SUKABUMIUPDATE.com -Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid, mengecam sikap Presiden Perancis Emmanuel Macron yang membiarkan penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan mengutuk segala kekerasan yang timbul sebagai akibatnya. Hidayat menilai, alasan Presiden Macron bahwa kartun yang menistakan Nabi Muhammad sebagai bentuk kebebasan berekspresi tidaklah tepat.
Menurutnya, Macron semestinya mementingkan kemaslahatan umum dengan mengikuti keputusan Peradilan HAM Eropa pada 25 Oktober 2018 yang menetapkan bahwa penistaan agama dan tokoh agama bukanlah bentuk kebebasan berbicara dan berekspresi. Keputusan peradilan HAM, itu keluar terkait kasus Nyonya E.S. yang dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan di Austria karena Nyonya E.S. berulang kali menista Nabi Muhammad dengan penyebutan pedofilia. Kasus ini kemudian oleh yang bersangkutan dibawa ke Pengadilan HAM Eropa, tetapi permohonannya ditolak oleh Pengadilan HAM Eropa dengan penegasan bahwa penistaan kepada Nabi Muhamamd SAW bukanlah bagian dari kebebasan berekspresi.
“Dalam putusannya, Pengadilan HAM Eropa menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah pedofilia merupakan pernyataan yang telah melampaui batas yang diizinkan dari kebebasan berekspresi,” kata Hidayat, melalui siaran pers di Jakarta, Rabu, 28 Oktober 2020.
Presiden Macron, kata Hidayat perlu merujuk kepada kasus Soile Lautsi versus peradilan Italia. Pada kasus tersebut, Nyonya Lautsi keberatan dengan adanya crucifix (patung salib katolik) dipasang di sekolah umum di Italia. Permohonan ini pun kemudian ditolak oleh Pengadilan HAM Eropa karena patung salib itu bukan hanya sebagai simbol agama, tetapi juga warisan budaya barat Italia.
Berdasar putusan Pengadilan HAM Eropa dalam kasus-kasus tersebut, seharusnya tidak perlu ada perdebatan antara hubungan kebebasan berekspresi dan penistaan terhadap agama atau tokoh agama. Dengan saling menghormati justru akan jadi koreksi terhadap radikalisme dan ekstremisme, dan akan menghadirkan toleransi di tengah masyarakat plural. Sebagai negara hukum, mestinya Macron menghormati dan mengambil kebijakan sesuai dengan putusan tersebut.
“Apalag Pengadilan HAM Eropa ini berada di kota Strasbourg, salah satu kota di Perancis. Bila Macron melaksanakan ketentuan-ketentuan dari Pengadilan HAM Eropa, berlaku adil dan konsisten, maka ia secara nyata telah menguatkan harmoni antarwarga dan antarumat beragama di Perancis yang bisa berdampak global," ujarnya.
HNW menambahkan, jika ketentuan tersebut dijalankan tidak akan ada reaksi negatif, baik dari individu maupun komunitas umat beragama Islam. Dengan demikian, Kementerian Luar Negeri Perancis juga tak perlu mengiba-iba, meminta tidak ada pemboikotan terhadap produk-produk Perancis.
Lebih lanjut, HNW mengkritik sikap siaran pers Kedutaan Besar Perancis di Jakarta yang seakan tidak peka atau malah mengalihkan isu dari akar masalah sebenarnya. Pemerintah Perancis jangan beralih ke isu lain, atau hanya mempermasalahkan reaksi yang muncul akibat aksi penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang terus mereka pertontonkan.
“Karena penghinaan agama atau tokoh agama jelas bukan jenis kebebasan bereskpresi, melainkan pelanggaran HAM, sebagaimana disebutkan dalam Resolusi Dewan HAM PBB di Jenewa Swiss pada 26 Maret 2009 dan hal serupa juga diputuskan oleh Pengadilan HAM Eropa,” ujarnya.
HNW berharap semua pihak dapat menyelesaikan persoalan ini dengan kepala dingin, akal sehat. Solusi harus dikedepankan berbasis keadilan hukum dengan merujuk pada ketentuan Dewan HAM PBB dan Pengadilan HAM Eropa dengan menghindari segala bentuk tindakan rasial, kriminal, dan konfrontasi kekerasan yang bisa berdampak kontraproduktif dalam skala yang lebih luas/besar.
Hidayat mengapresiasi sikap Pemerintah RI yang sudah memanggil Dubes Perancis. Namun, itu belum cukup. Seharusnya Pemerintah Republik Indonesia sebagai Anggota Dewan HAM PBB, dan negara demokratis yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar sedunia, dapat berperan lebih aktif agar masalah ini segera diatasi, agar tidak semakin meluas.
Menurutnya, Pemerintah RI perlu menuntut Macron untuk menghormati keputusan Dewan HAM PBB maupun Pengadilan HAM Eropa dan ia harus diingatkan agar berlaku rasional dan adil kepada lima jutaan warganya yang memeluk Islam dan meyakini Muhammad SAW sebagai Nabi yang mereka sucikan.
HNW menambahkan, warga muslim Perancis merupakan minoritas Islam terbesar di Eropa Barat, jumlahnya lima kali lipat dari penganut Yahudi. Apabila Macron ingin mengoreksi intoleran, radikalisme dan terorisme, maka ia harus menghormati HAM dan kebebasan berekspresi segera menghentikan api pemantik yang menghadirkan masalah yang makin meluas ini. Langkah tersebut harus dilakukan demi kemaslahatan bagi Perancis dan hubungan dengan Umat Islam serta negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
SUMBER: TEMPO