SUKABUMIUPDATE.com - Kelompok penyandang disabilitas menyatakan Undang-undang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja yang disahkan DPR pada Senin, 5 Oktober 2020, mementahkan upaya pembangunan inklusi di lingkup kerja. Kelompok penyandang disabilitas telah lama memperjuangkan isu ini hingga akhirnya masuk dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Peneliti yang juga akademikus Pendidikan Luar Biasa dari Universitas Brawijaya, Slamet Thohari mengatakan aturan dalam UU Cipta Kerja mengembalikan posisi penyandang disabilitas seperti 20 tahun lalu.
"Saat itu Indonesia belum meratifikasi United Nation Convention on Rights for People with Disability atau UNCRPD yang sudah diratifikasi pada 2011," ujar Slamet Thohari, seperti dikutip dari Tempo.co.
Slamet yang sudah mengkaji beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja menemukan empat kejanggalan yang bertentangan dengan UNCRPD dan Undang-undang Penyandang Disabilitas. Pertama, dalam UU Cipta Kerja banyak terminologi yang keliru. "Undang-undang itu selalu menyebutkan penyandang cacat, padahal sejak meratifikasi UNCRPD sudah disepakati penggunaan istilah yang tepat adalah penyandang disabilitas," ujar Slamet.
Kedua, ketentuan mengenai pemenuhan fasilitas bagi penyandang disabilitas dalam UU Cipta Kerja hanya didefinisikan sebagai pembangunan infrastruktur, bukan penyediaan aksesibilitas sesuai kebutuhan ragam disabilitas. "Misalnya pembangunan ramp dan penyediaan hand railing saja, tidak ada penyediaan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu atau tuli dan tidak ada pembaca layar bagi penyandang disabilitas netra," ujar Slamet.
Ketiga, penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas, seperti yang tercantum dalam Pasal 29 UU Peyandang Disabilitas, hanya diwajibkan bagi rumah sakit saja. Sementara untuk perusahaan tidak ada kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Selain itu, masih banyak pasal yang menyebutkan bila kriteria pekerja atau pemimpin perusahaan harus sehat jasmani rohani.
"Lucunya, pasal dalam UU Cipta Kerja ini menyebutkan orang yang tidak sehat jasmani dan rohani bukan penyandang disabilitas, ini berarti tidak mengakui penyandang disabilitas mental psikososial sebagai difabel," ujar Slamet.
Keempat, dalam UU Cipta Kerja, kewajiban penyediaan kuota pekerja difabel sebanyak dua persen di lembaga pemerintah dan BUMN serta dua persen bagi perusahaan swasta, dihilangkan. Padahal ini tercantum jelas dalam Undang-undang Penyandang Disabilitas, bahkan sudah memiliki peraturan teknisnya. "UU Cipta Kerja membuat semuanya jadi rumit sekali," ujar Slamet.
Banyaknya pasal dalam UU Cipta Kerja yang bertabrakan dengan Undang-undang Penyandang Disabilitas juga disampaikan Anggota Komisi Nasional Perempuan, Bahrul Fuad. Pengiat difabel ini menyebutkan Pasal 154A UU Cipta Kerja yang menyebutkan pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat terjadi karena pekerja atau buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 53 Undang-undang Penyandang Disabilitas yang membuka peluang terwujudnya kesejahteraan bagi difabel sekaligus menjadi bagian dari pembangunan inklusi di segala bidang kehidupan.
Sumber: Tempo.co