SUKABUMIUPDATE.com - Guru besar hukum agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Maria SW Sumardjono menilai UU Cipta Kerja tak akan bisa menarik investor 'putih' tanpa adanya evaluasi menyeluruh persoalan korupsi pada proses layanan pertanahan di Indonesia.
Maria mengingatkan data global competitiveness mencatat korupsi masih menjadi hambatan terbesar investasi di Indonesia. "Bagaimana undang investor kalau tidak clean, tidak bersih," kata Maria dalam diskusi virtual, Rabu, 4 November 2020, sebagaimana dikutip dari Tempo.co.
Maria membeberkan, potensi korupsi dalam layanan pertanahan sangatlah besar. Sebab, kata dia, pelayanan di bidang pertanahan sangat banyak. Maria mengatakan setiap tahapan memungkinkan terjadinya korupsi berupa penyuapan atau pungutan liar.
Maria mengatakan ia dan timnya pernah meneliti sistem penetapan hak atas tanah, yakni Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang kemudian diterbitkan KPK pada 2013. Penelitian menyimpulkan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang muncul karena situasi dan kondisi.
Orang terlibat korupsi, kata Maria, karena risikonya kecil. Hukuman atas korupsi cenderung sedang saja, di sisi lain keuntungannya besar. "Jadi korupsi itu crime of calculation, ada perhitungan kena enggak, dilindungi enggak," kata Maria.
Di bidang pertanahan, lanjut Maria, korupsi lawan dilakukan lantaran penetapan hak atas tanah memerlukan proses panjang. Dalam setiap tahapan bisa terjadi pungutan liar dan penyuapan. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai barang, uang tunai, hingga fasilitas.
"Besarannya mengerikan kalau denger-denger dari pengusaha besar, bisa seribu kali lipat dari pengurusan biaya formal, bisa sekian persen dari nilai investasi," kata Maria.
Maria lantas membeberkan survei penilaian integritas yang baru saja diterbitkan KPK. Dari 27 kementerian, kata dia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menempati peringkat ke-26. "Skor integritas untuk ATR/BPN nomor dua dari bawah," ujar dia.
Dari skor 1 hingga 5, Maria melanjutkan, ATR/BPN menempati peringkat 2 untuk keberadaan calo, peringkat 3 untuk gratifikasi, peringkat 2 untuk suap kebijakan promosi dan mutasi, dan peringkat 1 untuk kebijakan peningkatan kualitas SDM. "Cocok toh dengan ketakutan investor," kata Maria.
Kemudian dari responden eksternal, Maria mengatakan ATR/BPN menempati peringkat 3 untuk praktik pemerasan uang, peringkat 1 untuk praktik pemerasan barang, dan peringkat 1 untuk pemerasan dalam bentuk fasilitas.
"Praktik penyuapan BPN ATR peringkat satu. Kenapa disebutkan, ya kita perlu refleksi, kalau kita undang investor tapi masih business as usual, gimana investor putih akan datang," ucap Maria.
Tanpa evaluasi sungguh-sungguh untuk pelayanan yang lebih profesional dan bersih, Maria menilai aturan pertanahan dalam UU Cipta Kerja percuma. Ia menduga aturan itu hanya akan menggaet investor hitam.
Jika ditarik mundur dari sisi substansi pun, Maria menilai klaster pertanahan dalam UU Cipta Kerja aneh. Sebab aturan-aturan itu tiba-tiba muncul tanpa merujuk aturan sebelumnya untuk diubah.
"Jadi ini bikin sendiri di luar sistem, bertentangan dengan UUPA, bertentangan dengan putusan MK," kata Maria.
Sumber: Tempo.co