SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Abdul Rachman Thaha mengkritik rencana Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) yang akan menerbitkan e-KTP (elektronik KTP) untuk transgender. Menurutnya, rencana itu akan berdampak besar bagi masyarakat.
"Ini mengarah ke pengesahan atau legalitas bagi apa yang kaum LGBT sebut sebagai jenis kelamin non-binary," ujar Abdul dalam keterangan tertulis, Ahad, 25 April 2021.
Menyalin tempo.co, Abdul mengatakan pencantuman jenis kelamin transgender pada e-KTP rawan dimanfaatkan para pelakunya sebagai pengakuan dan alat propaganda. Ahmad khawatir para pelaku ganti kelamin itu berkampanye bahwa menjadi transgender bukan lagi masalah di Indonesia.
Dibanding mengganti kolom tersebut, Abdul menyarankan Kemendagri belajar pada kasus yang baru terjadi pada Aprilia Manganang yang merupakan anggota TNI AD. Aprilia saat itu sempat mengalami ambiguitas jenis kelamin akhirnya mendapat penetapan dari pengadilan sebagai lelaki dari yang sebelumnya perempuan.
Dengan cara ini, Abdul mengatakan masalah jenis kelamin para transgender akan selesai dan tidak ada istilah transgender atau kelamin ganda. "Begitu pula jika merujuk UU Kependudukan. Eksplisit UU tersebut menyebut dua kelamin saja," ujar Abdul.
Sebelumnya dalam keterangan pers Pusat Penerangan Kemendagri, Sabtu kemarin, Kemendagri akan membuat e-KTP untuk transgender. Rencana itu disampaikan lewat rapat virtual Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri dengan Perkumpulan Suara Kita.
"Dukcapil seluruh Indonesia akan membantu teman-teman transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan," kata Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh.
Zudan mengatakan sudah menunjuk pejabat pelaksana yang akan membantu sepenuhnya mengkoordinasikan para transgender mengurus dokumen kependudukannya dengan mudah.
Sementara itu menurut Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo, banyak transgender yang tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti KTP-el, KK, dan akta kelahiran. Kondisi ini mempersulit mereka mengakses layanan publik lain, seperti bidang kesehatan untuk mengurus BPJS Kesehatan, mendapat bantuan sosial, dan lainnya.
SUMBER: TEMPO.CO