SUKABUMIUPDATE.com - Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial Ade Komara Mulyana mengatakan Indonesia dan Malaysia akan melakukan penandatangan nota kesepahaman (MoU) terkait perbatasan negara di Pulau Kalimantan.
"Dari lima Outstanding Boundary Problems (OBP), dua sudah disepakati dan akan ditandatangani MoU minggu depan di Kuala Lumpur," kata Ade dalam diskusi Polemik Trijaya di Hotel Ibis, Jakarta, Sabtu, 16 November 2019.
Seperti diketahui, panjang batas darat wilayah Indonesia dan Malaysia di Kalimantan adalah 2.016 kilometer. Peta perbatasan di Pulau Kalimantan sudah disepakati sejak era penjajahan Inggris-Belanda, yaitu Konvensi 1891, perjanjian 1915, dan perjanjian 1928. Perundingan batas Indonesia dan Malaysia kemudian dilakukan sejak 1974 dan ditemukan ada sembilan titik yang belum disepakati (OBP).
Dari sembilan OBP dibagi menjadi dua sektor, yaitu barat dan timur. Sektor barat terdapat 4 OBP yang meliputi Batu Aum, Gunung Raya, Titik D400, dan sungai Buan atau Gunung Jagoi. Sedangkan 5 OBP di sektor timur meliputi Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Simantipal, Titik B2700-B3100, dan Titik C500-C600.
Ade menuturkan, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan sektor timur lebih dulu. Dalam dua tahun terakhir, 5 OBP di sektor timur sudah menemui titik terang. Dari 5 OBP tersebut, titik di Sungai Simantipal dan C500-C600 sudah mencapai kesepakatan teknis pada tahun lalu. Rencananya, kesepakatan di level tinggi akan dilakukan MoU pada pekan depan.
Untuk Sungai Simantipal, wilayah yang dipersengketakan seluas 4.500 hektare. Wilayah tersebut merupakan klaim Indonesia, namun sempat dipermasalahkan Malaysia. Sedangkan Titik C500-C600 seluas 400 hektare merupakan klaim Malaysia, namun dipertanyakan Indonesia. Kesepakatan akhirnya merujuk pada hasil survei yang telah dilakukan. "Jadi kami kembali yang kami setujui ketika di lapangan," katanya.
Direktur Topografi TNI AD Brigjen Asep Edi Rosidin mengatakan, persoalan perbatasan negara harus cepat diselesaikan. Sebab jika diulur-ulur, ia khawatir akan menimbulkan ketegangan, persaingan tidak sehat, dan pembangunan menjadi terkendala. "Ujung-ujungnya intensitas ketegangan meningkat," kata Asep.
SUMBER: TEMPO.CO