SUKABUMIUPDATE.com - Pendekatan aparat keamanan represif terhadap kelompok atau individu yang mengkritik pemerintah. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan terdapat modus baru pembungkaman kritik oleh pemerintah.
Modus itu berupa penggagalan demonstrasi dari mencegat orang yang ingin menyuarakan aspirasinya hingga mengintimidasi melalui telepon. "Sekarang juga ada sweeping dan menangkap orang sesudah aksi," katanya seperti dikutip dari Tempo.co, Senin 26 Oktober 2020.
Pembungkaman ini juga berdampak pada persepsi publik dan ketakutan soal kebebasan berpendapat. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukan sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut terkait kebebasan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 responden menyatakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.
"Survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat (79,6 persen)," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers virtual, Ahad, 25 Oktober 2020.
Indikator dalam surveinya juga menanyakan soal setuju tidaknya warga makin sulit berdemonstrasi. Hasilnya sebanyak 20,8 persen menyatakan sangat setuju bahwa warga makin sulit berdemonstrasi, dan 53 persen responden menyatakan agak setuju warga makin sulit berdemonstrasi.
Sementara hanya 19,6 persen responden yang menyatakan kurang setuju bahwa warga makin sulit turun ke jalan. Kemudian hanya 1,5 persen responden tidak setuju sama sekali dengan pernyataan bahwa warga makin sulit berdemonstrasi.
Selain itu, Indikator juga merilis hasil sigi yang menunjukkan mayoritas publik setuju bahwa aparat makin bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat.
"Aparat dinilai makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa, sebesar 57,7 persen. Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan," ujar Burhanuddin.
Berikut ini kasus-kasus penangkapan pengkritik meski kemudian dilepaskan:
1. Dandhy Laksono
Aktivis ini ditangkap polisi di kediamannya menjelang tengah malam karena mencuit soal Papua di platform twitter. Ia menjadi tersangka karena dituding melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE.
2. Ravio Patra
Peneliti Ravio Patra ditangkap polisi di kamar kosnya. Ia dianggap mengirimkan ajakan untuk menjarah setelah telepon selulernya diretas. Saat pemeriksaan statusnya berubah-ubah dari tersangka menjadi saksi.
3. Mohammad Hisbun Payu
Polda Jawa Tengah menangkap Hisbun di kamar kosnya pada 13 Maret lalu. Hisbun dinilai melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. Sepekan kemudian, penahanannya ditangguhkan.
4. Faisol Abod Batis
Faisol ditangkap pada Juli tahun lalu di Kota Malang, Jawa Timur. Penangkapannya terkait ujaran terhadap Presiden Jokowi soal puluhan warga yang tewas dalam kasus konflik agraria pada 2015-2018.
5. Ananda Badudu
Musikus ini dijemput polisi dari rumahnya terkait aktivitasnya menggalang dana untuk aksi menolak revisi UU KPK di Gedung DPR September 2019. Ia kemudian dilepasnya dan statusnya menjadi saksi.
6. Jumhur Hidayat
Mantan Kepala BNP2TKI ini menjadi tersangka lantaran diduga mengunggah ujaran kebencian terkait UU Cipta Kerja di akun media sosialnya.
Simak tulisan lengkapnya di Koran Tempo edisi Senin 26 Oktober 2020.
Sumber: Tempo.co