SUKABUMIUPDATE.com - Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja menuai protes dari asosiasi pekerja dan buruh. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, Mirah Sumirat menuturkan hasil pembahasan final RUU yang dilakukan oleh pemerintah dan dewan tak menunjukkan keberpihakan kepada pekerja, dan berpotensi merugikan di kemudian hari.
Terlebih, sikap aji mumpung pemerintah melakukan kejar tayang pembahasan di tengah pandemi Covid-19 dinilai tak peka dengan kondisi sulit yang dihadapi saat ini.
"Untuk kluster ketenagerjaan poin-poin yang kami soroti masih sama, terkait dengan hilangnya upah minimum sektoral, status pekerja kontrak dan outsourcing yang tanpa batasan dan kepastian, hingga soal pesangon," ujar Mirah, dikutip dari Tempo.co, Sabtu 3 Oktober 2020.
Pemerintah nyatanya tetap mengabaikan kepentingan buruh, dengan condong pada kebijakan-kebijakan pro investasi atau pelaku usaha. "Alih-alih fokus pada penanganan Covid-19 seperti negara-negara lain, pemerintah malah fokus Omnibus Law untuk kepentingan investasi, hasilnya luar biasa mengecewakan kami."
Ketidakberpihakan pemerintah pada nasib buruh telah tampak sejak pertama kali rancangan omnibus ini digulirkan. Meski dilibatkan dalam pembentukan tim kerja perumusan bersama perwakilan pelaku usaha di bawah koordinasi Kementerian Ketenagakerjaan, asosiasi buruh dan pekerja ditempatkan dalam posisi lemah, tak diperhitungkan untuk memberikan masukan yang berpengaruh dalam rumusan draf awal yang akan diajukan pemerintah.
"Saat pembentukan tim kerja perwakilan kami bertanya apakah nanti draft yang disusun bersama dengan kami nanti akan jadi rujukan dan pegangan sah di DPR, pemerintah bilang tidak ini hanya menampung saran, jadi memang sudah setengah hati dan enggak niat," kata Mirah.
Guna menyampaikan penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, Asosiasi pekerja dan buruh bakal mengerahkan massa untuk melakukan aksi mogok nasional selama tiga hari berturut-turut, yaitu 6-8 Oktober 2020. "Mekanismenya nanti masing-masing serikat pekerja di level perusahaan akan mengkoordinir untuk melakukan unjuk rasa nasional ini secara serentak," ujar Mirah.
Proses perizinan rencana aksi massa ini pun telah dilayangkan kepada aparat kepolisian di masing-masing daerah. Dia memastikan unjuk rasa akan dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan, sehingga tidak melangar ketentuan yang berlaku di era pandemi.
Sekitar 5 juta buruh dan pekerja dari berbagai perusahaan dan sektor industri yang tersebar di 25 provinsi dan 300 kabupaten/kota dipastikan akan berpartisipasi dalam aksi mogok nasional tersebut. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan aksi pamungkas digelar pada 8 Oktober, tepat saat sidang paripurna DPR yang rencananya sekaligus akan mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Selama mogok nasional nanti, kami akan menghentikan proses produksi, dimana para buruh akan keluar dari lokasi produksi dan berkumpul di lokasi yang ditentukan masing-masing serikat pekerja di tingkat perusahaan," ucap Said.
Di Ibukota, sasaran aksi buruh adalah Istana Negara, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Kantor Menteri Ketenagakerjaan, dan DPR RI. Sedangkan di daerah, aksi akan dipusatkan di kantor Gubernur atau DPRD setempat.
Merespon rencana ini, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menerbitkan Surat Edaran yang berisikan imbauan dan peringatan kepada rencana serikat pekerja dan buruh untuk melakukan aksi mogok nasional.
Dalam surat yang ditekennya, Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dalam rangka upaya penanggulangan dan pandemic Covid-19, hingga Peraturan Gubernur Nomor 88 tahun 2020. Di dalam beleid tersebut mengatur bahwa masyarakat umum maupun karyawan dilarang melakukan kegiatan berkumpul atau bergerombol di suatu tempat.
Surat Edaran itu juga mengingatkan tentang aksi mogok kerja yang boleh dilakukan asalkan terjadi perundingan yang gagal antara pemberi kerja dan pekerja. Dengan demikian, mogok kerja massal yang akan dilakukan nanti dianggap tidak sah.
Lebih lanjut, di dalamnya memuat pula sanksi yang akan diberikan kepada pekerja dan buruh jika tetap mengikuti aksi mogok kerja nasional. Surat Edaran dengan konten serupa turut diterbitkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang diteken oleh Ketua Umum APINDO Haryadi Sukamdani.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meyakini pemerintah bisa mengatasi polemik penolakan Rancangan Undang-undang Omnibus Law oleh serikat buruh dan kelompok masyarakat lainnya. "Penolakan itu saya dengar tapi kami yakin pemerintah bisa atasi, dalam hal ini TNI Polri, dengan lakukan pendekatan," katanya. Terlebih, menurut dia, DPR sudah mendengar dan menampung aspirasi dari kelompok buruh dan diakomodir dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi DPR.
Sumber: Tempo.co