SUKABUMIUPDATE.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta pemerintah memprioritaskan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Kami meminta pemerintah memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi antara lain UU ITE," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis, Rabu (17/2/2021), seperti dikutip dari Suara.com.
Menurut Isnur, rencana pemerintah untuk mengajukan revisi UU ITE yang kedua kalinya perlu disambut baik. Sebab, UU tersebut dinilai menjadi salah satu ancaman kebebasan berpendapat.
Berdasarkan data YLBHI, sepanjang 2020 tercatat ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kasus ini mencakup wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.
"Kasus-kasus tersebut didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum," tambah Isnur.
Menurut data YLBHI, terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan sebanyak 26 persen, dan pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa 25 persen.
Kemudian terjadi juga pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital 17 persen, pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi 16 persen, serta pelanggaran terhadap data pribadi 16 persen.
Isnur memaparkan, data LBH-YLBHI menunjukkan kasus penangkapan sewenang-wenang tinggi mencakup 3.539 orang. Menurutnya, sebagian besar kasus ini terjadi ketika aksi penolakan omnibus law Cipta Kerja. Padahal angka ini hanya yang didampingi dan di 17 Provinsi.
"Penangkapan besar-besaran ini menunjukkan bahwa seolah-olah demonstrasi adalah kegiatan terlarang seperti di zaman orde baru," tambah Isnur.
Ia melanjutkan, hal tersebut diperparah dengan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan Konstitusi dan UU. Contoh kebijakan tersebut yakni surat telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.
Ada juga Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menghadapi aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Terbaru ada SKB 11 kementerian dan lembaga terkait penanganan radikalisme dan penguatan wawasan kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara ASN.
Sumber: Suara.com