SUKABUMIUPDATE.com – Peneliti Kemendikbud melakukan survei kepada 15 ribu anak di soal rencana sekolah tatap muka pada Januari 2021 mendatang. Hasil survei menunjukkan mayoritas psikologis siswa normal selama proses belajar dari rumah karena pandemi Covid-19.
Dikutip dari tempo.co, berdasarkan hasil itu, pelaksanaan pendidikan tatap muka di sekolah sebenarnya dapat ditunda sampai wabah Covid-19 terkendali, ketimbang membukanya kembali per awal semester genap 2020/2021 pada Januari depan.
“Hasil yang diperoleh berdasarkan hasil survei daring yang dilakukan dalam penelitian ini menggambarkan kualitas psikologis siswa normal selama BDR (belajar dari rumah)," kata Ais Irmawati dari Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam paparan secara daring di Jakarta, Selasa 8 Desember 2020.
Selain Ais, terlibat dalam penelitian tersebut adalah Sri Fajar Martono, Asri Joko Surono, dan Noviyanti. Mereka melibatkan 15.911 siswa SD hingga SMA di 12 provinsi sebagai responden. Penelitian tersebut dilakukan dengan fasilitas survei daring dengan artian responden yang dapat mengisi kuisioner hanyalah mereka yang mempunyai akses internet baik di rumah dan sekolah.
Di antara responden itu, 73,26 persen tidak mempunyai Kartu Indonesia Pintar yang menunjukkan bahwa mayoritas responden termasuk berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Mereka, sebanyak 75 persen, melakukan belajar dari rumah, 22 persen campuran dengan tatap muka, dan tiga persen sisanya menggunakan tatap muka sepenuhnya.
Sebanyak 52 persen responden menyebutkan merasa tidak didampingi dalam proses belajar yang dijalaninya itu. Sisanya, 20 persen didampingi ibu, dan 15 persen didampingi anggota keluarga lainnya, dan 13 persen yang didampingi ayah, ibu, dan campuran ayah dan ibu serta kerabat lainnya.
Meski kondisi kejiwaannya dianggap normal, bukan berarti anak-anak itu tak menemukan kendala dalam metode belajar dari rumah itu. Hambatan yang terungkap adalah kurang konsentrasi, kurang komunikasi dengan guru, rasa bosan, kendala jaringan atau kuota internet, dan komunikasi dengan teman.
Survei juga mengungkap bahwa selama belajar dari rumah atau pendidikan jarak jauh, guru merasakan kendala jaringan atau kuota internet. Mereka juga sulit mengamati perkembangan siswa, sulit berkomunikasi dengan orang tua, kemampuan TIK, dan kurang komunikasi.
"Sedang pada orang tua, kendalanya adalah sulit memahami pelajaran anak, kelelahan, kendala jaringan kuota atau jaringan internet, komunikasi dengan guru, dan kurang konsentrasi."
Dari hasil penelitian tersebut, Ais menjelaskan bahwa segera membuka sekolah pada Januari mendatang bukan keputusan yang tepat--sekalipun Mendikbud Nadiem Makarim telah memutuskan akan mengizinkannya jika pemda, sekolah dan orang tua murid menginginkannya. Ais dkk berharap peristiwa sebuah SMK di Semarang, Jawa Tengah, di mana ratusan siswanya positif Covid-19 tidak terulang.
Pembukaan sekolah, dituturkannya, perlu mempertimbangkan wawasan mengenai prosedur pembelajaran tatap muka, pendataan warga sekolah, pencegahan dan penanganan Covid-19, serta kondisi kerentanan guru dan siswa. "Sehingga kesiapan sarana kesehatan dan kebersihan, serta kebiasaan menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun,” kata dia.
Sejumlah rekomendasi dari hasil penelitian tersebut yakni bila pelaksanaan belajar dari rumah akan diperpanjang, hendaknya pemerintah dapat mengurai hambatan yang dihadapi semua pihak. Mulai dari dinas pendidikan berkoordinasi dengan penyedia sarana-prasarana pembelajaran baik secara daring maupun luring.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan juga hendaknya menyelenggarakan pelatihan pembelajaran secara daring yang interaktif. Sedang sekolah dapat memberi peningkatan kapasitas kepada orang tua sebagai proses pembelajaran di sekolah.
"Sekolah juga perlu membantu orang tua untuk memberikan pendampingan psikologis kepada peserta didik selama belajar di rumah maupun nanti ketika pembelajaran tatap muka sudah dimulai."
Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan pada 20 November lalu mengizinkan sekolah dibuka kembali tanpa syarat zonasi pandemi. Termasuk dalam pertimbangannya adalah kekhawatiran akan dampak negatif penyelenggaraan pembelajaran atau pendidikan jarak jauh (PJJ) berkepanjangan yang bisa menjadi permanen jika dibiarkan. Mulai dari kemungkinan putus sekolah, keadaan psikologis siswa, potensi kehilangan pembelajaran pada satu generasi, sampai meningkatnya tindak kekerasan rumah tangga.
SUMBER: TEMPO.CO