SUKABUMIUPDATE.com - Lembaga riset independen Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif mencatat ada empat poin cacat formil dalam pembentukan Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Mulai dari dokumen penyusunan yang sulit diakses, proses penyusunan tidak partisipatif, penulisan rumusan UU yang tak jelas dan rumit, hingga draf akhir yang berubah-ubah setelah pengesahan.
"Tidak semua agenda dan dokumen tercantum dalam website resmi DPR, beberapa dokumen narasumber tidak bisa diakses," kata peneliti Kode Inisiatif Rahmah Mutiara dalam diskusi virtual, Jumat, 16 Oktober 2020.
Rahmah mencontohkan, beberapa di antaranya dokumen rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada 27 April 2020 dengan narasumber Sarman Simanjorang (pengusaha); RDPU 29 April 2020 dengan Bambang Kesowo dan Satya Arianto, keduanya pakar hukum; kemudian rapat panitia kerja pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah Bab V dan Bab VII tanggal 4 Juni 2020.
Rahmah mengatakan beberapa bahan narasumber lain juga tak dilampirkan dalam website DPR. Seperti bahan dari Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen, Majelis Ulama Indonesia, PBNU, dan Muhammadiyah. Juga dokumen DIM Pasal 28 yang dibahas melalui rapat panja 25 Agustus 2020.
Kedua, pembahasan RUU Cipta Kerja dinilai tak partisipatif dan cenderung eksklusif. Menurut Rahmah, DPR seperti memilah-milah narasumber yang diundang dalam RDPU. Baleg, kata dia, mengadakan RDPU dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) tetapi justru tak menggelar RDPU dengan buruh.
Ketiga, Rahmah mengatakan penulisan rumusan UU Cipta Kerja juga tak jelas dan rumit. Ia berujar pembuatan undang-undang dengan metode omnibus memang tak dikenal di Indonesia dan baru pertama kali ini dilakukan.
Rahmah mengatakan penulisan RUU Cipta Kerja tidak sistematis dan tercampur sehingga publik kesulitan membacanya. "Ini tidak mencerminkan kejelasan rumusan seperti ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011," kata dia.
Keempat, naskah akhir UU Cipta Kerja terus berubah setelah disahkan pada 5 Oktober. Sempat ada empat versi naskah, yakni naskah 905 halaman tanggal 5 Oktober, naskah 1.052 halaman tanggal 9 Oktober, naskah 1.035 halaman pada 12 Oktober pagi, dan naskah 812 halaman pada 12 Oktober malam.
DPR juga mengakui merapikan naskah yang telah disahkan pada 5 Oktober. Kendati diklaim hanya memperbaiki tanda baca dan format pengetikan, ditemukan pula adanya perubahan substansi dari setiap versi naskah itu.
Belakangan, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan naskah 812 halaman yang akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. "Perubahan redaksional, kata, salah ketik, maupun tanda baca sepatutnya tidak dilakukan setelah mendapat persetujuan bersama," kata Rahmah.
Sumber: Tempo.co