SUKABUMIUPDATE.com - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) drh Slamet kembali menyoroti RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Legislator asal Sukabumi tersebut kali ini mengulas muatan RUU Cipta Kerja di sektor pertanian, terutama tentang regulasi impor. Slamet menyebut, RUU Cipta Kerja berpotensi melemahkan pertanian dalam negeri.
"Salah satunya dalam UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, yakni diubahnya ketentuan terkait pelaku usaha wajib mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia dalam negeri, menjadi pelaku usaha di bidang hortikultura dapat memanfaatkan sumber daya manusia dalam negeri dan luar negeri (Vide Pasal 15 UU 13 tahun 2010)," kata Slamet kepada awak media, Kamis (30/7/2020)
BACA JUGA: Dorong Produktivitas Petani, drh Slamet Salurkan Hand Traktor di Kota Sukabumi
"Implikasinya, aturan tersebut berpotensi menjadi pintu masuk bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), khususnya bidang pertanian hortikultura, yang akan berdampak tersisihnya tenaga kerja lokal. Terlebih lagi jika investornya berasal dari luar negeri," tambah Slamet.
Selain itu, sambung Slamet, muatan RUU Cipta Kerja lainnya yang juga berpotensi melemahkan pertanian dalam negeri adalah diubahnya ketentuan terkait usaha hortikultura yang dilaksanakan dengan mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam negeri, menjadi penggunaan sarana hortikultura yang berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri (Vide Pasal 33 UU 13 Tahun 2010).
"Implikasinya, berpotensi membuka keran impor sarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, dan lain-lain) secara ugal-ugalan tanpa memperhatikan kondisi dalam negeri. Pola impor seperti ini akan mendorong negara menjadi sangat tergantung kepada asing," tegas Slamet.
BACA JUGA: Anggota DPR RI drh Slamet Minta Kementan RI Perhatikan Kesejahteraan PPL
Slamet juga menyebut soal diubahnya ketentuan terkait usaha hortikultura yang wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Padahal, sebelumnya perizinan usaha tersebut dikeluarkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya (Vide Pasal 52 UU 13 Tahun 2010).
"Implikasinya, mereduksi peran dan kewenangan pemerintah daerah terkait perizinan. Pola seperti ini berpotensi merusak tatanan bernegara di era reformasi, yang salah satu semangatnya adalah otonomi daerah yang tertuang dalam UUD NRI 1945 amendemen ke-4 Pasal 18," pungkasnya.