet, konektivitas logistik akan menjadi sangat penting ketika stok perikanan yang tinggi di wilayah timur Indonesia (lumbung ikan nasional) menjadi tidak bermanfaat karena keterbatasan pasar.
Namun, di sisi lain untuk mengangkut ikan hasil produksi dari wilayah timur Indonesia juga terkendala sarana dan prasarana logistik yang terbatas sehingga biaya operasional akan jauh lebih mahal ketimbang dengan mendatangkan ikan secara impor. "Seperti contoh, harga ikan tongkol lokal juga jauh lebih mahal ketimbang ikan tongkol impor."
Menurut data yang diperoleh dari harga.web.id, Slamet menyebut komoditas ikan tongkol per kilogramnya mencapai Rp 34.000 hingga 35.000. Sedangkan untuk ikan impor hanya berada di kisaran 22.000 rupiah per kilogram. Itu terjadi karena untuk mendatangkan ikan tongkol dari pusat-pusat penghasil ikan masih berbiaya mahal karena terkendala infrastruktur logistik.
Slamet menambahkan, pemerintah punya pekerjaan rumah besar terkait infrastruktur logistik, khususnya infrastruktur kemaritiman. Jangan sampai visi kedaulatan pangan dan visi maritim pemerintah hanya tinggal jargon semata. Begitu juga dengan impor garam tahun 2021, pemerintah berencana melakukam impor garam sebesar 3,07 juta ton yang sampai pada semester pertama tahun ini sudah terealisasi kurang lebih 35,1 persen atau 1,08 juta ton.
"Jika tidak ada upaya pemerintah untuk mengurangi impor dengan memanfaatkan produksi perikanan dan garam lokal, akan sulit untuk mengubah keunggulan komparatif sektor perikanan menjadi keunggulan kompetitif yang dapat memberikan dampak sebesar-besarnya bagi kemajuan petani dan nelayan di Indonesia," kata Slamet.
Terakhir, kehadiran PPNSI akan terus bersinergi dengan berbagai stakeholder untuk membantu pemberdayaan para petani dan nelayan dalam mengembangkan usahanya menuju korporasi petani sekaligus memberikan advokasi kepada mereka untuk berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
SUMBER: SIARAN PERS