SUKABUMIUPDATE.com - Menulis Jurnalisme naratif menjadi salah satu ciri khas yang disajikan oleh Tempo sejak pertama kali terbit. Dalam perayaan ulang tahun ke-50 Tempo tahun ini, Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Arif Zulkifli membagikan beberapa cara menulis naratif ala Tempo yang selama ini dijalankan.
Dilansir dari Tempo.co, Azul, sapaan Arif Zulkifli, mengatakan yang terutama dalam menulis laporan jurnalistik naratif adalah reportase. Seorang wartawan, kata dia, harus berusaha menggambarkan suatu peristiwa senyata mungkin dengan tulisan yang mengalir.
"Wartawan harus menggunakan inderanya untuk menangkap hal yang lain (dalam suatu peristiwa). Misal perdebatan DPR, dia tak akan duduk di atas bersama wartawan lain. Dia akan blusukan, duduk di belakang panggung, untuk mendapatkan sense peristiwa itu," kata Azul dalam diskusi bertema "Resep dari Dapur Tempo", yang disiarkan secara daring di YouTube Tempo, Rabu, 3 Maret 2021.
Ia mengatakan semakin detail peristiwa dideskripsikan maka akan semakin meyakinkan dan akurat laporan tersebut bagi pembaca. Bahkan, ia mencontohkan detail seperti kucing yang lewat saat terjadi perdebatan, bisa menjadi sangat membantu menguatkan penulisan.
"Itu terdengar sederhana, tapi harus bisa menggambarkannya dengan bagus. Soalnya bisa jadi lebay kalau itu tidak relevan. Jadi reportase harus detail dan kedua relevan," kata Azul.
Ia mengatakan seorang wartawan harus pintar dalam mengukur relevansi suatu detail dalam peristiwa terhadap objek liputannya. Di Tempo, ia mengatakan wartawannya kerap dilatih untuk melakukan reportase dan belajar mengamati keadaan serta sekelilingnya.
"Tak hanya ahli wawancara atau ngejar orang dalam preskon. Dia harus belajar duduk diam dan melihat," kata Azul.
Menulis secara naratif, kata Azul, tak mengharuskan wartawan memiliki dasar pendidikan sastra. Meski masa awal Tempo diisi oleh sastrawan seperti Goenawan Mohamad hingga Syubah Asa, namun pasca pembredelan pada 1998 banyak wartawannya yang tak berlatar belakang sastra.
Konsep Tempo yang memiliki outlet berupa majalah, membuat ruang tulisan naratif menjadi lebih terbuka. Ruang yang lebih luas dan deadline yang lebih panjang dibanding berita harian ataupun berita daring, membuat jurnalisme naratif bisa tetap dijaga di Tempo.
Azul mengatakan kemampuan reportase ini harus diasah juga dengan latihan menulis dan juga membaca. Hal ini diperlukan karena saat ada di satu tempat, Azul mengatakan, sebenarnya ada jarak antara objek yang digambarkan dan hasil tulisannya.
"Tak bisa 100 persen. Bagaimana mendekatkan antara objek dengan tulisan kita. Jembatannya macam-macam. Salah satunya reportase," kata Azul.
Cara lain adalah dengan menggunakan metafora. Meski metafora lebih banyak digunakan para penulis fiksi, namun di jurnalisme naratif hal ini bisa diterapkan. Tapi Azul mengingatkan penggunaan metafora dalam jurnalisme naratif tak boleh setitik pun mengandung fiksi. "Itu haram karena kebenaran itu suci dalam jurnalistik," kata dia.
Meski begitu, dia mengatakan dalam jurnalisme naratif wartawan harus bisa menggambarkan suasana yang mencekam, mengharu biru, atau bahkan romantis, secara baik tanpa mengandung fiksi. Ia mencontohkan pengalamannya saat menuliskan suasana hujan di Pantai Barat Aceh, enam bulan setelah Tsunami menyerang wilayah itu pada 2004.
Saat itu, ia menunggu kapal yang akan mengangkut mobilnya, hujan turun. Azul mencoba menggambarkan hal itu dalam laporannya saat telah tiba di Jakarta. Namun ia kebingungan mencari kalimat yang tepat tanpa harus menjadi klise.
"(Kemudian) saya teringat sajak Chairil Anwar yang judulnya Senja di Pelabuhan Kecil, yang baitnya adalah 'gerimis mempercepat kelam'. Itu kata yang kuatnya minta ampun. Menjelang magrib, mendung, hujan turun, dan suasana jadi gelap. Menyebut itu, bagi pembaca Chairil akan tahu itu adalah frasa milik Chairil dan pas (dengan situasi saat itu)," kata Azul.
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini mengatakan di tengah banyaknya media daring yang mengandalkan kecepatan dalam pemberitaan, jurnalisme naratif semakin sedikit mendapat sorotan. Namun ia meyakini jurnalisme naratif akan tetap bertahan dan harus terus didorong untuk dilakukan.
Azul kemudian mengutip ucapan Goenawan Mohamad, salah satu pendiri Tempo, terkait dengan perkembangan jurnalisme saat ini. Goenawan mengumpamakan berita cepat, seperti air yang berkecipak di atas sungai. Dia bergerak cepat, berbuih, meletup, ciprat sana sini, tapi dia tak mengendap.
"Tulisan naratif, tulisan panjang, dia adalah tulisan di dasar sungai. Dia jadi sedimen di sungai itu. Suatu saat dia bisa muncul lagi kalau memang dianggap perlu. Dan itu meninggalkan bekas yang mendalam bagi pembacanya. Itu yang kita harapkan dari tulisan-tulisan di Tempo," kata Azul.
Sumber: Tempo.co