SUKABUMIUPDATE.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan enam rekomendasi agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan tak lagi defisit. Dilansir dari tempo.co, rekomendasi pertama ditujukan kepada Kementerian Kesehatan.
KPK meminta Kementerian yang dikepalai Terawan Agus Putranto ini mempercepat Pedoman Nasional Praktik Kedokteran atau PNPK esensial. "Prioritas penyelesaian PNPK untuk penyakit yang berisiko dan biaya tinggi serta prioritas program. Sosialisasi PNPK pada fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, serta institusi pendidikan," kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, Jumat, 13 Maret 2020.
KPK juga meminta pemerintah mengkaji opsi pembatasan manfaat untuk pelayanan menghabiskan biaya tinggi. KPK meminta pemerintah membatasi anggaran penyakit katastropik, serta melakukan pembayaran sesuai dengan kinerja rumah sakit.
Kepada Kemenkes, KPK turut meminta untuk mempercepat pelaksanaan pembagian pembiayaan atau cost sharing. Hal itu dapat dilakukan dengan menerbitkan petunjuk teknis pelaksanaan urun biaya dengan asuransi swasta. "Contoh di Korea Selatan, sebetulnya klaim 20 persen bisa dicover swasta. Kami duga Rp 600-900 miliar bisa ditanggung swasta," kata dia.
Selain itu, KPK juga meminta Kemenkes melakukan urun biaya dengan peserta. Dia bilang, untuk peserta yang tergolong mampu, maka pemerintah bisa mewajibkan peserta membayar sebanyak 10 persen dari biaya. Ia mengatakan cara ini bisa menghemat hingga Rp 2,2 triliun.
Kelima, KPK meminta Kemenkes dan Pemerintah Daerah mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Kemenkes, kata dia, harus melakukan perbaikan regulasi terkait dengan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit. "Sebanyak 4 dari 6 rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp 33 miliar per tahun," kata dia.
Selain itu, KPK juga meminta pemerintah untuk menindak kecurangan yang terjadi dalam klaim BPJS. Ia meminta bila si pelaku baru pertama kali melakukan kecurangan maka pemerintah bisa meminta kembali klaim tersebut. Bila fraud sudah terjadi berulang ulang, maka pemerintah bisa melakukan pemutusan kontrak kerja sama. "Bila terjadi secara terus menerus, baru ditindak secara pidana," kata dia.
Sumber : tempo.co