SUKABUMIUPDATE.com - Kelompok masyarakat menuntut peningkatan kualitas layanan pasca kenaikan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga 100 persen resmi ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019. Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar berujar saat ini pelayanan kepada peserta program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) masih menyimpan banyak masalah.
“Misalnya sulit mencari kamar perawatan, menanti jadwal operasi yang lama, masih diharuskan membeli obat tambahan, dan masih banyak lainnya,” ujar dia kepada Tempo, Rabu 30 Oktober 2019.
Timboel menuturkan kenaikan iuran khususnya berpotensi memberatkan bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang kemudian berdampak pada penurunan keinginan dan kemampuan membayar mereka. “Penunggak iuran dan peserta non aktif BPJS Kesehatan pun diproyeksi bertambah,” katanya. Adapun, hingga 30 Juni 2019 peserta mandiri yang non aktif sebanyak 49,04 persen.
Berikutnya, dampak lain yang mungkin terjadi adalah adanya penurunan kelas perawatan bagi peserta yang saat ini berada di kelas I dan II. “Adanya keinginan untuk turun kelas ini sudah terjadi sejak isu kenaikan iuran terpublikasi.” Timboel mengatakan dengan adanya peningkatan peserta non aktif dan penurunan kelas, dapat menyebabkan kemungkinan penurunan pendapatan iuran dari peserta mandiri.
Respon juga datang dari kalangan pelaku usaha. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman mengatakan kenaikan iuran yang ditetapkan harus dikompensasi dengan kualitas serta fasilitas layanan kesehatan yang mumpuni.
“Karena yang jadi fokus dunia usaha adalah BPJS jauh lebih mahal dari asuransi swasta, tapi pelayanannya sangat jelek,” katanya. “Sehingga saat ini banyak perusahaan yang terpaksa ikut asuransi swasta lagi demi pelayanan kesehatan yang baik untuk karyawan.” Hal ini secara tidak langsung membebani pelaku usaha, sebab biaya yang dikeluarkan tak efisien.
Selanjutnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan kenaikan iuran akan merugikan masyarakat. Penolakan pun datang dari pelbagai organisasi buruh. “Apalagi kenaikan itu dilakukan di tengah perekonomian yang sedang sulit,” ujar dia. Iqbal menuturkan penolakan didasari pada nilai upah minimum kota atau kabupaten (UMK) yang berbeda setiap daerah.
“Misalnya pekerja di Kebumen dan Sragen harus mengeluarkan 10 persen dari penghasilannya jika iuran BPJS Kesehatan melonjak.” Pasalnya, UMK di Kebumen dan Sragen hanya Rp 1,6 juta. Asumsi perhitungannya, dalam satu kepala keluarga terdapat lima anggota. Sehingga, jika satu keluarga terdaftar di kelas 3, maka iuran yang harus dikeluarkan sebesar Rp 210 ribu setiap bulannya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara berujar dampak dari kenaikan iuran hingga batas maksimal 100 pesen ini juga diproyeksi akan langsung terasa pada tingkat inflasi di 2020. “Efek lain adalah tekanan daya beli ke masyarakat akan bertambah,” kata dia.
Menurut Bhima, masyarakat kemungkinan akan mengurangi konsumsinya untuk memenuhi iuran BPJS Kesehatan. Efek domino berikutnya adalah tekanan pada kinerja konsumsi rumah tangga, yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi, dengan kontribusinya sebesar 57 persen. “Pada akhirnya ini berisiko men-downgrade pertumbuhan ekonomi, yang sangat mungkin terkontraksi di bawah 5 persen,” ucapnya.
Sementara itu, juru bicara BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf memastikan komitmen peningkatan layanan akan dilakukan seiring dengan penyesuaian iuran. “Tentu kualitas pelayanan akan lebih baik, kalau tidak begitu apa artinya iuran dinaikkan,” kata dia. Iqbal menambahkan sosialisasi kepada masyarakat hingga pemerintah daerah juga akan terus dilakukan untuk mengomunikasikan perubahan besaran iuran. “Ini perlu disampaikan ke publik mengapa perlu terjadi penyesuaian, sebab kalau tidak program JKN-KIS tidak bisa halan lagi, nanti masyarakat tidak bisa menikmati layanan kesehatan.”
SUMBER: TEMPO.CO