SUKABUMIUPDATE.com - Ekonom menilai industri padat karya sebaiknya dikecualikan dalam kebijakan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada tahun depan. Pasalnya, kenaikan UMP yang terlalu tinggi dinilai akan menurunkan daya saing industri padat karya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan kenaikan UMP pada kondisi industri saat ini dapat berujung pada perumahan tenaga kerja. Pasalnya, kenaikan UMP pada tahun depan lebih dari 8 persen tidak sejalan dengan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja industri yang hanya 2-3 persen tahun ini.
Oleh karena itu, Faisal mengharapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2019 dapat membantu. Pasalnya, beleid tersebut memiliki klausul pengurangan pajak penghasilan sebesar 60 persen
“Asal eksekusinya cepat dan mudah. Selain itu, mudah mendapatkannya. Pemberian insentif itu harus dijalankan dengan konsisten dan cepat eksekusinya,” katanya kepada Bisnis, Selasa 29 Oktober 2019.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan kenaikan UMP pada tahun depan sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya aturan yang jelas dalam penambahan UMP yakni pertumbuhan ekonomi plus inflasi.
Namun, kenaikan UMP pada tahun depan masih dinilai berat lantaran masalah produktivitas tenaga kerja nasional belum selesai. Menurutnya, kenaikan UMP seharusnya dua kali dari pertumbuhan produktivitas tenaga kerja. Artinya, Fithra mengusulkan UMP tahun depan hanya naik 4-6 persen
“Sebesar 8,5 persen ini cenderung tinggi. Artinya, akan ada kemungkinan lay-off atau switchingdari tenaga kerja menuju otomatisasi. Kalau sudah otomatisasi, potensi PHK [pemutusan hubungan kerja] PHK lebih tinggi. Dampak jangka menengah adanya relokasi industri keluar Indonesia. Investasi yang masuk akan menahan dan diversi,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Benang dan Filamen (APSyFI) Redma Wirawasta mengaku tidak bisa membayangkan dampak kenaikan UMP pada industri tekstil. Menurutnya, pekerja di industri tekstil dan produk tekstil pun sudah mengerti dengan keadaan industri saat ini.
“Kalau [UMP] dinaikkan dia [pekerja] tahu perusahaannya tidak akan sanggup bayar. Jadi, saya harap pemerintah bisa mengeti kondisi tekstil sekarang. Karena kami tahu, tenaga kerja yang di pabrik sudah mengerti [kondisi tekstil saat ini],” katanya kepada Bisnis.
Sebelum kenaikan UMP, belasan perusahaan tekstil telah merumahkan lebih dari 40.000 tenaga kerja hingga medio kuartal III/2019. Redma mengusulkan kenaikan UMP pada tahun depan tidak berdasar pada rumus pertumbuhan ekonomi plus inflasi, melainkan negosiasi langsung antara pelaku industri dan tenaga kerja.
SUMBER: TEMPO.CO