SUKABUMIUPDATE.com - Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan kendala yang paling menghambat penerapan Undang-Undang Pengadilan HAM bukanlah teknis hukumnya. Namun yang menjadi kendala adalah tak adanya political will. Hal itu disampaikan Choirul Anam dalam webinar, Senin, 23 November 2020.
Anam menceritakan, setelah Komnas HAM bertemu Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, ia pun bertemu dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus untuk menindaklanjuti perintah Jokowi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Dalam pertemuan dengan Jampidsus, Anam mengatakan bahwa berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM banyak dikritisi Jampidsus karena banyak kekurangan, seperti visum. Padahal, hal tersebut tidak memungkinkan bagi korban pada masa lalu. "Enggak mungkin secara rasional ada visum," katanya, seperti dikutip dari Tempo.co.
Selain itu, Anam menyebut resistensi informasi dari visum hanya 6 tahun. Sedangkan kasus-kasus pelanggaran HAM umurnya bisa lebih dari 6 tahun, bahkan 15-20 tahun. Anam menilai, meminta visum ke Komnas HAM sama saja meminta untuk menutup kasus tersebut.
"Itu satu alasan yang saya simpulkan untuk mengulur waktu, sehingga kasus tidak ditangani dengan baik. Itu yang kendala," ujarnya.
Kendala serius lainnya, Anam mengatakan bahwa status Jaksa Agung dalam UU Pengadilan HAM masih abu-abu. Misalnya, mengenai pembentukan tim penyidik Jaksa Agung. "Apakah ketika berkas kami kirimkan baru mereka buat tim penyidik?"
Dalam pelaksanaannya, Anam mengungkapkan bahwa Jaksa Agung justru sudah melakukan penilaian ketika berkas penyelidikan diserahkan. Padahal, tidak jelas statusnya sudah penyidik atau bukan saat mengembalikan berkas. Menurut Anam, peluang Jaksa Agung memberikan penilaian itu ada di dalam UU Pengadilan HAM.
"Dia dikatakan penyidik, tapi tidak melakukan upaya-upaya penyidikan, tapi membaca dokumen Komnas HAM dan memberikan petunjuk pada Komnas HAM," kata Anam.
Sumber: Tempo.co