SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah berencana menerapkan kebijakan bekerja dari Bali (work from Bali atau WFB) untuk para aparatur sipil negara. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan kebijakan tersebut diambil berdasarkan kesepakatan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dengan Indonesia Tourism Development Corporation.
"Tujuannya adalah memastikan kita bisa berpihak kepada saudara-saudara kita yang sekarang sedang mengalami tekanan yang begitu luar biasa. Dua juta lebih lapangan pekerjaan di Bali terancam," Kata Sandiaga, Senin, 24 Mei 2021.
Dikutip dari laman resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, perekonomian Bali masih tercatat minus pada kuartal II 2021, tepatnya di angka minus 9 persen. Pariwisata, sektor andalan provinsi tersebut, pun seragam. Tingkat hunian kamar hotel berbintang misalnya, berada pada angka 8,99 persen. Sementara hotel non-berbintang hanya 7,7 persen.
Persoalannya, kebijakan tersebut hanya akan memberikan dampak kecil, kata peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance atau Indef, Bhima Yudistira. Penurunan tajam wisatawan jelas tidak bisa digantikan lewat para aparatur sipil negara yang bekerja dan mungkin menggelar rapat-rapat di hotel Bali.
"Kalau mau Bali pulih kuncinya pada pengendalian Covid-19 dan pemulihan mobilitas. Bagaimana turis asing datang kalau rate vaksinasi untuk dua dosis masih di bawah lima persen dari target nasional?" kata Bhima dikutip dari Tirto, Kamis, 27 Mei 2021.
Ketimbang memobilisasi aparatur sipil negara ke Bali yang tak efektif, menurut Bhima pemerintah sebaiknya mengalokasikan uang yang tersedia untuk menyubisidi sektor pariwisata.
Saat ini dana hibah pariwisata sebesar Rp 3,7 triliun atau 0,5 persen dari dana pemulihan ekonomi nasional, padahal menurutnya yang ideal mencapai 10 persen. Selain itu, kebijakan WFB juga tidak sejalan dengan gagasan pemangkasan perjalanan dinas--yang dialokasikan untuk penanganan pandemi.
Pada kuartal I 2021, realisasi perjalanan dinas turun dari Rp 4,9 triliun menjadi Rp 3,1 triliun. Angka tersebut masih cukup besar dan Bhima menilai pemerintah gagal dalam memangkas anggaran. "Pemerintah masih kesulitan untuk mengatur defisit APBN yang lebar sehingga perjalanan dinas selayaknya dipangkas. Dari struktur belanja perjalanan dinas juga terdapat alokasi untuk uang saku bagi ASN," katanya.
Kebijakan tersebut dari sisi epidemiologi pun problematis, kata epidemolog Indonesia dari Griffith University Dicky Budiman. "Tidak realistis ketika datangkan orang ke sana. Situasi Indonesia secara keseluruhan dan Jawa-Bali meledak jadi episenter," kata Dicky.
Dicky mengingatkan Bali tidak memenuhi standar WHO (organisasi kesehatan dunia) dalam kewajiban tes minimal 1 per 1.000 orang per minggu. Tes yang tak memenuhi standar membuat situasi pandemi tidak bisa dilihat secara utuh. Sangat mungkin ada kasus-kasus yang tak terdeteksi dan pada akhirnya menularkan virus. "Berbahaya sekali untuk melakukan skenario-skenario seperti ini di tengah belum validnya situasi Bali."
Belum lagi dengan mempertimbangkan adanya varian baru Covid-19 yang cepat menyebar seperti B117 dari Inggris dan B1617 Afrika Selatan. Atas dasar itu semua Dicky menyarankan pemerintah fokus pada penanganan Covid-19 selama 1-3 bulan ke depan dan mitigasi ledakan kasus daripada mengedepankan pemulihan ekonomi.
"Jangan berpikir pemulihan dulu karena kalau ledakan terjadi yang kita harapkan--pemulihan-pemulihan itu--enggak ada karena banyak korban," ujar Dicky.
Epidemolog dari Universitas Udayana I Made Ady Wirawan juga menyarankan hal serupa. "Situasi pandemi di Bali belum terkendali dengan baik meskipun sektor pariwisata sudah menyiapkan diri dengan program CHSE," kata Wirawan.
Wirawan mengatakan tes di Bali masih belum memenuhi standar WHO, angka taksiran masih 0,3-0,5 dengan positivity rate berada di angka 40-60 persen. Pelacakan dan isolasi pun demikian. Penelusuran kontak hanya pada 3-5 orang per kasus konfirmasi padahal target ideal adalah 1:20-30 orang.
Karena pembacaannya sama, maka solusi yang ia tawarkan pun serupa dengan Dicky: "Fokus harusnya pada penanganan pandemi dulu. Kalau pengendalian baik, kepercayaan internasional akan mengikuti secara otomatis."