SUKABUMIUPDATE.com - Laut Natuna merupakan bagian dari Laut China Selatan dan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711, yang memiliki potensi ikan lestari cukup besar, yakni mencapai 1,2 juta ton.
BACA JUGA: Polemik Laut Natuna Utara, drh Slamet Minta Pemerintah Hadir di Sana
Di sisi lain, belum selesainya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa negara tetangga di sekitar Laut China Selatan, menyebabkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut teritorial Indonesia rawan dimasuki kapal ikan asing.
"Saya mengusulkan kepada pemerintah agar dilakukan kajian dan kemungkinan menyepakati adanya zona pengelolaan lerikanan bersama di ZEE Laut Cina Selatan dengan negara-negara tetangga. Kesepakatan ini penting sebagai upaya kerjasama mengelola potensi perikanan sekaligus solusi untuk mengurangi ketegangan di zona yang rawan potensi konflik tersebut," ucap Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) drh Slamet kepada sukabumiupdate.com, Rabu (12/2/2020).
Slamet mengatakan, sejauh ini perdebatan di zona tersebut berkutat pada batas antar negara dan persoalan hak kedaulatan. Oleh karena itu, sambung Slamet perlu melihat persoalan ini melalui sudut pandang lain, khususnya terkait manajemen perikanan, salah satunya dari sudut pandang perikanan.
Menurut Slamet, ikan yang banyak terdapat di zona tersebut adalah jenis ikan pelagis. Ikan pelagis besar (tuna) dan pelagis kecil (cakalang, layang dan lain-lain) merupakan hewan transboundary spesies atau jenis ikan yang lintas batas.
BACA JUGA: Stop Impor! drh Slamet Minta Pemerintah Berdayakan Petani Garam
"Karena karakter ikannya seperti itu maka pengelolaannya juga perlu dilakukan secara lintas batas administratif negara. Kerjasama pengelolaan zona perikanan antar negara, sudah banyak diterapkan oleh negara-negara zona batas lautnya beririsan, misalnya Korea Selatan-Cina, Korea Selatan-Jepang dan Cina-Jepang," jelas Slamet.
Selain itu, masih kata Slamet, pada tahun 2012, Indonesia dan Malaysia juga menyepakati MoU terkait pedoman umum tentang penanganan terhadap nelayan oleh lembaga penegak hukum di laut Republik Indonesia dan Malaysia, yang kemudian dikuatkan kembali oleh Menteri Susi Pudjiastuti pada tahun 2019.
"Kalau zona pengelolaan perikanan bersama di ZEEI Laut Cina Selatan bisa disepakati, maka bukan saja memberikan rasa aman kepada nelayan Indonesia untuk menangkap ikan, juga membangun sebuah dimensi pertahanan maritime. Khususnya pada daerah batas laut antar negara ASEAN yang pembahasannya masih terus berlangsung hingga sekarang. Selain itu juga memberikan kepastian dalam penegakan hukum terhadap kesepahaman yang sudah disepakati bersama," tandasnya.