SUKABUMIUPDATE.com - Cerita pilu mewarnai para pengungsi akibat kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua. Salah satunya adalah Nani Susongki, asal Kecamatan Tegalsiwalan, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia adalah satu dari sekian banyak warga pendatang yang memilih mengungsi dari Kota Wamena usai dilanda kerusuhan pada 23 September 2019.
Wanita paruh baya yang sudah 17 tahun merantau ke Wamena itu mengaku selamat dari aksi kerusuhan karena pertolongan seorang warga asli setempat yang biasa disapa Mama Manu. Letak rumah Mama Manu di Wamena tepat berada di belakang rumah Nani.
“Kalau kami sembunyi di honai (rumah) Mama Manu. Kami disembunyikan di situ,” ujar Nani Susongki dilansir Jubi, Sabtu (28/9/2019), di Aula Lanud Jayapura yang dijadikan lokasi pengungsian sementara.
Ia menceritakan, sebelum aksi amuk massa terjadi di pusat Kota Wamena, sekitar pukul 07.30 waktu Papua (WP), anak perempuannya yang bekerja di salah satu toko gadget, menelponnya. Sang anak mengingatkan agar Nani tidak keluar rumah.
Tak berapa lama, informasi menyebar jika daerah Homhom sudah terbakar. Situasi di dalam Kota Wamena mulai bergejolak. Nani bersama beberapa anggota keluarganya meninggalkan rumah, menuju ke bagian belakang rumah. Dalam perjalanan, ia bertemu tiga orang yang memegang senjata tajam.
“Kami mundur pelan-pelan. Saya pikir bagian dari orang yang rusuh, ternyata mereka menolong kami. Mereka suruh kami masuk ke rumah Mama Manu. Hampir satu jam kami bersembunyi tak bersuara, bersama beberapa warga lain,” ujar wanita yang sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat itu.
Saat Nani, keluarganya dan beberapa warga lain bersembunyi, sekelompok orang bersenjata tajam mendatangi rumah Mama Manu. Pemilik rumah berupaya melindungi warga yang berada dalam rumahnya.
Katanya, Mama Manu juga meminta massa tidak membakar mobil yang sehari-harinya dijadikan mata pencaharian suami Nani.
“Mama Manu bilang tolong jangan dibakar. Itu saya punya anak. Jangan bakar mobil nanti merembet ke rumah saya. Akhirnya massa meninggalkan lokasi. Kami sendiri sudah lemas, seperti tidak bisa berdiri lagi,” ucapnya kelu mengingat detik-detik massa mendatangi rumahnya.
Nani mengaku tidak pernah menyangka Mama Manu nekat berhadapan dengan sekelompok orang bersenjata tajam demi mempertahankan warga lain yang berlindung dalam rumahnya.
“Penduduk asli di sana, kalau kita baik sama mereka, pasti mereka juga baik sama kita,” kata Nani.
Setelah bersembunyi hampir satu jam, Nani Susongki dan beberapa warga yang berlindung di rumah Mama Manu dievakuasi polisi ke Polres Jawijaya. Setelah tiga hari di Polres, Nani bersama keluarganya memilih mengungsi ke Jayapura, dan berencana kembali ke kampung halaman.
“Mobilnya dan rumah kami tidak dibakar, akan tetapi hancur. Kami juga berterima kasih kepada AURI di Jayapura yang telah menampung kami dan memenuhi kebutuhan kami selama di sini,” ucapnya.
Pengungsi lainnya, Abdullah Sihanudin (40) yang sejak 2014 lalu merantau ke Wamena, sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek dan agen tiket pesawat mengatakan, saat demonstrasi pecah, istrinya terlebih dahulu telah menyelematkan diri bersama warga lain.
Ketika Abdullah bersama anak perempuannya yang masih balita akan menyelamatkan diri, ada yang bertanya kepada akan bersembunyi di mana. Ia pun menjawab mau bersemunyi sementara waktu di honai, hingga ada polisi yang menolongnya.
Abdullah bersembunyi di rumah salah satu warga asli setempat yang biasa disapa Mama Lani, dari jam 09.00 hingga 12.00 WP.
“Seorang ibu di belakang rumah saya yang menyelamatkan saya. Anak saya langsung dirangkul dan Mama Lani berteriak jangan dibunuh, pak de ini yang setiap hari membantu saya,” kata Abdullah.
Ketika demonstrasi berujung rusuh pecah di Wamena, sejumlah bangunan dibakar, termasuk kios milik istri Abdullah.
“Ketika itu sudah ada 10 orang yang pesan tiket pesawat, tapi karena kejadian itu akhirnya tiket semua hangus. Hingga kini uang orang yang sudah pesan tiket saya belum bisa ganti. Totalnya Rp 3,5 juta,” ucapnya.
Seperti Nani Susongki, Abullah juga berencana kembali ke kampung halamannya di Probolinggo. Ia merasa khawatir karena hingga kini sebagian besar warga Wamena mengungsi.
“Sudah tiga hari kami di Jayapura. Di Jayapura saya tidak punya keluarga. Saya ingin pulang secepatnya ke kampung halaman,” kata Abdullah.
Sumber: Suara.com