SUKABUMIUPDATE.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK memberikan tujuh catatan yang perlu diperbaiki oleh calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Tujuh catatan itu adalah pekerjaan rumah yang mesti diperbaiki oleh Listyo terkait kerja kepolisian.
Dikutip dari Tempo.co, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan catatan pertama adalah soal penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian.
Praktik penyiksaan, kata Edwin, masih menjadi catatan masyarakat sipil. Tindak brutalitas oknum polisi merujuk data KontraS, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, terdapat 62 kasus penyiksaan.
Pelaku dominan oknum polisi dengan 48 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban tewas.
"Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan Peristiwa KM 50, yang menewaskan 6 orang laskar FPI. Rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya Kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya," ujar Edwin, Ahad, 17 Januari 2021.
Menurut Edwin, umumnya kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana.
"Publik mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya. Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan," tutur Edwin.
Catatan kedua LPSK adalah mengenai penanganan kasus penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Menurut Edwin, catatan yang menjadi sorotan dalam perkara ini adalah sikap imparsialitas polisi dalam menindak pelaku tanpa memandang afiliasi politik.
"Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah, sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya," tutur Edwin.
Ketiga, yaitu cara polisi mengedepankan restorative justice. Dia mengatakan penjara sudah penuh. Situasi tersebut, kata dia, membuat polisi harus menggunakan pendekatan restorative justice sebagai penyelesaian tindak pidana.
Keempat adalah isu korupsi di tubuh kepolisian. Edwin mencontohkan kasus Djoko Tjandra yang menyeret dua jenderal polisi menjadi tersangka. Dia bilang praktek suap dan pungutan liar masih dikeluhkan masyarakat ketika berurusan dengan polisi. Dia bilang Kapolri baru harus memperbaiki kondisi itu.
"Menjadi tugas Kapolri agar pelayanan dan proses hukum di tubuhnya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik," ujarnya.
Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional. Pada masa pandemi, catatan LPSK di 2020 terdapat 245 permohonan atas kasus ini, menurun 31,75 persen dibandingkan 2019.
Model yang berkembang dalam kejahatan dari grooming hingga pemerasan. Namun, banyak pelaku disebabkan terpengaruh konten pornografi di sosial media. "Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya," kata Edwin.
Keenam, dia mengatakan calon Kapolri perlu memperbaiki kerja sama antara polisi dengan penegak hukum lain seperti KPK, Kejaksaan Agung dan LPSK. Catatan terakhir, kata Edwin, adalah strategi Polri dalam meningkatkan keamanan di beberapa zona yang rawan tindak kekerasan seperti Sulawesi Tengah dan Papua.
Menurut dia, satu sisi perlu memperhatikan strategi untuk melindungi masyarkat, sekaligus melindungi keamanan anggotanya dengan memberikan perlengkapan dan kesejahteraan bagi personel yang diterjunkan ke daerah konflik tersebut.
Terakhir, LPSK berharap Polri bisa mengurai strategi dan meningkatkan keamanan di daerah zona terorisme di Sulawesi Tengah dan kelompok kekerasan bersenjata di Papua.
Di sisi lain, Edwin menilai, calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo juga harus meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas zona merah. Langkah yang bisa dilakukan ialah dengan memberikan reward, perlengkapan teknologi, kendaraan dan waktu penugasan dengan mempertimbangkan situasi psikologis anggota yang berdinas di zona merah.
Sumber: Tempo.co