SUKABUMIUPDATE.com - Pakar hukum Universitas Al-Azhar, Suparji Ahmad, menilai keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengganggu iklim demokrasi di Indonesia.
"Jelas telah mengganggu iklim demokrasi di Indonesia karena daya kritis orang menjadi tidak ada. Check and balance tidak terjadi, oposisi tidak terbangun dengan baik," kata Suparji dalam webinar Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Kamis, 12 November 2020, seperti dikutip dari Tempo.co.
Suparji menjelaskan hal itu terjadi karena adanya legislative error atau kesalahan pada proses penyusunan legislasi. UU ITE seharusnya untuk transaksi elektronik. Namun, kata Suparji, aturan tersebut kini dijadikan alat politik.
"Kenapa jadi alat politik? Karena menggabungkan transaksi elektronik dan informasi elektronik. Jadi ada kesalahan sejak lahir," ujarnya.
Selain itu, Suparji juga menyebut sejumlah pasal karet dalam UU ITE, yakni Pasal 27, 28, dan 29 yang multitafsir menjadikan UU ITE dijadikan alat politik. Pasal abu-abu tersebut dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan rumusan yang jelas.
Sehingga, Suparji mengatakan, tidak heran jika UU ITE menjadi undang-undang yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi.
Faktor lainnya, Suparji menyampaikan, bahwa penegak hukum di Indonesia tidak independen dan cenderung beraroma politik.
"Sehingga profesionalitas integritas menyebabkan situasi penegakan hukum UU ITE mengganggu demokrasi," katanya.
Menurut Suparji, menguji UU ITE ke Mahkamah Konstitusi tidak akan menyelesaikan persoalan. Demikian juga dengan legislative review dianggap tidak memberikan perbaikan signifikan.
Karena itu, Suparji menyarankan agar advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kasus yang menyangkut UU ITE bisa lebih profesional agar undang-undang tersebut berada di jalur yang benar dalam koridor hukum demokratis.
Sumber: Tempo.co