SUKABUMIUPDATE.com - Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi terancam dipecat setelah dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK. Pasal tentang TWK diduga disisipkan pada saat-saat terakhir perumusan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021. Ada pula kejanggalan pada dokumen kontrak KPK-BKN yang diduga maladministrasi.
TRI ARTINING PUTRI larut dalam kegaduhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang terperanjat setelah membaca surat elektronik dari Badan Kepegawaian Negara, 3 Maret 2021. Dalam surel yang dikirimkan BKN itu diinformasikan seluruh pegawai KPK akan diikutkan dalam TWK sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara alias ASN. Para pegawai meributkan model tes yang asing di telinga mereka.
"Ini kan alih status, kok ada tes? Kami kaget dapat email. Situasinya menjadi heboh," kata Tri Artining Putri, pegawai KPK, dikutip dari IndonesiaLeaks, Rabu, 2 Mei 2021. Menurut Puput -- sapaan akrabnya -- isi surat elektronik itu meminta agar seluruh pegawai KPK melakukan pendaftaran guna memeroleh kartu peserta TWK.
Pimpinan KPK tak memberi penjelasan mengenai tes tersebut. Alhasil, kegaduhan berlanjut di antara pegawai. Biro Sumber Daya Manusia KPK akhirnya memberikan keterangan, namun dianggap tak memuaskan karena tidak menjawab kegelisahan para pegawai.
Sebabnya, kata Puput, Biro Sumber Daya Manusia hanya menguraikan dalam TWK nanti peserta akan mengikuti tes indeks moderasi bernegara, integritas, serta wawancara. "Jadi, tidak ada satu pun yang merespons kegelisahan pegawai," kata Puput.
Sehari sebelum keriuhan, 2 Maret pukul 09.33 WIB, pegawai KPK menerima surel dari BKN yang meminta mereka mencetak kartu peserta untuk tes aparatur sipil negara. Tetapi selang tiga jam, terdapat surel internal KPK kepada pegawai yang meminta mereka tak melakukan registrasi karena BKN masih menyiapkan sistem aplikasinya. "Kami diminta tidak melakukan apa-apa terlebih dulu. Tapi besoknya, tes ASN berubah menjadi TWK," kata Puput.
***
DELAPAN bulan sebelum digelarnya Tes Wawasan Kebangsaan, Sekretariat Jenderal KPK melalui Biro Sumber Daya Manusia dan Biro Hukum, sudah membentuk tim perumus yang menyusun draf peraturan komisi atau perkom guna mengatur mekanisme alih status pegawai.
Perkom itu disusun sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang KPK serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN. Beleid itu mengamanatkan supaya KPK melakukan alih status pegawainya menjadi ASN maksimal dua tahun setelah Undang-Undang tersebut disahkan menjadi lembaran negara.
Sedikitnya, tim perumus telah membuat 41 rancangan draf perkom tersebut. Dalam kesemua rancangan itu, tak ada satu pun yang memuat tentang TWK. Pasal tentang TWK diduga baru masuk draf pada akhir pembahasan, yakni sebelum rancangan itu dibawa ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disahkan. Karenanya, terdapat dugaan pasal tentang TWK itu sengaja disusupkan untuk tujuan tertentu, yakni mengingkirkan sejumlah penyidik KPK.
Cerita dugaan disusupkannya pasal tentang TWK ini dibeberkan lebih dari 10 pegawai serta pejabat di KPK. Kesepuluh pegawai serta pejabat di KPK itu, atas dasar menjaga keselamatan, meminta fasilitas anonimitas narasumber kepada jurnalis media-media yang berkolaborasi melakukan peliputan investigatif atas nama konsorsium IndonesiaLeaks.
Berdasarkan keterangan mereka, kali pertama rapat pembahasan draf perkom digelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, 27-28 Agustus 2020. Pertemuan berformat grup diskusi terfokus itu dihadiri perwakilan Biro Hukum, Biro Sumber Daya Manusia, Pengawas Internal, dan fungsional Dewan Pengawas KPK. Sejumlah narasumber dari kementerian dan lembaga terkait turut diundang dalam pertemuan tersebut.
Sementara dari lingkungan akademisi, dua ahli diikutsertakan, yakni pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Oce Madril dan pakar kebijakan publik Eko Prasojo. Untuk diketahui, Eko Prasojo menjadi salah satu pembicara kunci dalam pertemuan itu karena menjadi pencetus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Seorang Sumber yang mengetahui proses rapat tersebut, kepada IndonesiaLeaks mengatakan Eko saat itu mengakui Undang-Undang ASN tak dirancang untuk kasus alih status pegawai independen seperti di KPK menjadi ASN. Eko dalam rapat itu lantas mengusulkan membuat aturan turunan agar bisa menjadi solusi kasus alih status pegawai KPK.
"Beliau setuju ini peralihan, bukan perekrutan," kata Sumber tersebut. Rapat itu turut mendiskusikan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 202 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN, yang diteken Presiden Joko Widodo.
Fokus diskusinya adalah Pasal 3 Ayat b yang menyebutkan salah satu syarat pegawai KPK bisa diangkat menjadi ASN adalah setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indoneisa, dan pemerintah yang sah. Menurut Sumber itu, Eko dalam rapat mengatakan syarat tersebut bisa dipenuhi dengan membuat surat pernyataan. "Capres dan cawapres juga pakai surat pernyataan," kata dia.
Akhir September 2020, draf pertama perkom tentang alih status pegawai KPK menjadi ASN rampung terumuskan. Di dalamnya, tak ada TWK sebagai syarat peralihan status. Pesan untuk mengonfirmasi pernyataan sumber itu telah disampaikan IndonesiaLeaks kepada Eko Prasojo via WhatsApp. Pesan itu sudah bercentang biru, tapi belum dibalas.
Sementara Oce Madril mengakui hadir dalam rapat tersebut sebagai narasumber ahli. Dirinya menegaskan tak pernah ada pembahasan soal TWK dalam pertemuan itu. Sejak September hingga pekan pertama November 2020, terdapat beberapa rapat penyusunan serta rapat pimpinan yang membahas draf pertama perkom alih status pegawai KPK.
Sejumlah pegawai KPK ditugaskan mengikuti rapat teknis alih status pegawai, terutama soal kepangkatan, golongan, ruang, serta mekanisme ASN. Rapat teknis digelar di Hotel Westin, 16-18 November 2020. Sejumlah pejabat diikutkan dalam rapat sebagai narasumber.
Para pegawai KPK mengakui rapat teknis itu membahas mekanisme alih status yang mudah serta tak menyulitkan mereka. Itu sesuai amanat dua beleid agar tak mempersulit pegawai KPK menjadi ASN.
Rapat teknis itu juga membahas mekanisme penentuan golongan jabatan dengan merujuk pada jabatan masing-masing pegawai saat ini di KPK. Jadi, golongan jabatan pegawai KPK setelah menjadi ASN tidak merujuk pada masa kerja. Pegawai KPK yang mengikuti rapat itu menjelaskan pembahasan dilakukan per pasal draf perkom, dan sama sekali tak ada tentang Tes Wawasan Kebangsaan.
"Konstruksi perkom yang ini adalah, kami 'disulap', bahwa seluruh pegawai menjadi ASN," kata Sumber lain yang mengetahui rapat di Hotel Westin. Ia menjelaskan, 'disulap' itu berarti alih status pegawai KPK tak bakal dipersulit.
Menjelang Natal 2020, persisnya 18 Desember, ada rapat pimpinan KPK yang membahas soal konversi kepangkatan pegawai setelah nanti menjadi ASN. Dalam rapat tersebut, muncul pembahasan agar pegawai cukup membuat pernyataan tertulis kalau ingin menjadi ASN. Sumber yang mengetahui jalannya rapat itu menuturkan tak pernah ada usulan mengadakan uji wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status. "Saat itu memang belum muncul," ujarnya.
Usulan mengadakan TWK sebagai syarat alih status baru muncul pada rapat tanggal 5 Januari 2021. Rapat yang digelar di lantai 15 gedung KPK itu diikuti seluruh pemimpin dan deputi. Mereka meriung melingkat di meja leter-U.
Sumber yang mengetahui proses rapat itu memastikan kepada IndonesiaLeaks, Ketua Pimpinan KPK Firli Bahuri dalam rapat tersebut tiba-tiba memunculkan ide agar peraturan komisi nanti memuat TWK sebagai salah satu syarat kelulusan.
Firli beralasan, TWK adalah upaya menyingkirkan kelompok yang dituduh sebagai Taliban. Namun, ia tidak dijelaskan siapa saja Taliban yang dimaksud. "Kalian lupa. Di sini dulu banyak 'Taliban'," kata Sumber itu menirukan kalimat yang diduga dilontarkan Firli dalam rapat.
Untuk diketahui, istilah Taliban merujuk tudingan buzzer mengenai pegawai KPK yang dianggap fundamentalis dalam beragama. Tudingan tersebut sudah dibantah oleh banyak mantan pemimpin KPK. Celetukan itu membikin peserta rapat terhenyak, termasuk keempat wakil Firli. Apalagi, untuk menggelar tes kepada 1.302 pegawai KPK memerlukan dana anggaran yang harus disiapkan jauh-jauh hari.
Lantaran belum terdapat penganggaran untuk tes, maka TWK belum masuk dalam draf final perkom pada 18 Januari 2021. Dalam draf final perkom, persisnya Pasal 5 Ayat 4, hanya tertulis adanya tes asesmen. Selang dua hari, yakni 20 Januari, redaksional ayat draf perkom itu berubah menjadi "asesmen tes wawasan kebangsaan."
Keberadaan TWK dalam draf perkom baru terpastikan pada tanggal 25 Januari pukul 19.00 WIB. Menurut sumber ini, draf TWK diharuskan rampung malam itu juga. Sebab, esok harinya harus diserahkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menurut sumber kepada IndonesiaLeaks, draf perkom diantarkan langsung ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Firli Bahuri bersama wakilnya, Nurul Ghufron.
Kepala Biro Sumber Daya Manusia, Kepala Biro Hukum, dan Sekretaris Jenderal KPK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian atau PPK tak ikut serta. Biasanya, rapat seperti itu cukup dihadiri oleh ketiga komponen PPK. Tentang hal tersebut, juga ada dalam laporan pegawai KPK kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
"Tetapi, khusus rapat harmonisasi terkait perkom alih status pegawai, Ketua KPK hadir sendiri, tanpa ketiga pejabat tersebut, membawa draf perkom yang sudah mengatur Tes Wawasan Kebangsaan," demikian tertulis dalam laporan pegawai KPK ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Keesokannya, 27 Januari, Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara, yang memuat pasal mengenai TWK, disahkan.
Sekretaris Jenderal Wadah Pegawai KPK, Farid Andhika, mengakui pasal tentang TWK baru dimasukkan dalam draf perkom pada hari-hari terakhir sebelum dibawa ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Farid mengatakan, pernah terlibat dalam proses pembahasan draf perkom tentang mekanisme alih status pegawai KPK. Dia mengungkapkan, proses memasukkan TWK dalam peraturan komisi dikebut dalam waktu tidak lebih dari satu minggu. "Tiga hari terakhir (sebelum draf dibawa ke Kemenkumham) kami lihat sebagai hal yang krusial," ujar Farid kepada tim IndonesiaLeaks, Jumat (28/5).
Bantahan Firli
Mengenai dugaan penyelundupan pasal TWK ini, IndonesiaLeaks telah melakukan sejumlah upaya mengonfirmasikannya kepada Firli Bahuri. Termasuk menemui Firli seusai dirinya melakukan dapat dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 3 Mei 2021. Ketika itu, Firli membantah berupaya menyingkirkan sejumlah pegawai lewat TWK. "Tidak ada kaitannya. Orang lulus tidak lulus karena dia sendiri," kata dia.
Setelah itu, tim IndonesiaLeaks berusaha mendapat pernyataan lebih mendalam dari Firli soal dugaan tesebut, dengan mengirimkan surat berisi pertanyaan-pertanyaan. Surat itu dikirimkan ke kantornya dan melalui pesan ke akun WhatsApp-nya.
Firli sempat menjawab pertanyaan mengenai penyelundupan Pasal 5 Ayat 4 tentang TWK, namun dihapus. Dalam pesan WhatsApp yang dihapus itu, Firli sempat menyatakan proses pembahasan peraturan komisi dibahas oleh seluruh pimpinan bersama Sekretariat Jenderal serta beberapa deputi di KPK.
Kejanggalan Dua Dokumen
Kejanggalan Tes Wawasan Kebangsaan bagi pegawai KPK tak hanya terhenti pada mendadaknya pasal yang mengatur hal tersebut dalam draf perkom. Selain hal tersebut, terdapat kejanggalan pada dua berkas dokumen kerja sama KPK dengan BKN terkait pelaksanaan TWK.
Dokumen pertama yang dimaksud adalah Nota Kesepahaman Pengadaan Barang dan Jasa melalui Swakelola antara Sekretariat Jenderal KPK dan Kepala BKN. Sedangkan dokumen kedua yang janggal itu adalah Kontrak Swakelola antara KPK dan BKN.
Nota kesepahaman pengadaan barang dan jasa melalui sistem swakelola tersebut diberi nomor registrasi 97 Tahun 2021. Dalam dokumen itu terdapat tanggal pengesahannya, yakni 8 April 2021, yang diteken sekjen KPK Cahya Harefa dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana.
Dalam nota kesepahaman itu terdapat enam pasal. Pada Pasal 5 huruf 1 tertulis, nota kesepahaman berlaku selama satu tahun tehitung sejak 27 Januari 2021 atau dua bulan sebelum tanggal surat. Nota tersebut berlaku surut karena disesuaikan dengan waktu diterbitkannya Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Status Pegawai KPK Menjadi ASN.
Kepada IndonesiaLeaks, ada tiga pejabat KPK yang membenarkan adanya dokumen tersebut. Mereka mengatakan, nota kesepahaman itu membuktikan TWK lebih dulu digelar sebelum adanya penandatanganan kerja sama KPK - BKN. "Ya seharusnya perjanjian kerja samanya ada lebih dulu, baru digelar tes," kata seorang pejabat yang betul-betul mengetahui urusan TWK.
Pasal 1 dokumen itu tertulis nota kesepahaman ini adalah langkah awal kerja sama penyelenggaraan asesmen tes wawasan kebangsaan dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Penggunaan diksi "langkah awal" pada pasal itu mengesankan dokumen itu seolah-olah yang pertama dibuat oleh KPK dan BKN.
Padahal, dua bulan sebelum nota kesepahaman itu terbit, kedua lembaga tersebut sudah meneken Kontrak Swakelola tentang penyelenggaraan Asesmen TWK dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN. Dalam dokumen ini, tersemat tanggal terbit yakni 27 Januari 2021.
Satu pejabat KPK menginformasikan kontrak swakelola itu diduga dibuat setelah TWK digelar, persisnya 26 April 2021. Untuk diketahui, TWK digelar selama sebulan, yakni 9 Maret sampai 9 April 2021. "Informasi yang kami peroleh adalah tanda tangan faktual tanggal 26 April 2021, tapi diubah menjadi seakan-akan 27 Januari 2021," kata dia.
Informasi tersebut dikuatkan melalui nomor kontrak kedua dokumen. Nota kesepahaman bernomor 97/2021, sementara kontrak swakelola 98/2021. Lazimnya, nomor nota kesepahaman harus lebih dulu mendahului nomor kontrak swakelola. Tapi yang janggal adalah, tanggal pada masing-masing dokumen menunjukkan sebaliknya.
Dalam berkas kontrak swakelola itu terdapat klausul biaya asesmen TWK yang harus dibayar KPK ke BKN sebesar Rp 1.807.631.000. Sekjen KPK Cahya Harefa menolak menjawab saat dimintakan konfirmasi terkait kejanggalan ini. "Tolong dengan jubir (KPK) saja ya," kata Cahya kepada IndonesiaLeaks.
Firli Bahuri dan Juru Bicara KPK Ali Fikri tak merespons saat dikonfirmasi IndonesiaLeaks melalui WhatsApp, telepon, maupun surat. Sementara Kepala BKN Bima Haria Wibisana sempat mengangkat panggilan telepon tim IndonesiaLeaks. Tapi Bima mematikan sambungan telepon, sebelum tim IndonesiaLeaks sempat mengajukan pertanyaan.
Ombudsman RI kekinian mulai bergerak untuk menelisik kemungkinan maladministrasi dalam dua dokumen terkait pelaksanaan TWK tersebut. Komisioner Ombudsman RI Robert Endi Jaweng mengakui tengah mendalami bukti-bukti dugaan malaadministrasi terhadap proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN, termasuk kejanggalan dua dokumen itu.
Ombudsman, kata Robert, telah mengklarifikasi pelapor dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Selanjutnya akan mengklarifikasi BKN. "Semua hal ada atau tidak maladministrasi dalam proses peralihan hendak kita buktikan sejak proses penyusunan regulasi, terutama Peraturan KPK," kata Endi, Jumat, 4 Juni 2021.
Feri Amsari, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas menjelaskan nota kesepahaman bersifat mengikat para pihak-pihak dan memuat kesepakatan. Karena sifatnya yang seperti itu, maka nota kesepahaman tidak boleh berlaku surut lantaran bisa berdampak batal demi hukum. "Masak eksekusi dulu kemudian kerja sama. Perkom TWK bisa batal demi hukum," kata Feri.
Artikel ini merupakan hasil peliputan kolaboratif antara Suara.com, Majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, Tirto.id, KBR.id, Jaring.id, The Gecko Project, dan Independen.id, yang terhimpun dalam IndonesiaLeaks. Suara.com, Tempo, dan Tirto.id sendiri adalah jaringan resmi Sukabumiupdate.com.