SUKABUMIUPDATE.com - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan sejumlah permasalahan dalam pengelolaan anggaran di pemerintah daerah. Komite mencatat banyak uang di daerah habis hanya untuk menggaji pegawai.
“Uangnya tidak untuk menjalankan program pembangunan,” kata peneliti KPPOD Lenida Ayumi dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu, 15 Desember 2019.
Untuk belanja di Pemerintah Provinsi selama 2018 misalnya. Lenida mengutip data Kemenkeu bahwa 26 persen dari total belanja Rp 349,6 triliun, digunakan untuk pegawai. 22 persen untuk barang dan jasa, serta 17 persen untuk belanja modal.
Kondisi di kabupaten kota lebih buruk lagi. Dari belanja Rp 804,2 triliun, 40 persen habis untuk gaji pegawai. 24 persen untuk belanja barang dan jasa serta 20 persen untuk belanja modal.
Fenomena ini sebenarnya sudah lama disadari oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. September 2019, Sri Mulyani menyebut 75 persen uang APBD habis untuk sekedar gaji pegawai dan operasional.
Selain penggunaan anggaran yang lebih banyak untuk gaji pegawai, daerah pun kesulitan membelanjakan uangnya sendiri. Sehingga serapan anggaran pun rendah. Lenida menyebut ada setidaknya lima penyebab dari masalah-masalah ini.
Pertama, pendekatan penggunaan anggaran di daerah masih money follow function, bukan money follow program. Kedua, kapasitas fiskal daerah yang cenderung rendah, khususnya bagi daerah otonomi baru.
Ketiga ketakutan pejabat akan dikriminalisasi akibat kesalahan pengelolaan anggaran. Keempat, siklus dan kalender fiskal setiap tahunnya. Lalu kelima, mekanisme kontrol anggaran yang lemah. Sehingga, belanja pemerintah daerah cenderung titak tertib.
Sumber: Tempo.co