SUKABUMIUPDATE.com - Denny Siregar santai menanggapi tudingan dirinya sebagai buzzer (pendengung) Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia mengaku sudah terbiasa dengan tudingan itu.
"Mudah-mudahan dibayar Jokowi deh. Ini juga enggak dibayar-bayar, cuma dituduh doang," kata Denny saat dihubungi Tempo, Rabu 2 Oktober 2019.
Nama Denny Siregar di media sosial kerap jadi kontroversi karena dituding menyebar kabar yang melenceng. Terakhir akun @Dennysiregar7 mencuit soal ambulans yang merawat korban kerusuhan setelah aksi unjuk rasa berujung ricuh pada 26 September 2019 lalu.
Saat itu Denny mencuit, "Hasil pantuan malam ini..Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta."
Warganet kemudian menemukan bahwa kabar ambulans bawa batu itu juga diunggah oleh akun resmi Polda Metro Jaya. Namun ada kejanggalan, sebabnya cuitan Denny Siregar diunggah 52 menit sebelum akun TMC mencuit adanya ambulans yang membawa batu tersebut.
Setelah sempat heboh, cuitan di akun Polda Metro Jaya kemudian dihapus. Pemerintah DKI Jakarta membantah ambulans itu membawa batu.
Tuntutan menangkap Denny Siregar pun muncul karena dianggap menyebar hoaks. Tapi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menjelaskan bahwa faktanya ada batu dalam mobil tersebut.
"Alhamdulillah. Clear ya, bukan hoaks," cuit Denny sambil mengutip pernyataan Argo di sebuah situs berita.
Denny menolak disebut buzzer. Ia menilai dirinya lebih pas dianggap influencer. "Buzzer adalah orang yang memviralkan sesuatu tanpa ide. Kalau saya mungkin lebih kepada influencer, karena saya menuangkan sebuah ide, sebuah tulisan dalam narasi," kata Denny.
Keberadaan buzzer saat ini dinilai meresahkan. Dalam opini Tempo disebut buzzer pendukung Jokowi dinilai makin membahayakan demokrasi. Para pendengung jadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah.
Awal Penggunaan Buzzer
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, mengatakan bahwa penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009.
"Brand masuk melihat peluang marketing melalui jasa buzzer influencer pada 2006. Kemudian itu masuk ke politik untuk membangun citra kandidat," kata Rinaldi saat ditemui Tempo di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019.
Pada perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.
"Dalam konteks ini buzzer bermanfaat untuk politik pragmatis dimana ada opini-opini yang perlu dimenangkan, supaya citra kandidat itu tidak tenggelam dengan fitnah-fitnah," katanya.
Penelitian CIPG pada 2017 menunjukkan istilah buzzer untuk politik mulai populer pada Pilkada DKI 2012. Kemudian secara luas untuk kepentingan politik terjadi pada Pilpres 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.
Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).
Namun, istilah buzzer ini juga kerap overlap dengan influencer. Orang menilai influencer juga buzzer karena sama-sama memiliki kemampuan mengamplifikasi pesan. Yang membedakan dengan buzzer, influencer dianggap memiliki keahlian dalam bidang tertentu sehingga suaranya laik didengar publik.
Keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik, masih dari penelitian CIPG, telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Sebetulnya, kata Rinaldi, peran buzzer tidak diperlukan lagi pascapemilu atau ketika kandidat sudah menang. Sebab, keberadaannya malah menjadi distorsi. Sehingga, akan sulit membedakan mana aspirasi publik yang otentik. "Penggunaan buzzer untuk aktivitas mendukung pemerintah secara citra itu tidak akan membantu, karena akan menciptakan gap antara citra dan realitas," kata dia.
Penelitian Oxford Soal Buzzer
Sebuah studi Universitas Oxford mengungkap Indonesia termasuk dalam negara yang menggunakan media sosial untuk propaganda politik, disinformasi, dan upaya melemahkan pers. Riset ini adalah proyek Computational Propaganda Research Project, yang dilakukan Oxford Internet Institute dan dirilis pada 26 September 2019.
Dari kajian Oxford, 87 persen negara menggunakan akun manusia, 80 persen akun bot, 11 persen akun cyborg, dan 7 persen menggunakan akun yang diretas. Secara umum, pasukan siber Indonesia menggunakan akun bot dan yang dikelola manusia, dengan tujuan menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang kampanye, mengalihkan isu penting, memecah belah dan polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan.
Jenis pasukan siber, menurut Oxford Internet Institute, dibagi dengan besarnya ukuran tim dan waktu kontrak, serta kemampuan strategi dan anggaran. Ada lima jenis kapasitas pasukan siber: tim berkapasitas minimal, rendah, medium, dan tinggi.
Indonesia umumnya menggunakan tim kapasitas rendah (Low Cyber Troop Capacity), yang berarti melibatkan sejumlah tim-tim kecil yang aktif selama pemilu atau agenda tertentu.
Hal ini juga diamini dari hasil analisis Drone Emprit yang menunjukkan adanya penggunaan pasukan siber yang bekerja secara sistematis dalam memanipulasi opini publik tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
"Ketika membangun isu di KPK itu pelan-pelan, ada tagar-tagar yang diangkat. Tagar-tagar ini menggunakan semuanya, cyber troop dan computational propaganda," kata penemu Drone Emprit, Ismail Fahmi.
Ia mengatakan ketika membangun isu KPK, pasukan siber yang terdiri dari tim buzzer, influencer, dan strategist secara perlahan mengangkat tagar-tagar bernarasi positif yang terekam Drone Emprit pada 10-17 September 2019. Contoh tagar yang digunakan, yaitu #RevisiUUKPKForNKRI, #KPKKuatKorupsiTurun, #DukungRevisiUUKPK, #KPKLebihBaik, #KPKPatuhAturan.
Di samping itu, kata Ismail, ada isu yang sudah lama namun kembali diangkat, yaitu KPK dan Taliban. Narasi yang dibangun ialah seolah-olah di dalam KPK ada Taliban, dan bertujuan untuk memecah opini publik pada saat pengesahan revisi UU KPK.
Sebab, kemunculan narasi itu membuat persepsi publik terhadap KPK menjadi negatif. Padahal, Taliban yang dimaksud tidak memiliki asosiasi terhadap kelompok Taliban di Afghanistan."Opini publik pecah antara yang mendukung, yang mendukung mulai ragu-ragu, tidak percaya," katanya.
Agar tagar-tagar tersebut trending, Ismail mengatakan bahwa pasukan siber ini menggunakan skema giveaway atau memberi hadiah bagi netizen. Akun @MenuWarteg salah satunya yang mengadakan undian berhadiah dengan menggunakan tagar #KPKPatuhAturan. Selain mengadakan undian berhadiah, pasukan siber ini juga membuat meme yang banyak. "Ini sistematisnya bagus, kampanyenya bagus, step by step membangun opini publik, dan it works," ujar Ismail.
Dari kelompok yang menolak revisi UU KPK, Drone Emprit mencatat bahwa akun Anita Wahid membuat klarifikasi soal isu miring terhadap KPK. Namun, akun putri Gus Dur itu juga diserang komentar negatif dari pihak pro revisi UU KPK maupun oposisi pemerintah.
Ismail menuturkan, serangan KPK dengan isu Taliban sangat kuat. Hal ini pun berdampak pada akun-akun yang membela KPK ikut tenggelam di media sosial, karena mereka bergerak secara sporadis dan tidak terorganisir seperti pasukan siber.
Setop Buzzer-buzzer-an
Ribut-ribut soal buzzer, ikut mengundang komentar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Sebabnya, kantor Moeldoko kerap diisukan mengomandani buzzer dari pihak Istana.
"Tidak, tidak. Justru kami KSP itu mengimbau, sudah kita jangan lagi seperti itu," ucap Moeldoko.
Moeldoko menuturkan sudah beberapa kali meminta para buzzer agar tidak mengedepankan rasa kebencian. Selain itu, mantan Panglima TNI ini sependapat jika para pendengung di media sosial perlu ditertibkan.
"Buzzer ini kan muncul karena perjuangan menjaga marwah pemimpinnya. Dalam situasi ini, relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Moeldoko di Gedung Krida Bhakti, Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.
Moeldoko mengatakan, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang membangun, bukan yang bersifat destruktif. Para pendengung, kata Moeldoko, selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati. "Itu lah destruktif, dan itu sudah tidak perlu lah," ujarnya.
Sumber: Tempo.co