SUKABUMIUPDATE.com - Sebanyak 24 tokoh mengajukan gugatan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 ke Mahkamah Konstitusi.
Dilansir dari tempo.co, "Para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dengan kerugian konstitusional untuk mengajukan pengujian," demikian tertulis dalam berkas permohonan setebal 34 halaman tersebut, dikutip Sabtu, 18 April 2020.
Tokoh-tokoh yang menggugat di antaranya politikus senior Partai Amanat Nasional Amien Rais, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin, mantan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, guru besar ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Sri Edi Swasono, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, dan lainnya.
Ada tiga pasal yang dipersoalkan para pemohon, yakni Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3; Pasal 27, dan Pasal 28. Pemohon meminta ketiga pasal ini dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal 2 Perpu itu dinilai bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. Pasal dalam Perpu tersebut mengatur pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk dapat menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap Undang-undang APBN sampai tahun 2022, tanpa mengatur batas maksimalnya.
Menurut para pemohon, pengaturan demikian bertentangan dengan karakter "priodik" UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Sebab, UU APBN 2021 dan 2022 pun belum ada produk hukumnya.
Pemohon juga menilai Pasal 2 Perpu membatasi daya ikat kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan persetujuan terhadap APBN, khususnya terkait besaran persen defisit anggaran. Padahal UUD 1945 mengatur bahwa UU APBN harus mendapat persetujuan rakyat melalui wakilnya, yakni DPR.
"Diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal sama saja dengan memberikan cek kosong bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai tiga tahun ke depan," begitu tertulis dalam poin A angka 7 alasan permohonan pengujian.
Para pemohon menilai pasal ini berpotensi disalahgunakan pemerintah untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya utang luar negeri. Pemerintah dinilai memiliki peluang lebih besar untuk memperbesar jumlah rasio pinjaman, seperti kecenderungan APBN dalam beberapa tahun terakhir.
Pemohon juga mempersoalkan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Pada pokoknya, Pasal 27 itu mengatur imunitas para pelaksana Perpu. Ketentuan ini memang disorot publik secara luas.
Adapun Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dianggap bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan putusan MK tentang syarat adanya kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan perpu. Menurut pemohon, situasi pandemi Covid-19 ini bukanlah kegentingan memaksa yang harus ditangani dengan Perpu terkait keuangan negara.
Pemohon juga menyebut persyaratan kegentingan memaksa tidak tercermin dari dimensi waktu. Kegentingan memaksa berarti harus diatasi secepat-cepatnya dengan cara luar biasa. Maka dari itu, Perpu yang hendak mengatur defisit anggaran tanpa batas selama tiga tahun itu dinilai tak relevan.
Menurut pemohon, batas waktu tiga tahun itu harus disikapi sebagai tindakan berbahaya menggunakan kesempatan di tengah musibah nasional pandemi Covid-19 untuk kepentingan sekelompok orang, khususnya dikaitkan dengan pasal kekebalan hukum.
"Dengan demikian, masyarakat patut curiga terhadap itikad pembuatan materi seperti ini."
Sumber: Tempo.co