SUKABUMIUPDATE.com - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai ada opsi lain yang bisa dilakukan guna menambal masalah keuangan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan ketimbang menaikkan tarif iuran. Dilansir dari tempo.co, sebab, ia melihat saat ini bukan waktu yang tepat bagi pemerintah menaikkan tarif BPJS Kesehatan mengingat masyarakat tengah didera dampak dari pandemi Covid-19.
Opsi tersebut adalah dengan memungut iuran yang masih ditunggak peserta dengan mengetatkan pengenaan sanksi bagi mereka yang menunggak. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dan sertiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
"Sebenarnya ada instrumen yang belum maksimal dipakai, tapi kita terus memakai kenaikan iuran ini dengan harapan tunggakan iuran turun. Ada PP 86 tahun 2013 bahwa ada sanksi tidak bisa dapat layanan publik," ujar Timboel dalam diskusi daring, Jumat, 29 Mei 2020. Penerapan beleid itu, menurut dia, masih kurang maksimal dimanfaatkan. Imbasnya, tunggakan peserta naik terus.
Timboel mengatakan kebijakan menaikkan tarif iuran tanpa memperketat pemungutan dan pengenaan sanksi seperti tertera dalam beleid tersebut membuat kolektabilitas iuran BPJS Kesehatan tidak maksimal. "Sekarang kenaikan iuran sudah dibuka, air sudah dialirkan ke talang, tapi talangnya bocor. Jadi air tidak sampai ke ujungnya, tidak sampai BPJS. Semuanya akan bocor," ujar dia.
Berdasarkan data yang dihimpun BPJS Watch, tunggakan iuran dari peserta per bulan Februari 2020 saja ada sebesar Rp 12,33 triliun. Nominal itu dinilai lebih besar ketimbang potensi peningkatan penerimaan dari kenaikan iuran mulai Juli mendatang. Berdasarkan hitungannya, dengan menggunakan jumlah peserta Kelas 1 sebesar 3,25 juta dan Kelas 2 4,6 juta per 29 Februari 2020, penambahan penerimaan iuran pada Juli-Desember 2020 hanya sebesar Rp 2,9 triliun.
"Itu kalau dibandingkan dengan tunggakan bisa diambil Rp 3 triliun saja, maka iuran tidak perlu naik dulu, sudah ketutup," ujar Timboel. Ia mengingatkan bahwa tunggakan itu adalah potensi penerimaan yang besar bagi BPJS Kesehatan dan menjadi tugas direksi untuk memaksimalkan pemungutannya. "Jadi kita punya potensi besar untuk memperoleh pendapatan. Tapi itu kita biarkan tidak dilakukan, tapi kita melakukan langkah yang berpotensi bisa kontraproduktif, kita kejar-kejar."
Pemerintah beberapa waktu lalu telah merilis Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid itu mengatur bahwa tarif iuran untuk peserta mandiri Kelas 1 dan Kelas 2 dipastikan bakal naik pada 1 Juli 2020. Iuran peserta PBPU dan BP Kelas 1 dipastikan naik sejak awal Juli menjadi Rp 150 ribu per orang per bulan dan iuran peserta PBPU dan BP Kelas 2 sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan.
Sementara, untuk peserta kelas 3, tarifnya tidak naik yaitu sebesar Rp 25.500. Tarif tersebut baru akan naik pada 2021 menjadi RP 35.000. Untuk kelas ini, pemerintah menggelontorkan subsidi Rp 16.500 per orang per bulan pada Juli-Desember 2020 dan Rp 7.000 pada 2021.
Sumber : tempo.co