SUKABUMIUPDATE.com - Kementerian Agama menyiapkan 155 buku pelajaran mulai dari kelas 1 Sekolah Dasar sampai dengan kelas 12 Sekolah Menengah Atas. Buku-buku tersebut merupakan hasil penyusunan ulang yang dilakukan Kemenag.
Diketahui penyusunan ulang dilakukan, lantaran Kemenag mendapatkan adanya masalah dalam buku tersebut, termasuk salah satunya yakni mengandung unsur ihwal khilafah.
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenang, Kamaruddin Amin, penyusunan ulang dilakukan agar siswa tak salah paham mengenai konten pelajaran yang dituliskan.
“Direview kembali potensi-potensi yang konten berpotensi disalahpahami, berpotensi ditafsirkan tidak sesuai visi Kemenag, visi Indonesia, misalnya dilakukan review. Ada 155 buku yang sedang kita siapkan dan insyaAllah akhir tahun ini sudah bisa dilaunching oleh Menteri Agama,” kata Kamaruddin di Kantor Kemenkominfo, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Senin (11/11/2019).
Penulisan mengenai khilafah di buku pelajaran, lanjut dia, berpotensi terjadi salah paham tidak hanya di kalangan siswa melainkan juga kalangan guru yang mengajar di sekolah.
“Iya, iya seperti tadi saya sampaikan bahwa khilafah itu kan bisa disalahpahami oleh anak-anak kita, oleh guru-guru kita juga bisa salah paham kalau tidak dijelaskan secara baik,” kata Kamruddin.
“Khilafah itu kan pernah ada dalam sejarah Islam sampai runtuhnya Turki Usmani kan pada tahun 1923 ya. Sebelumnya, khilafah artinya pemerintahan global seluruh dunia itu enggak mungkin sekarang negara bangsa itu seperti ini enggak mungkin dong masa pemerintahannya di Indonesia mengcover seluruh dunia. Itu kan mustahil, itu sudah tidak relevan lagi,” katanya.
Selain karena kandungan buku pelajaran, penyusunan ulang dilakukan karena peralihan penulisan buku pelajaran agama dari sebelumnya di Kemendikbud menjadi ke Kemenag.
“Ada undang-undang perbukuan yang baru yang memberikan amanah kepada Kemenag yang melakukan penulisan buku. Jadi Kemenag yang menulis, jadi harus ditulis semua ulang,” katanya.
Adanya aturan tersebut, juga membuat buku pelajaran agama harus melalui Kemenag mulai dari penulisan, penafsiran, hingga pengesahan. Kendati begitu, buku yang ditulis oleh masyarakat masih diperbolehkan dengan catatan harus melalui penafsiran dari Kemenag sebelum akhirnya disahkan.
“Misalnya buku pengayaan yang ditulis masyarakat boleh saja tapi harus ditafsir dulu, harus disahkan untuk mengantisipasi munculnya buku-buku yang di luar Kemenag, ditulis masyarakat justru tidak sesuai dengan ajaran agama yang benar. Jadi haris ditafsih dulu, kalau enggak ya enggak sah, bisa ditarik dari peredaran,” katanya.
Sumber: Suara.com