SUKABUMIUPDATE.com - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan ketetapan terkait operasional sekolah. Dilansir dari Tempo.co, seiring dengan transisi ke era new normal, setiap sekolah yang berada di zona kuning dan hijau untuk penyebaran Covid-19 pun telah diperbolehkan untuk kembali dibuka.
Tentunya, ini akan sangat membantu dari segi pembelajaran sebab pertemuan tatap muka antara guru dan murid akan lebih efektif, membuat anak menangkap seluruh materi pendidikan di sekolah. Lebih dari itu, orang tua pun tak perlu lagi terganggu aktivitas dan pekerjaannya karena harus ikut membimbing anak di rumah.
Namun, di antara segala manfaat baik tersebut, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) kurang setuju jika sekolah kembali dibuka di tengah pandemi Covid-19. Secara khusus dari segi kesehatan, IDAI melalui keterangan resmi di akun Instagram @idai_ig pun menjelaskan alasan utama penolakan pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka.
IDAI menegaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan angka kasus fatal tertinggi pada anak akibat Covid-19 di kawasan Asia Pasifik. Hal tersebut pun didasari oleh data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada tanggal 16 Agustus 2020.
"Case fatality rate usia 0-18 tahun akibat Covid-19 adalah 1,1 persen. Ini lebih tinggi dari Tiongkok dan Amerika Serikat yang berada kurang dari 0,1 persen. Angka kematian anak akibat Covid-19 di Eropa adalah 0,03 persen, jauh di bawah Indonesia," katanya pada 20 Agustus 2020.
Data lain juga menunjukkan proporsi angka kejadian Covid-19 pada anak usia 0-18 tahun. Indonesia menduduki peringkat pertama dengan 9,1 persen. Sedangkan Australia berada pada posisi selanjutnya dengan 4 persen, disusul oleh Italia 1,2 persen, dan Cina 0,9 persen.
"Dengan kedua data tersebut, IDAI menganjurkan agar berbagai kebijakan terkait anak yang bertujuan untuk mencegah penularan infeksi di Tanah Air harus disusun secara lebih agresif dan tegas dibandingkan dengan kebijakan negara-negara tetangga," tulisnya.
Ikatan Dokter Anak Indonesia juga mengungkapkan pihaknya mengapresiasi disusunnya kurikulum darurat dalam kondisi khusus. “Namun, sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pembelajaran tatap muka demi keselamatan anak-anak dan mencegah pandemi berkelanjutan,” tuturnya.
sumber: tempo.co