SUKABUMIUPDATE.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penelitian terkait biaya kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dari penelitian itu, KPK mendapat informasi bahwa ongkos kampanye pilkada untuk level kota/kabupaten bisa mencapai Rp65 miliar.
Namun KPK melihat ongkos kampanye itu sangat tidak berbanding dengan kekayaan yang dimiliki para pasangan calon berdasarkan data laporan harta kekayaan atau LHKPN ke KPK.
Hal itu disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri dalam webinar Nasional Pilkada Berintegritas tahun 2020 dengan tema Mewujudkan Pimpinan Daerah Berkualitas Melalui Pilkada Serentak yang Jujur dan Berintegritas, Selasa (20/10/2020).
"Dari hasil penelitian kami, bahwa ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon. Bahkan dari LHKPN itu minus, jadi totalnya hartanya Rp18 miliar rata-rata. Tetapi, dia harus masuk bahkan ada satu calon itu tidak sampai Rp18 miliar. Jadi, jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada," ungkap Firli dilansir Suara.com.
Firli menyebut bahwa untuk menjadi bupati atau wali kota itu harus mengeluarkan biaya mencapai puluhan miliar. Dengan begitu, Filri melihat dari kemampuan calon kepala daerah dengan laporan harta kekayaan hanya Rp18 miliar dianggap tak sesuai.
"Jadi, ini wawancara indept interview ada yang ngomong Rp5 sampai Rp10 miliar. Tetapi, ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang pilkada itu bupati atau wali kota setidaknya harus punya uang Rp65 miliar. Padahal dia punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus. Mau nyalon saja sudah minus," ujarnya.
Maka itu, Firli menilai tak menutup kemungkinan banyaknya calon kepala daerah yang kalah bersaing nantinya masuk rumah sakit jiwa.
"Maka tidak jarang kita temukan setelah pilkada selesai, yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa, ada yang didatangi oleh para donatur yang meminjamkan uang," ucap Firli.
"Ini saya kira akan menjadi beban setelah terpilih nanti sebagai kepala daerah," pungkasnya.
Sumber: Suara.com