SUKABUMIUPDATE.com - Direktorat Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri menggelar rapat soal legalisasi ganja bersama Badan Nasional Narkotika, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, serta kementerian lainnya.
"Seluruh peserta rapat koordinasi tidak menyetujui terhadap rekomendasi WHO 5.4 dan 5.5 tentang rencana legalisasi narkotika jenis ganja," ujar Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Krisno Siregar melalui pesan teks pada Sabtu, 27 Juni 2020, seperti yang diberitakan tempo.co.
Berdasarkan hasil rapat, ada sejumlah alasan mengapa pemerintah kemudian menolak untuk melegalisasi ganja. Pertama, kata Krisno, ganja yang tumbuh di alam Indonesia berbeda dengan ganja yang tumbuh di negara lain seperti Eropa atau Amerika.
Krisno menjelaskan, dari hasil penelitian, ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi, yakni 18 persen dan CBD yang rendah yaitu 1 persen. "Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif," kata dia.
Alasan kedua, ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan seperti epilepsi adalah yang berasal dari hasil budidaya rekayasa genetik yg menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah.
"Bukan seperti ganja dari Indonesia. Maka ganja yang tumbuh di Indonesia bukanlah jenis ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan," ucap Krisno.
Kemudian, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 yang telah mengatur ganja sebagai narkotika golongan 1. Dari data Bareskrim Polri dan BNN, jumlah kasus ganja cukup besar di Indonesia.
Alhasil, menurut Krisno, jika ganja dilegalkan maka akan lebih banyak lagi penyalahgunaan dengan dalih apapun. Mereka yang ingin mengonsumsi ganja untuk kebutuhan rekreasi, bisa beralibi untuk kebutuhan medis.
Dengan demikian, kata Krisno, adanya rekomendasi legalisasi ganja oleh WHO justru akan menimbulkan permasalahan di Indonesia seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja.
"Untuk itu, seluruh peserta sepakat untuk menolak rekomendasi WHO 5.4 dan 5.5 sebagai statemen dan sikap Indonesia atas rekomendasi tersebut," ucap Krisno.
sumber: tempo.co