SUKABUMIUPDATE.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyatakan akan mengevaluasi pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satu yang akan dievaluasi adalah pasal kohabitasi alias kumpul kebo.
Ketentuan sebelumnya seperti tertuang dalam Pasal 418 RKUHP menyebut kepala desa bisa menjadi pelapor dengan izin dari suami, istri, orang tua, atau anak. Yasonna berujar, ketentuan itu akan dievaluasi agar pelapor dibatasi pada keluarga saja.
"Pasal kohabitasi, perlu dari kepala desa, walaupun kepala desa itu mesti izin orang tua, ya sudah buangkan saja. Orang tua aja supaya jangan jadi alat bancakan nanti," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2019.
Pasal kumpul kebo ini merupakan salah satu poin yang dikritik dari RKUHP karena dinilai terlalu masuk ke ranah privat. Perluasan pasal ini hingga kepala desa bisa menjadi pelapor diusulkan oleh anggota Panitia Kerja RKUHP dari Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani.
"Kalau kumpul kebo, itu ada social damage. Masyarakat sekitarnya itu ikut dirugikan," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 16 September 2019.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini berujar, menurut ajaran Islam, malaikat tak mau menyapa 40 rumah di sekitar tempat tinggal orang yang berzina. Selain merujuk ajaran agama, Arsul kala itu mengklaim perluasan pasal itu juga demi menghindari persekusi.
Menurut Menkumham Yasonna, sejumlah pasal kontroversial lainnya juga akan dievaluasi. Pasal aborsi misalnya, akan dievaluasi dengan mengadopsi seluruh ketentuan yang ada dalam Undang-undang Kesehatan.
Pasal penggelandangan yang sebelumnya mengatur hukuman denda, kata Yasonna, juga akan diperbaiki dengan menyertakan hukuman sosial.
"Bergelandangan dulu hukuman badan, sekarang hukuman denda, tapi kalau enggak mampu bayar, ya, sudah suruhlah dia sekolah, kerja sosial, lebih baik," kata Yasonna.
SUMBER: TEMPO.CO