SUKABUMIUPDATE.com - Pernyataan Presiden Jokowi yang meminta publik aktif memberi kritik kepada pemerintah dinilai kontradiktif dengan apa yang terjadi selama ini. Peran buzzer pun tidak luput dari pembahasan tersebut karena dianggap menambah keruwetan iklim demokrasi di Indonesia.
Saat itu, Senin, 8 Februari 2021 Jokowi mengatakan bahwa masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi kepada pemerintah. Ia juga meminta agar para penyelenggara pelayanan publik meningkatkan upaya-upaya perbaikan. Hal itu dikatakannya saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran laporan tahunan Ombudsman Republik Indonesia tahun 2020 melalui video.
Tak hanya itu, dalam peringatan Hari Pers Nasional, Jokowi juga menyinggung soal ruang diskusi dan kritik. Pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta itu kemudian diperkuat oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menyebut, sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan pers wajib dijaga. Ia mengatakan bahwa sebagai negara yang demokratis, kebebasan pers merupakan tiang utama untuk menjaga demokrasi itu tetap berlangsung.
Sejumlah kalangan langsung menanggapi pernyataan tersebut dan menganggap apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo merupakan hal yang kontradiktif dengan kenyataan yang selama ini terjadi di masyarakat. Banyak pihak yang mengkritisi kebijakan pemerintah, namun pada akhirnya dipolisikan dengan peraturan karet yang tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Melansir dari Tempo, Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia atau KedaiKOPI Hendri Satrio menilai bahwa ajakan Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik seharusnya diikuti dengan inisiatif untuk merevisi UU ITE. "Pak Jokowi kan sudah memaparkan niat baik yang sangat bagus. Harus diikuti dengan inisiatif merevisi UU ITE," kata Hendri, Jumat, 12 Februari 2021.
Hendri menuturkan, UU ITE kerap digunakan untuk menjerat pihak yang mengkritik pemerintah. Bahkan dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS per Oktober 2020, terdapat 14 orang yang diproses hukum dalam 10 peristiwa kritik terhadap Jokowi. Kemudian ada pula 25 orang yang diproses dari 14 peristiwa kritik terhadap Polri. Lalu ada proses hukum terhadap 4 orang yang mengkritik pemerintah daerah dalam 4 peristiwa yang berbeda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ITE.
Persoalan UU ITE ini pun mendapat tanggapan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia mengatakan bahwa pasal karet dalam UU ITE memang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi.
"Pasal-pasal yang dianggap karet di dalam UU ini tentunya berpotensi untuk kemudian digunakan untuk melaporkan atau saling melapor, atau lebih dikenal dengan istilah mengkriminalisasikan," ucap Sigit pada Senin, 15 Februari 2021. Oleh karena itu, ia memerintahkan kepada seluruh penyidik agar lebih selektif dalam menerima laporan masyarakat yang berkaitan dengan UU ITE.
Namun polemik kritik terhadap pemerintah tampaknya tidak berhenti pada persoalan pasal karet dalam UU ITE. Sebab, serangan kepada pengkritik pemerintah saat ini tidak hanya datang dari segi hukum, namun juga bersifat pribadi di media sosial melalui buzzer.
Hal itu senada dengan cuitan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (1999-2000) era Presiden Gus Dur, Kwik Kian Gie. Pada 6 Februari 2021, Ia meluapkan keluh kesahnya tersebut di akun twitternya @kiangiekwik.
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yg berbeda dng maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis2an, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik2 tajam. tidak sekalipun ada masalah," tulisnya. Lalu sebenarnya siapa buzzer ini?
Negara dalam Pusaran Buzzer
Dalam laporan Centre for Innovation Policy and Governance atau CIPG pada tahun 2017 dikatakan, semula keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal biasa yang sering dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk.
Tetapi perkembangan media sosial di Indonesia yang berlangsung cepat menjadi daya tarik tersendiri dan menciptakan pasar untuk meraup keuntungan, baik secara ekonomis maupun politis.
Peluang tersebut lantas dimanfaatkan oleh berbagai aktor, mulai dari industri periklanan hingga para pemain politik. Mereka menyuarakan kepentingannya dengan kicauan berbayar, yang konon katanya pengicaunya ini merupakan pihak berpengaruh yang akhirnya dikenal dengan istilah buzzer.
Pemaknaan buzzer menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata publik. Maka sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Buzzer sendiri merupakan individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan yang kemudian bergerak dengan motif tertentu. Mereka juga biasanya memiliki jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks dan cukup persuasif.
Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama adalah motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua adalah motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
CIPG menilai, gaduhnya sejumlah pemilihan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang diwarani dengan penyebaran informasi palsu dan polarisasi masyarakat merupakan cermin dari besarnya pengaruh buzzer dalam membentuk skema percakapan di dunia media sosial. Fenomena buzzer ini juga dinilai telah mengaburkan batas antara voice (suara warga) dan noise (kondisi bising).
Mengutip dari Tirto, pola perekrutan buzzer sendiri berawal dari pemantauan akun aktif di media sosial seperti retweet, share, dan like. Setelah itu, akun aktif tersebut diseleksi dan dimasukkan ke dalam obrolan grup yang biasanya memanfaatkan aplikasi WhatsApp atau Telegram.
Selanjutnya, dilakukan penyeleksian terhadap akun yang paling aktif di obrolan grup pertama lalu dimasukkan ke dalam obrolan grup kedua. Selepas rangkaian itu dilakukan, individu dengan akun yang paling aktif dan telah terseleksi dari dua obrolan grup itu melakukan pertemuan tatap muka dengan koordinator buzzer.
Namun ada juga pola perekrutan lain, seperti melalui agensi atau biro komunikasi untuk memetakan dan mencari akun buzzer yang sesuai dengan kebutuhannya. Atau bisa pula mengumumkan lowongan untuk menjadi buzzer produk atau isu tertentu.
Setelah berhasil direkrut, buzzer ini kemudian menjalankan strategi, yakni berkicau dengan tagar dan membangun ruang percakapan, baik secara alami maupun rekayasa. Kemudian mereka membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatkan kredibilitas konten yang diproduksi. Tak lupa, mereka juga memanfaatkan jaringan aplikasi pesan singkat dalam menyebarkan konten tersebut.
Keberadaan buzzer di kancah politik semakin diakui ketika pada 2019 lalu, lebih dari selusin anggota tim buzzer, konsultan media sosial, dan pakar dunia maya menggambarkan serangkaian operasi media sosial yang mereka lakukan untuk menyebarkan propaganda atas nama Jokowi dan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden.
Dalam wawancaranya bersama Reuters, satu pihak membantah menyebarkan berita palsu dan dua lainnya mengatakan mereka tidak peduli dengan keakuratan konten yang disebarkan. Meskipun pada akhirnya kedua tim kampanye, baik Jokowi maupun Prabowo membantah menggunakan buzzer atau menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi kampanye mereka.
Pakar politik dan media di Universitas Nasional Australia, Ross Tapsell mengungkapkan bahwa telah menjadi hal yang biasa bagi kandidat di Asia Tenggara untuk mempekerjakan ahli strategi kampanye online, yang pada gilirannya memanfaatkan sekumpulan orang untuk menyebarkan konten di media sosial.
Fenomena pemanfaatan buzzer politik untuk mengubah opini publik dan menyudutkan lawan juga ternyata menjadi masalah global. Hal itu terungkap dalam hasil penelitian Universitas Oxford yang bertajuk The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.
Laporan tersebut menyoroti sejumlah cara yang dilakukan pemerintah, lembaga, dan partai politik yang telah menggunakan media sosial untuk menyebar propaganda politik, mencemari ekosistem informasi digital, dan menekan kebebasan berbicara dan kemerdekaan pers di sekitar 70 negara, termasuk Indonesia.
Laporan ini akhirnya mengungkap bahwa di setiap negara, setidaknya ada pihak atau lembaga pemerintah yang menggunakan media sosial untuk membentuk sikap publik di dalam negeri. Media sosial sendiri telah dikooptasi oleh banyak orang dalam rezim otoriter.
Penggunaan buzzer atau propaganda digital tersebut bertujuan sebagai alat kontrol informasi dalam tiga cara berbeda: untuk menekan hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat.
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Kehadiran kelompok buzzer ini tanpa disadari telah mencederai demokrasi digital. Perdebatan dangkal antar-buzzer yang masing-masing memakai teknik black propaganda tidak saja merugikan publik, namun juga mengancam masa depan demokrasi Indonesia yang mengarah pada demokrasi penuh caci maki.
Kekhawatiran soal ancaman masa depan demokrasi di tengah pusaran buzzer ini juga telah dilontarkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Asfinawati pada Agustus 2020 lalu. Ia mengatakan bahwa langkah pemerintah yang diduga memanfaatkan jasa influencer hingga pendengung atau buzzer mengancam sistem demokrasi Indonesia.
Asfinawati mengungkapkan bahwa demokrasi merupakan sistem dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Oleh karena itu, suara rakyat menjadi elemen paling penting di dalamnya dan dalam kondisi tersebut, buzzer yang banyak didukung oleh bot, tidak merefleksikan suara rakyat.
Dalam iklim demokrasi, kritik merupakan sesuatu yang sangat diperlukan sebagai bagian dari check and balance. Namun keberadaan buzzer ini mau tidak mau menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Indonesia.
Sinyal kemerosotan demokrasi di Indonesia sendiri telah terlihat dalam laporan Indeks Demokrasi 2020 yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit atau EIU. Tahun 2020 lalu Indonesia tercatat menduduki peringkat 64 dunia dengan skor 6.30.
Meskipun dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya 6.48. Ini adalah angka terendah yang didapat Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir sejak 2006. Hasil tahun 2020 lalu itu membawa Indonesia masuk sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Ada lima indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara, antara lain proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
EIU memberikan skor 7.92 untuk proses pemilu dan pluralisme di Indonesia. Kemudian fungsi dan kinerja pemerintah mendapatkan skor 7.50, partisipasi politik memperoleh skor 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59. Untuk di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia sendiri berada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.